Jumat, Agustus 19, 2016

Pelamun dan Pengingat

Salah satu hal yang tidak saya dapat di dalam kopi adalah gosipnya bahwa ia akan membawa seseorang terjaga sepanjang malam sesaat setelah menelannya. Ya, gosip! Tentu saja, karena ia tak berpengaruh apa-apa pada indera-indera saya kecuali tentang urusan buang air kecil. Sekali mengantuk ya tetap saja mengantuk. Itu sudah bawaan mungkin. Tapi akhir-akhir ini saya sering kehabisan stok kopi di rumah dan satu-satunya orang yang menghabiskannya adalah saya sendiri. Lah, mau bagaimana lagi? Saya sedang sering terjaga sepanjang malam baru-baru ini, dan apalagi yang memungkinkan sanggup menemani selain desas-desus bahwa kopi berkhasiat ? Walaupun tidak demikian yang terjadi tapi ya, setidaknya ia ada sedari panasnya hingga dinginnya untuk menemani kebebalan tuannya yang tak kunjung berbuat sesuatu.

Setelah urusan-urusan perkuliahan selesai dengan segala tetek bengeknya, giliran hal-hal anehlah yang membayang-bayang di fase-fase menyebalkan dalam hidup saya.  Saat disibukkan oleh perulangan-perulangan yang membosankan; bangun siang, menulis, membaca, mengajar, menulis dan terjaga sepanjang malam, kemudian bangun siang, menulis, membaca dan terus-menerus seperti itu, tentu otakmu akan bekerja mencari jalan keluar untuk memanfaatkan setiap sisa energi yang ada. Dari setiap repetisi itu, hual paling menyebalkan yang sering hadir ialah kenyataan bahwa setiap malam saya biasa terjaga setelah satu dua jam tidur. Saat kira-kira malam tengah dikuasai serangga-serangga dengan nyanyiannya yang menenangkan dan malam saat lantunan lembut lagu apapun terdengar begitu muram, di saat itulah justru terkadang ide-ide baru bermunculan. Walaupun sialnya ia hanya akan bertahan sepuluh hingga lima belas menit setelah laptop dinyalakan. Sisanya hanya akan berakhir sebagai lamunan dan khayalan akan apa saja. 

Pada masa-masa seperti itulah saya kembali menjadi manusia empat hingga lima tahun yang lalu. Ketika mengingat-ingat adalah pekerjaan saya, dan melamun adalah kegiatan paruh waktunya. Saya bisa menjadi sangat sentimentil dibuatnya jika harus mengingat hal-hal yang terlampau melankolis. Diiringi tembang-tembang Pink Floyd yang tak kalah muram itu, semua ingatan terasa seperti sedang digambar di dalam mesin pencetak hitam-putih yang hanya menyisakan garis-garis kasar dan detail seadanya.

Bukan hanya hal-hal melankolis sesungguhnya. Kisah-kisah kebersamaan dengan kawan-kawanmu tentulah yang justru membuatmu menjadi melankolis. Dan untuk hal-hal semacam ini, saya akan mengingatnya secara mundur.

Saya akan mengingat sesaat sebelum kami belum benar-benar berpisah. Saat kami masih suka mencuri-curi waktu menghabiskan malam-malam dengan obrolan klise dan murahan. Di meja-meja bundar yang bercorak kenangan di tiap ujung-pangkalnya dengan gelas-gelas aneka macam minuman, serta beraneka makanan yang tak lebih nikmat dari ingatan ini sendiri. Mulai dari kisah-kisah sehari-hari menghadapi kepenatan perkuliahan yang membosankan, mencandai kawan-kawan kami akan jalan cerita cinta mereka atau disabilitas mereka untuk menyatakan cintanya untuk orang lain, hingga tentu saja merencanakan kegiatan apa saja yang paling-paling akan berakhir sebagai sekedar rencana. Klasik! Dan saya akui, beberapa saat setalah itu, saya akan suka untuk sekedar mengingat bila sesekali melintas di tempat-tempat kami suka menghabiskan malam bersama. Mengingat bahwa tempat-tempat itu mungkin telah merekam beberapa potongan percakapan yang tak terlampau penting, juga hal-hal yang kami sempat jalani. Mengingat bahwa mungkin saja pemilik tempat-tempat itu pernah agak jengkel dengan kami yang suka mengobrol begitu banyak hingga larut dengan hanya memesan beberapa gelas minum yang murah saja.

Ditarik lebih mundur lagi, akan ada sketsa yang masih nyata tentang perjuangan kebersamaan kami dalam acara-acara fakultas. Banyak sekali jika harus dituliskan. Bagaimana kami kepayahan mengatur segala sesuatunya. Dan di antara semua kepayahan itu, mengumpulan beberapa puluh anak untuk sekedar berbagi ide untuk bersenang-senang bersama menjadi pekerjaan paling mustahil saat itu. Jadilah kami berakhir sebagai segelintir udik yang sok-sok berdedikasi untuk angkatan. Malam-malam penuh gerutu dan sumpah serapah. Biarpun tawa kami masih kencang, siapapun di antara kami pasti enggan untuk bersuka rela menghabiskan malam-malamnya tanpa tidur hanya untuk sesuatu yang mereka sebut kebersamaan. Omong kosong memang, tapi yah itupun sedikit banyak telah merekatkan kebanyakan dari kami. Walaupun tak banyak memang. Namun setidaknya, nanti atau kapanpun itu, saat kami bertemu kembali, kami memiliki sedikit bahan untuk dibicarakan lagi. Diulang terus menerus tanpa harus merasa bosan.

Saya akan terus menemukan bahwa hal-hal telah begitu banyak berlalu jika harus terus mengingatnya satu per satu. Terlalu banyak. Begitulah kisah sentimentil yang terjadi empat tahun belakangan. Pertemuan-pertamuan tak terduga dengan Mark hingga Mochtar Lubis. Mantra-mantra ajaib mereka di tiap rak perpustakaan itu, ide dan gagasan besar yang begitu muluk untuk orang-orang macam kami yang selalu terbatas dengan realita. Keringat dan baunya yang akan membekas bersamaan dengan kepenatan kami bersama setelah menyelesaikan kegiatan-kegiatan bersama. Sore-sore yang manis nan sejuk saat menghabiskan waktu bersama beberapa gadis tertentu, berjalan menghapiri tiap sudut kampus dengan obrolan murahan yang menggelikan, hingga saat lelah bersama beberapa kawan tertawa-tawa membahas dan mengerjakan apa saja. 

Tentu saja semua itu adalah hal yang wajar. Karena banyak di antara kita memang terlahir untuk mengingat-ingat, untuk berkisah dan menceritakan perulangan-perulangan yang tak bosan-bosannya dibagikan. Di antara kita tersimpan banyak sekali orang dengan kemampuan melamunnya yang tiada tara, dan mengingat adalah sebuah pemberian yang agung. Dengan melamun dan mengingatlah kita biasanya diingatkan untuk belajar, walaupun pada kenyataanya, kita akan lebih banyak berkomentar konyol tentang ingatan-ingatan yang telah kita bangun dari lamunan.