Minggu, Oktober 26, 2014

Tentang Gie dan Mahameru

Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan dan kebebasan 
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah dan berkata,  kesana-lah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara sapu tangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis.



Masih ada sisa-sisa cerita tentang Mahameru yang menempel pada selaput pikiran kami. Tentang hari-hari di mana kami menjadi manusia bebas. Tentang hari-hari di saat kami membawa obrolan murahan hingga berkelas di sela-sela perjalanan kami. Hari-hari penuh tawa yang menyatukan kami menjadi pemuda-pemuda paling hebat sedunia. Melepaskan diri dari bosannya rutinitas yang membelenggu kebebasan kami. Juga, sesekali terbersit tentang keelokan alam yang telah banyak memudar di pertengahan bulan yang kering itu, mengisahkan cerita tentang debu-debu yang beterbangan terbawa angin. Mungkin benar jika saya ini terlalu remeh. Saya masih selalu suka mengulang-ulang kisah dan mengaguminya secara berlebihan. Namun biarlah, karena Mahameru kali itu juga menyisakan rasa rindu tentang benyak sekali hal-hal yang tak mungkin saya lewatkan begitu saja. Dari sanalah kemudian kisah haru datang begitu saja saat saya dengan sengaja meluangkan waktu di sela-sela semester yang sibuk ini untuk sekali lagi membaca buku. Buku dengan kisah-kisahnya yang dulu pernah membuat saya ingin melakukan hal paling sakral sedunia; melakukan napak tilas Soe Hok Gie mendaki ke Mahameru tepat sebelum ulang tahun yang ke-27. Namun biar bagaimanapun, persis kata-kata Dita kawan saya, bahwa idealisme bagi seorang anak lelaki hanyalah untuk dipatahkan oleh dirinya sendiri.

Saya mengenal Gie jauh sebelum saya mulai mendaki gunung. Saat saya masih begitu muda dan penuh antusias dengan segala sejarah negeri ini, yang sedikit banyak dibuat buram oleh kepentingan kelompok tertentu. Saya mengingat Gie sebagai Nicholas Saputra dengan langkahnya yang lugu ketika melintas sebuah tembok dengan tulisan PKI. Saya mengingat bunga-bunga edelweis di lembah kasih, Lembah Kasih Mandalawangi saat Gie tertawa-tawa dengan kawan-kawannya. Juga lagu Eross dan Okta yang menjadi latar belakang semuanya itu. Saya mengingat Gie muda yang begitu kritis dan berapi-api menyuarakan pendapatnya di dalam kelas di sekolahnya.

Gie dan Mahameru. Bukan tidak ada hubungannya. Mereka saling terkait, dan mungkin seolah membuat kaitan yang begitu romantis namun sekaligus penuh misteri.  Di sanalah saya ketika menuruni puncak berpasir itu. Mengingat ia yang telah menyelesaikan segalanya. Menyelesaikan pendakian gunungnya hingga ke puncak tertinggi di Jawa, setelah keresahan-keresahannya tentang hidup diungkapkan melalui tulisan indahnya. Ia telah menyelesaikan perjuangannya yang sedikit banyak ia sesali, menyelesaikan puisi-puisi dan tulisan-tulisannya. Saya hanya bisa mengingat-ingat saat itu tanpa berhasil melihat sendiri plat kenangan tentang Gie yang dipasang di gunung itu. Ia mati muda, begitulah orang bicara, juga Idhan Lubis yang jauh lebih muda darinya yang menemani kematiannya.

Ada sebuah rasa haru dan kagum yang bersamaan ketika saya kembali membaca "Catatan Harian Seorang Demonstran" dan sekali lagi menonton film "GIE". Ia memang seperti tak pernah habis saja untuk diceritakan atau untuk sekedar didiskusikan bersama beberapa kawan yang gemar mendaki gunung, atau mereka yang mengagumi Gie sebagai sosok pemuda revolusioner yang sangat suka berpikir dan gelisah pada masa itu. Masa Soekarno yang ia ikut rubuhkan, hingga masa awal Soeharto yang tak banyak berubah dan yang ia sesali. Dia bukan saja pemuda yang gemar mendaki gunung, ia adalah pemikir, ia pemikir yang jauh melampaui masanya. Bahkan, Gie ini adalah salah satu penggemar Joan Baez! Musisi anti perang itu.Ya, ia menyukai banyak hal. Di sela-sela kegiatannya bersama aktivis-aktivis mahasiswa lainnya, ia menyempatkan menonton film bersama kelompok diskusi filmnya, ia menyaksikan pertunjukan musik, dan ia mendaki gunung.


Plat kenangan tentang Gie dan Idhan. Telah diambil kembali oleh Indonesian Green Ranger pada tahun 2012.                http://forum.indogamers.com/showthread.php?t=235603


Dan begitulah, saya telah memijakkan kaki ke Mahameru, jauh lebih muda dari Gie saat itu, namun belum menyelesaikan apapun karena bahkan belum memulai apapun. Tak ada yang bisa dibanggakan untuk hal itu, karena Mahameru kini terlalu enggan menunjukkan beringasnya. Ia enggan mengakui dirinya sebagai gunung dari segala gunung, yang sesuai namanya itu. Ia malas, bahkan mengering dan layu, sebab dunia tak seramah dulu, juga karena manusia tak sebaik binatang!


Namun Mahameru tetaplah Mahameru. Puncak tertinggi di mana dewa-dewa tanah Jawa bersemayam. Puncak tertinggi di mana jiwa dan kenangan akan Gie tersimpan, "Kembali ke pangkuan bintang-bintang." begitu Sanento Yuliman menulis, tentang dua anak manusia yang penuh impian mengubah negerinya. Tentang anak-anak muda yang semangatnya bagai letusan Mahameru. Puisi yang begitu romantis, yang memberi kesan suram dan haru pada waktu yang bersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar