Kamis, Juli 14, 2016

Tentang Penjelajah Hutan Yang Rendah Hati dan Kesepian serta Hal-hal Ajaib Lainnya

Namanya Adit, seorang anak Bandung. Saya mendapatkan namanya bukan karena saling berjabat tangan atau saling sebut nama, melainkan saat kami berdua mengisi formulir Simaksi saat hendak memulai pendakian kami. Badannya kurus dan agak tinggi, mungkin sekitar 170 sentimeter-an atau beberapa senti lebih pendek dari saya. Kulitnya hitam, terlalu jelas menceritakan kisah perjalanannya menembus rimba dan belantara. Rambutnya pendek dan senyuman ramah selalu menempel di wajahnya. Ya, dia dari Bandung dan sendirian bertekad mendaki gunung Merapi pagi itu. Dan lebih jauh lagi, ia berencana mendaki gunung Merbabu, kemudian Sindoro dan Sumbing di hari-hari berikutnya. Sialan! Itu adalah salalh satu impian saya yang hingga saat ini belum dapat terlaksana.

Kami bercakap-cakap sebelum memulai pendakian sembari menunggu gerimis reda di pagi hari itu. Banyak hal yang kami bicarakan. Mulai dari kisah pendakian kami masing-masing, tentang cerita-ceritanya menjelajah hutan-hutan di Jawa Barat, hingga hal-hal remeh tentang kehidupan kami sehari-hari. Kami lalu melanjutkan pembicaraan tentang gerimis hari itu, yang tak reda-reda dan membuat kami harus menunggu dengan sangat bosan. Hingga akhirnya, saat gerimis tampak mulai mereda, namun masih menyisakan tetes-tetesnya, kami memutuskan untuk berjalan duluan. Dan si Adit, ia tampak ingin membiarkan kami berdua mendahului dirinya. Entahlah, untuk sekedar mengijinkan kami menikmati atmosfer pagi itu hanya berdua atau sebagai ajang penunjukan diri yang nantinya membuktikan kalau dia begitu tangguh dengan rucksack besar di punggungnya. Ah, tapi kami tak sempat memikirkan sejauh itu karena yang kami lihat dia sedang asik memastikan seluruh perlengkapannya telah dibawanya. Dan dengan 1 tas punggung kecil yang saya bawa, kami berdua berpamit untuk berjalan lebih dulu. Kami memang tak berencana untuk menginap sehingga membawa bekal yang cukup untuk sehari saja adalah hal yang tepat. Pelan-pelan sekali, kami meniti jalanan beraspal sebelum mencapai Joglo dengan tulisan NEW SELO yang semacam tulisan Hollywood di Amerika itu dan memaksa kami untuk beristirahat.

Kami melanjutkan perjalanan, dan pelan-pelan namun pasti si Adit telah menyusul kami di New Selo. Ia berjalan begitu pelan dan sabar. Masih dengan senyumnya yang malah lebih mirip cengar-cengir itu, dia gantian melemparkan salam pamitan untuk melanjutkan pendakiannya. Kami membalas senyumnya yang ramah dengan sedikit mengakui bahwa kami tak sanggup jika harus bersaing dengan anak ini. Dan benar saja, kami semakin lama tertinggal jauh di belakang, hingga lama-lama ia sudah jauh hilang dari pandangan kami.

Kami berdua tak mempedulikan hal itu sesungguhnya. Kami hanya berusaha menikmati sebisa kami. Merasakan apa saja yang menarik bagi kami, serta melakukan hal-hal yang kami sukai. Kami terus saja berjalan, bercakap-cakap akan apa saja. Sesekali kami berhenti. Berhenti di mana saja untuk menikmati suasana siang itu. Juga berhenti untuk menghela nafas dan mengistirahatkan kaki yang mulai terasa pegalnya. Bahkan beberapa kali kami tergerak untuki masuk ke dalam semak-semak atau mendekat ke pepohonan di samping kiri kanan jalur pendakian karena kami hendak menyapa monyet-monyet yang sedang bergelantungan keluar mencari makan. Dan mereka sungguh banyak. Saya sempat ketakutan dibuatnya.

Cukup lama ketika pada akhirnya kami menjumpai Adit telah menunggu kami dengan sabar dan sedikit kelelahan di tanjakan menuju pos 2. Kami berhenti, mengobrol, berbagi minum dan cemilan. Si Adit inipun mulai bercerita kembali. Seperti tak lelah, ia bercerita tentang hal-hal yang ia dengar dari rekan-rekannya tentang gunung Merapi. Tentang mitos gaibnya, kedahsyatan ledakannya, sejarah panjangnya serta tentu saja kemashyurannya yang  disematkan karena keaktifan gunung ini yang memang luar biasa. Ia lantas memutuskan untuk mendirikan tendanya beberapa belas meter di atas tempat kami beristirahat sebelum nanti melanjutkan menyusul kami untuk mencapai puncak Merapi sore itu. Dan benarlah, ia yang sedari tadi dengan ransel dipunggungnya dan tampak kepayahan kini seolah tak menapakkan kaki di pasir-pasir yang kami lalui. Ia terus saja menyusul kami melalui jalanan terjal dengan semangat dua kali lipatnya dan senyum lebar yang membuat saya geleng-geleng sendiri. Ah, ajaib benar anak ini.

Dan saat kami mencapai puncak Merapi sore itu, kami menemukan banyak hal baik di sana. Selain dari kepayahan yang kami tanggung saat harus menanjaki jalanan berpasir itu, kami menemukan Adit yang sedang memanjatkan doa kepada Tuhannya dengan matras biru kami sebagai alasnya. Ya, sore itu ia tengah menjalankan apa yang ia percayai tentang semesta. Bukankah indah, jika kita berlaku seperti dia? Menjaga keluhuran jagad raya dengan senantiasa berterimakasih kepada apa yang kita sebut sebagai Tuhan, Allah, Dewa, Kosmos atau apa saja yang membuat kita sejenak menemukan diri kita sangat terbatas? Menjadi seperti Raden Brawijaya yang dengan kerendahan diri saat bersemedi ke puncak Hargo Dumilah, atau para penduduk lereng gunung Semeru dengan arcapada sebagai ungkapan ibadah yang tulus dan khusyuk. Kami memang tidak bersujud seperti apa yang ia lakukan. Namun melihatnya dengan sujudnya hingga ke tanah, membuat kami merasa perlu untuk berdiam dan memandang diri kami yang benar-benar kecil di alam semesta ini. Ah, berlebihan betul!