Minggu, Oktober 05, 2014

Mendadak Mahameru 2 : Mengenang Puncak Para Dewa


Mengenang sebuah perjalanan dan orang-orang yang menemaninya merupakan hal yang saya dan kawan-kawan saya biasa lakukan. Hal itu adalah pekerjaan yang manis ketika mengulang-ulang ingatan tentang segala kejadian dalam sebuah petualangan. Dan benarlah ucapan Gabug, kawan saya itu, bahwa pendakian Mahameru beberapa minggu lalu akan kami ingat sebagai kenangan yang akan bertahan cukup lama.
Yang akan muncul di sela-sela obrolan kecil menemani secangkir kopi atau teh dan sedikit cemilan. Sering juga ia hadir saat kesepian tumbuh menjaga diri kita dari keriuhan suasana. Mungkin akan terkesan berlebihan bagi anda-anda yang telah melalang buana kesana-kemari, menjejaki hutan dan dataran-dataran tinggi dengan butir-butir embunnya yang dingin. Namun sekali lagi, ini bukanlah melulu soal destinasi, yah biarpun destinasi kali ini sedikit banyak membuat kawan-kawan kami iri. Akan tetapi apakah kalian percaya bahwa destinasi yang menarik tanpa kehadiran orang-orang yang menarik pula (dalam definisi sikap, bukan penampilan) tak kan membuat perjalananmu tampak begitu agung untuk dikenang? Ia bahkan mungkin akan segera tergantikan oleh diskusi kecil yang sederhana namun bermakna karena kawan-kawanmu yang berkualitas berada bersamamu, biarpun kalian hanya berada di sebuah senja di gedung sekolah atau tempatmu bekerja. Dan baiklah, saya memang berlebihan, namun menurut saya, itulah justru yang memberi sebuah cita rasa dalam kenangan akan sebuah perjalanan.

Secara pribadi, saya mengenang kisah perjalanan ini dalam alur yang agak kurang teratur. Bukan saja tentang kejadian-kejadian pada saat pendakian kami, akan tetapi juga hal-hal yang terjadi di hari sebelum dan sesudahnya, juga seluruh pikiran dan perasaan tentang segala hal selama 6 hari itu.
Seperti perasaan kagum yang tak henti-hentinya hingga kini, yang masih dapat saya rasakan ketika terbangun oleh blitz-blitz kamera dari belakang tenda kami yang berulang kali menghantam. Menengok keluar dan di hadapan kami tersaji cahaya jingga nan segar dan lembut di cakrawala dengan bulan sabit yang menggantung di atasnya menjadi pemanis. Semuanya bertambah sempurna ketika melihat keindahan telaga di depan kami, Ranu Kumbolo, begitulah namanya. Saya tak benar-benar tidur malam itu, biarpun sesekali mimpi datang dan pergi, namun selalu saja hal-hal kecil dapat membuat saya terjaga. Sehingga pagi itu, saya seketika terjaga dan membuka tenda kami, menikmati seorang diri sebelum akhirnya membangunkan kawan-kawan saya dengan ajakan kegirangan yang tinggi. Saya masih bisa merasakan betapa saya begitu bersemangat pagi itu, juga kawan-kawan saya. Dinginnya udara pagi itu tak begitu kami hiraukan saat kami semua pada akhirnya keluar dari sleeping bag kami masing-masing. Saya masih mengingatnya, keelokan pemandangan kala itu juga candaan serta keasyikan kawan-kawan saya.


Banyak sekali hal yang sebenarnya dapat saya ingat tentang Ranu Kumbolo hari itu. Ia memberikan kesejukan dan rasa sukacita bagi kami. Riak kecilnya saat angin tertiup mengenai permukaannya, juga bukit-bukit menjulang yang menyatu, menampung air kemudian menjadi telaga Ranu Kumbolo itu. Kesejukan anginnya yang dingin, dan keramahan suasana juga begitu menenangkan. Ah, alangkah inginnya saya untuk mengunjunginya lagi.




Ada juga kisah menarik saat kami meninggalkan Ranu Kumbolo dan memulai perjalanan kami melalui apa yang disebut sebagai Tanjakan Cinta. Itu adalah saat mulut-mulut kotor para pria ini mengeluarkan ejekan yang bertubi-tubi satu kepada yang lain. Ejekan dalam bentuk apapun. Tentang mitos jalur itu, tentang susah payahnya kami melaluinya, juga tentang segala hal yang membuat saya merasa geli hingga hari ini.

Saat memasuki Oro-oro Ombo, atau dalam bahasa Indonesia secara sederhana diartikan sebagai padang rumput yang luas, secara tiba-tiba saya teringat akan lagu The King dari Endah N Rhesa. Lagu yang sangat manis dengan lirik yang begitu sempurna dengan apa yang sedang kami hadapi.

"Climb the highest mountain, across the savannah. Dreams of every creature, dreams of everyone."

Keren! Pasangan ini memang benar-benar hebat dalam membuat lagu. Tak henti-hentinya saya menyanyikannya di dalam hati ketika kami melewati padang bunga-bunga yang mengering di musim kemarau. Juga saat kami berhenti sejenak untuk beristirahat saya masih saja menyanyikannya. Dan hingga saat inipun saya akan sangat bersemangat ketika mendengar lagu itu. Serta lagu-lagu mereka yang lain yang menjadi teman perjalanan pulang dari Surabaya hingga Solo. Di Oro-oro Ombo ini juga saat kami membuat salah satu cuplikan video yang menggelikan. Saat Gabug tersenyum konyol dan Andri berjoget tidak karuan. Sejak semula, kami memang berencana membuat video perjalanan. Dan Gabug adalah penggagasnya, ia juga yang sampai hari ini sibuk mengurusinya.

Jambangan, 2 km Menuju Kalimati

Pendakian dari Kalimati menuju puncak Mahameru mungkin menjadi kenangan paling tak terlupakan. Perjalanan yang benar-benar melelahkan. Ia agak mirip dengan jalur menuju puncak Merapi dari Pasar Bubrah, namun kira-kira 5 sampai 6 kali lebih panjang. Dengan medan yang lebih susah tentunya, yang tersusun dari batu-batu kerikil dan juga pasir. Inilah yang membuat kami kepayahan. Bayangkan, jika kau langkahkan kakimu sejauh dua meter ke depan, ia akan secara otomatis turun sejauh satu meter ke belakang saat kau mencoba menjejakkan kakimu yang lain ke depan. Menjengkelkan sekali! Dan juga saya ingat betapa sebelum keberangkatan kami dari tenda kami di Kalimati, Andri sempat mengumpat karena saya terlalu pagi membangunkan mereka, dan saya hanya bisa diam. Juga kemudian saat ternyata kami terlambat menyaksikan sunrise dari puncak dan mereka agak kecewa. Saya hanya bisa senyum-senyum sendiri mengingat saya sudah berusaha membangunkan mereka lebih awal.

Puncak Mahameru dan Arong, Seorang Kawan Perjalanan Dari Filipina
Akan ada banyak hal untuk dikenang dalam pendakian kami kali itu. Umpatan tentang semangka dan nasi bungkus yang banyak dijual oleh penduduk lokal sedari Ranu Kumbolo hingga Kalimati. Tentang pisang goreng yang ditinggalkan di sebelah tenda kami, tentang nasi yang kami buat, tentang wortel mentah yang begitu nikmat dan juga segala keelokan alam di sekeliling kami.

Tak lupa juga kenangan tentang pertemuan dengan seorang yang kami rasa cukup aneh dan misterius namun cukup baik hati, Kholik. Seorang yang kami jumpai di desa Tumpang yang sengaja mencari pendaki lain untuk bergabung karena ia hanya seorang diri. Ia begitu bersemangat dengan tenaga yang berlebih-lebih. Kami harus mengakui bahwa ia ternyata sangat hebat. Juga 6 kawan baru kami dari Bali. Yang pada akhirnya menjadi penyelamat keberangkatan kami menuju Ranu Pani.

Dan 6 hari itu benar-benar menjadi petualangan yang menakjubkan bagi kami berlima. Kau akan menemukan hubungan dekat yang akan terjalin dengan kawan perjalananmu saat kalian benar-benar jauh dari rumah masing-masing. Satu menopang yang lain, saling menolong dan menguatkan. Biarpun mulut berkata kotor dan penuh ejekan. Namun tindakan lebih menunjukkan betapa kawan-kawan sekelilingmu begitu peduli terhadapmu, dan terhadap kawanmu yang lain.



2 komentar: