Kamis, Oktober 02, 2014

Mendadak Mahameru 1 : Departure

"Anjing. Ini benar-benar gila!" Saya tak henti-hentinya mengumpat saat itu.

Bersama laju bus yang secepat kilat menerobos gelap malam minggu itu, saya hanya bisa mengumpat dan tertawa-tawa seperti tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Itu merupakan umpatan-umpatan berkonotasi positif. Bukan sumpah serapah karena hal-hal menjengkelkan yang tengah terjadi atau karena
terlalu lama menunggu kedatangan kawanmu! Tapi ini adalah umpatan tidak percaya yang menimbulkan kesan bahagia yang berlebih-lebih. 

3 Tiket 3 Hari


Bagaimana tidak, beberapa hari lalu saya masih dengan santai menikmati teh panas di beranda rumah dengan udara sore yang sejuk. Masih dengan sedikit serius berusaha memutar otak memikirkan hal-hal akademis dan urusan-urusan perkuliahan. Bahkan, kalaupun sempat terbersit tentang agenda-agenda liburan, tak sedikitpun keinginan muncul di pikiran untuk melakukan pertualangan ini. Mahameru! Bayangkan! Gunung yang sempat menjadi trend di kalangan muda-mudi gara-gara film yang absurd itu, yang sedikit banyak menyebabkan saya dan beberapa kawan enggan membuatnya menjadi destinasi kami, pada akhirnya memanggil-manggil dan berhasil menggelitik naluri liar kami. Dan kini, bersama empat orang kawan saya yang gila, saya tengah mendekam di dalam bus yang juga tak kalah gila ini. Sialan benar bukan? Apalagi keputusan saya untuk bergabung dengan mereka datang sehari sebelumnya. Atau lebih tepatnya 20 jam sebelum keberangkatan kami hari itu.

"Mahameru, men!" Begitu teriak Wisnu alias Morte kepada saya. 

Dia adalah anak yang paling antusias dengan petualangan kami ini. Dia juga masih memiliki rasa takjub dengan hal-hal yang tengah terjadi. Dan keceriaannya, juga keceriaan kami malam itu terbalut di dalam bus yang melaju dengan sangat cepat menjauhkan kami berlima dari rumah kami masing-masing. Ini akan menjadi perjalanan yang hebat. Saya sangat yakin. Bagi keempat kawan saya, ini adalah sebuah perjalanan yang telah terpikirkan masak-masak, yang sudah mereka idamkan beberapa bulan belakangan, sedangkan bagi saya sendiri, ini adalah salah satu perjalanan dadakan yang paling keren. Sumpah!

Saya masih juga memiliki perasaan yang sulit percaya. Selepas beranjak dari terminal hingga perjalanan panjang kami, saya tetap saja bertanya-tanya sekaligus kagum dan bingung. Bukan saja karena destinasi kami, tetapi juga karena keputusan cepat yang saya ambil pada saat itu, yang berpengaruh pada kuliah saya seminggu ke depan! Bersama iringan lagu-lagu 90-an di dalam bus malam itu saya masih senyum-senyum sendiri. Membayangkan bahwa sehari sebelumnya saya tengah mencari ide untuk menulis, merencanakan meluangkan akhir pekan itu untuk ikut serta di acara Walitura dari kawan saya, Dita, dan tak lupa juga memikirkan bahwa hari Senin depan seharusnya saya hadir di kelas untuk presentasi. Saya juga ingat bahwa di saat itu, kawan SMA saya, Rissa juga mengajak saya untuk berkumpul bersama teman-teman lainnya menghabiskan malam minggu bersama. Namun yang kini terjadi adalah saya bersama anak-anak badung ini tengah di dalam perjalanan menjauhkan kami dari rutinitas dan kesibukan kami. Anak-anak brengsek yang pada akhirnya saya ketahui bahwa mereka telah membohongi saya kerena ternyata jadwal kuliah mereka jauh tak sepadat jadwal kuliah saya! Namun biar demikian, dengan sedikit cuek sayapun menikmatinya. Walau di dalam hati masih begitu banyak hal yang mengganggu. Perasaan bersalah, bahagia, cemas, ragu dan ketidakpercayaan menyatu begitu saja, seperti terpapar melalu cahaya-cahaya lampu di jalan-jalan yang muram dan sayu. Begitu juga ketika kawan-kawan saya telah mencapai titik lelah mereka. Terpejam menikmati lagu dan goyangan bus kami setelah bercanda dan tertawa-tawa. Saya masih tetap terjaga, melamun di tempat duduk paling pojok belakang, menikmati lagu-lagu yang terus saja mengalun bersama deru mesin bus yang terdengar garang tak kenal lelah. Terminal demi terminal, juga beberapa pemberhentian yang terus saja menaik-turunkan penumpang, tak begitu menarik perhatian saya. Apa yang tengah terjadi lebih menyita perhatian saya ketimbang gadis-gadis SPG atau mbak-mbak dengan dandanan yang mulai luntur sepulang kerja itu. Sambil berkirim-kirim pesan dengan Nanas, kawan saya itu, saya menikmati perjalanan seorang diri. Ini seperti sebuah perjalanan rahasia bagi saya. Ketika keempat rekan saya sebelumnya tengah sibuk mengabarkan keberangkatan mereka, atau sebelum-sebelumnya berpamitan dengan teman-temannya yang memesan ini itu untuk sekedar oleh-oleh atau kenang-kenangan, saya tak sempat sedikitpun bercerita pada siapapun. Tak ada yang tahu perihal keikutsertaan saya di dalam petualangan ini, kecuali tentu saja keluarga saya. Bahkan saya tak memberitahu Nanas tentang perjalanan ini, yang saat itu kami sedang berkirim-kirim pesan. Ah besok sajalah, begitu pikir saya, lagian anak ini tak bakal tertarik dengan kegiatan-kegiatan pendakian gunung semacam ini, biarpun ia cukup sering mendaki gunung bersama saya dan kawan-kawan lainnya. Dan saya pun tetap menjaganya untuk beberapa waktu, bahkan hingga tulisan ini saya buat.

Enam jam berlalu saat kami menginjakkan kaki di Surabaya. Enam jam pula berlalu setelah dengan sangat menyebalkan kawan-kawan saya ini membiarkan saya menunggu kedatangan mereka berjam-jam di Terminal Tritonadi, Solo, yang kemudian saya tanggapi dengan berpura-pura kesal. Dan berikutnya, sesudah mengisi perut kami yang kelaparan selama enam jam itu, kami segera menuju kota Malang. Tak banyak cerita yang dapat saya sampaikan saat itu, karena saya benar-benar kelelahan. Yang saya ingat adalah sesampainya kami di terminal Arjosari, Malang, dan beberapa jam kemudian melanjutkannya ke desa Tumpang.


Sempatkan Ber-Selfie Di Terminal Arjosari
Saya akan sangat mengingat perjalanan ini sebagai sebuah perjalanan terbaik. Diselipi obrolan yang ganjil dan bahkan beberapa terdengar tidak senonoh, juga antusiasme kami yang berlebihan dan benar-benar kampungan, membuat berjam-jam mencapai titik pertama petualangan kami itu terasa menyenangkan. Seperti ucapan Gabug, salah satu kawan saya, bahwa petualangan kali itu akan membekas untuk waktu yang lumayan lama, sehingga masing-masing dari kami sebaiknya menunda agenda-agenda liburan selanjutnya, supaya keceriaan dan kesan petualangan mencapai Mahameru kali itu benar-benar menjadi momen yang besar dan terasa utuh bagi kami. Dan benarlah ia, kawan saya yang baik itu, saya masih merasa kegirangan dan nelangsa di waktu bersamaan. Mengingat-ingat keceriaan dan kebersamaan kami dengan segala hal luar biasa dan penuh keajaiban itu, juga ditambah suguhan panorama yang tak kalah ajaib dan luar biasa.




6 komentar:

  1. Ora tertarik jaremu? WTF !
    Ng mahameru man !
    Anda bercanda ....
    Saya tunggu foto foto anda yang luar biasa...

    BalasHapus
  2. ah, kau ini...
    saya hanya menyimpulkan dari obrolan kita tempo hari di depan ruang osis SMA kita, di mana kau berkata tak terlalu tertarik dengan hal-hal pendakianku dll...hahaha
    siap saja lah...

    BalasHapus
  3. sesekali bolehlah membuat sebuah impresi...haha

    BalasHapus
  4. atau mungkin kau yang terlalu sederhana membuat sebuah pernyataan nas..

    BalasHapus