Selasa, Desember 13, 2016

Hal-hal Terakhir

LDKM FBS 2016
Memasuki penghujung tahun selalu ada saja hal yang layak untuk diputar kembali. Semacam mengulang kaset tape yang berisi cerita-cerita kehidupan kita sendiri. Ia tentu saja penuh hal-hal yang semestinya ditinggal dan dilupakan. Tapi beberapa hal justru membikin kita suka termenung-menung seorang diri.

Saya mengalami begitu banyak hal untuk pertama kalinya di tahun ini. Namun, bukan hal-hal pertama itulah yang saya kira akan saya tuliskan. Hal-hal terakhirlah yang nyatanya membuat ingatan dan kenangan serasa ingin berputar ke belakang. Karena ia tak mungkin dapat kita lakukan kembali. Atau karena ia tak dapat kita rasakan di waktu-waktu yang akan datang. Sehingga hal-hal terakhir ini akan berakhir sebagai sesuatu yang harus dilupakan atau justru dirindukan. Seperti sebuah perasaan romansa yang kini mulai dingin begitu saja hilang sejak terakhir kali menggapai puncak di selatan Jawa kala itu. Atau juga saat terakhir memegang suatu keyakinan yang terkesan keren yang kini justru tiba-tiba harus merendah merunduk pada kenyataan yang senyata-nyatanya. Saat kita tidak lagi bisa berpaku pada hal-hal ide tanpa tau hal praktis yang perlu dipahami, saat itulah ia harus lenyap.

Masih terasa begitu jelas, saat-saat terakhir saya terlibat dan menyibukkan diri dengan banyak sekali kegiatan kampus. Bersama orang-orang favorit saya. Di mana kami bisa mengobrol apa saja, atau membicarakan siapa saja, hingga menjelek-jelekkan divisi lain yang tidak semilitan kami. Ah, saya merindukannya. Serta hari-hari tanpa mandi, juga malam-malam yang tentu tanpa tidur pun pernah saya lewati dengan baik. Dia adalah masa-masa terakhir kesibukan dengan kawan-kawan satu angkatan. Dia begitu menyebalkan. Tapi sungguh, beberapa momen tentang hal itu justru membuat beberapa di antara kami yang merindukannya. 

Saya juga masih mengingat betapa menyebalkannya menyusun tugas akhir untuk kelulusan beberapa bulan yang lalu. Ia adalah malam-malam yang berat. Penuh penat yang selalu saja membuahkan perasaan bersalah jika dengan sengaja atau tidak telah memejamkan mata sebelum terlebih dahulu menyelesaikan puluhan revisi. Namun iapun membuat diskusi dengan beberapa orang kawan menjadi terkesan sedikit akademis. Apalagi karena kami memiliki tema yang hampir sama dalam penulisan tugas akhir tersebut.

Yang masih begitu dekat, beberapa hari yang lalu, saya begitu bersemangat bisa bekerja bersama angkatan baru dari organisasi kami sebagai outbound trainer LDKM FBS 2016. Terlepas dari beberapa hal menjengkelkan yang terus saja terpikirkan, ada banyak perasaan aneh yang timbul di antaranya selama masa-masa itu. Sebuah perasaan bangga dan permulaan kerinduan akan kegiatan bersama di waktu-waktu yang akan datang. Dan itu mungkin kali terakhir saya akan sebegitu dalam dan dekat dengan mereka. Karena setelah ini saya mesti melanjutkan apa yang sudah menunggu di depan. Tentang mereka ini, puluhan diskusi dan rapat mungkin sudah terlewati, ratusan keluh kesah dan beberapa kali kebosanan datang dan menghampiri. Tapi sungguh aneh, ketika selesai seluruh kegiatan kami, perasaan gamang dan nelangsa begitu mudah untuk hinggap. Dan perasaan semacam itulah yang menelurkan kerinduaan akan segala sesuatu.

Karena pada saatnya nanti, pada suatu waktu yang tak tentu, bukanlah hal yang keliru ketika setiap kita terasa tergerak untuk mengeja rindu. Dan hal-hal terakhir itulah yang biasanya akan paling terasa menempel di selaput pikiran kita. Entah baik atau buruk, hal-hal terakhir selalu menyajikan ingatan yang lebih nyata. Ia akan menjadi sesal ketika ia adalah buruk. Namun begitulah, karena sesal adalah pemanis di setiap akhir. Apa jadinya jika ia datang di awal? Tentu kita tak kan memanggilnya sesal. Dan ketika ia adalah akhir yang baik, tentu saja kerinduanlah yang akan selalu berusaha menjangkaunya kembali.

Selasa, September 13, 2016

Malam-malam Tanpa Tidur serta Hari-hari Tanpa Mandi

Di antara banyak sekali kisah di masa-masa kuliah, hal-hal terbaik yang akan selalu kita ingat tentunya semua hal di luar urusan akademis. Percayalah, kita akan sangat senang sambil terkekeh-kekeh saat bercerita tentang hal-hal remeh temeh semacam membolos mata kuliah tertentu hanya untuk nongkrong di suatu tempat, atau kegiatan absurd lainnya bersama kawan-kawan kita. Dan saya sampai saat ini tak bisa membayangkan apa yang ada di benak anak-anak lain yang kuliah mati-matian hingga tak sempat berkegiatan dengan teman-temannya di kampus, atau justru biasa beralasan bahwa dia mungkin bisa kehabisan oksigen jika membolos kuliah untuk sekadar membantu teman-temannya menyelesaikan kegiatan bersama. Maksud saya, setelah akhirnya menjadi seorang sarjana pun pada akhirnya kita harus turun ke masyarakat, ke banyak orang untuk terlibat di dalam sesuatu, melaksanakan sesuatu, menjadi berguna apapun itu. Tidak hanya menjadi mesin pencetak uang yang hanya peduli terhadap dirinya sendiri. Bukan apa-apa, tapi banyak juga kawan saya yang kuliahnya santai, tak pernah belajar setiap malam atau bahkan malam sebelum tes, cukup banyak kegiatan (entah kegiatan yang berguna maupun hanya bermain-main), nyatanya lulus 4 tahun juga, dengan indeks prestasi di atas tiga setidaknya, dan mereka tetap saja loyal dengan segala kegiatan kami. Dan tentu saja pergaulan mereka jauh lebih luas. Wong nyatanya, mereka, anak-anak yang mati-matian tadi, pada akhirnya lulus dengan nilai yang tak banyak bedanya kok, paling banter tiga koma sekian dan tidak ada yang empat! Dan skripsinya? Ya sama saja, pada akhirnya juga sekadar for the sake of lulus. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi, setiap orang punya kesenangannya sendiri. Dan saya serta beberapa kawan, baik kawan fakultas atau kawan organisasi, pada kenyataannya sangat menyukai apa yang kami lakukan di luar kegiatan belajar kami.

Dari semua itu, yang hendak saya tuliskan adalah memori-memori terakhir saya saat berkegiatan bersama kawan-kawan fakultas. Kawan-kawan satu angkatan tentunya.

Adalah suatu kegiatan tahunan yang diadakan oleh fakultas. Sebuah kegiatan sebagai wadah unjuk gigi dari masing-masing angkatan untuk berekspresi dan menunjukkan kebolehan mereka dalam hal akademis dan kreativitas. Ini adalah tahun terakhir kami, atau katakanlah tahun official kami sebagai satu angkatan tertua di fakultas, sehingga tentu saja kami dengan segala cara berusaha memberikan yang terbaik untuk angkatan kami. Walaupun, tentu saja banyak dari kami yang memiliki agenda tersendiri, semacam ambisi terpendam untuk menjadi yang terhebat di antara adik-adiknya. Namun terlepas dari hal itu, kesenangan yang justru saya dan beberapa kawan saya dapatkan adalah malam-malam di mana kami harus mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk angkatan kami dalam acara tersebut. Ya, kami mesti mengupayakan banyak sekali hal. Urusan tetek bengek dari perlengkapan dan aksesoris yang dibutuhkan angkatan kami, hingga malam-malam di mana kawan-kawan kami harus berlatih untuk perlombaan seperti mini drama, dance, lomba debat, serta kuis-kuis sederhana yang dipertandingkan di dalam acara tersebut. Dalam kesibukan semacam ini, setiap orang yang terlibat adalah berguna! Entah apa pun yang bisa mereka berikan. Macam, Teduh, kawan saya yang a la profesor itu yang dengan suka rela mengirimkan beberapa bilah bambu hijau yang masih hangat untuk property drama kami, atau Mario yang menyediakan rumahnya sebagai basecamp untuk menginap dan mengerjakan barang-barang tersebut. Semua orang yang terlibat memiliki fungsinya masing-masing. Dari para konseptor dan eksekutor dengan fungsi yang krusial hingga kawan-kawan saya yang runtang-runtung ke sana kemari sebagai penghibur. Tak apalah, karena penghibur nyatanya juga penting. Dan di antara itu semua, tentu saja masing-masing kami memiliki urusan sendiri-sendiri, kami punya kegiatan lain di luar sana, kami punya jadwal kuliah yang berbeda-beda, kami punya tanggung jawab, namun tetap saja, bangga rasanya mengingat betapa kawan-kawan saya ini berdedikasi untuk hal-hal bersama ini.

Kurang lebih tiga hari yang saya rasakan di mana karpet kotor, pintu-pintu kayu yang tercoret kuas, sofa dan banyak sekali barang di rumah Mario dengan bau-bauan aneh yang bercampur telah menjadi saksi bagaimana kami dengan tekun menghabiskan waktu-waktu kami yang mungkin akan lebih berguna untuk belajar mata kuliah yang saat ini pun saya tak ingat lagi. Tiga hari bagi saya, dan beberapa hari lebih banyak bagi kawan-kawan saya yang lain. Bukan apa-apa, sebelumnya saya hanya merasa agak enggan untuk bergabung karena ke-tidak-satu-visi-an di antara mereka akibat dari kemenangan yang kami dapatkan di pekan olahraga fakultas kami, EDO, ditambah dengan alasan-alasan lainnya. Kau tentu akan merasakan kegamangan ketika kualitas pertemananmu mulai diukur dari hasil dan bukannya usaha. Semacam kelupaan bahwa kegembiraan yang kami dapatkan tentunya adalah hal-hal sederhana atas kerja keras bersama yang lebih agung daripada hasil yang sekarang pun hilang begitu saja. Dan saat membicarakan menang atau kalah, beberapa hal mungkin sudah bergeser dari kebersamaan dan lebih kepada pencapaian. Ya, dan saya cukup enggan. Namun, setelah meluruskan beberapa hal dengan Ulfa, Grace dan Mario disertai rasa sentimentil yang berlebih beberapa malam sebelumnya, saya jadi bisa memaklumi hal-hal semacam itu terjadi di antara kawan-kawan kami. Saya pun harus bergabung di sisa tiga hari tersebut bersama mereka. Tiga hari, tanpa mandi maupun ganti baju -karena tidak sempat, dan tanpa tidur, tentu saja. Itulah yang terjadi.


Dan membolos kuliah untuk urusan semacam ini tentu bukan hal baru bagi kami. Akan ada banyak cerita jika kami harus kisahkan satu per satu. Mulai dari EDO, Loved ini, natal fakultas, Drama dan kegiatan-kegiatan semacamnya yang tentu saja memiliki kisahnya masing-masing. Beberapa dosen di fakultas kami ternyata cukup maklum dengan hal-hal semacam ini. Yah, selain karena mereka cukup dekat dengan kami, tentu saja karena dulunya mereka juga pernah terlibat di dalam kegiatan-kegiatan seperti ini. Dan membolos untuk kegiatan terakhir kami, pastilah memiliki prioritas yang lebih.

Ini adalah hari-hari yang berkeringat dan mengganggu. Kami harus memutar otak untuk mengerjakan sesuatu seperti yang diharapkan kawan-kawan kami di angan-angan mereka. Juga malam-malam lembur bagi beberapa dari kami. Ya, kami saat hanya berlima, berdelapan atau saat bersepuluh, entahlah. Di mana kami akan bertukar cerita tentang apa saja. Malam di mana kami begitu sering membayangkan bahwa mungkin ini adalah kerja keras yang kami lakukan bersama untuk terakhir kalinya, malam untuk mengenang apa-apa saja yang sudah kami lewat, hingga malam di mana kami merencanakan reuni yang kami saja bahkan belum berpisah! Konyol sekali. Malam itu juga adalah malam saat kami sesungguhnya akan lebih banyak berbisik-bisik atau tertawa dengan nada yang tertahan karena kami berada di lingkungan orang lain sekitaran jam 11 malam hingga 2 pagi. Hal itu terjadi lantaran kami mesti berpindah tempat dari rumah Mario ke pos kami yang lain, di mana kami menyimpan barang-barang besar yang tidak mungkin bisa disimpan di rumah Mario. Dan tentu saja, pembicaraan sentimentil tentang kisah-kisah kawan kami, Mario yang selalu saja membuat kami bergairah untuk tetap terjaga melupakan kantuk dan lelah kami sambil menggores tinta atau menancapkan paku payung di frame besar yang sudah disediakan oleh Iwan.

Dan malam-malam tanpa tidur serta hari-hari tanpa mandi tersebut akhirnya terbayar dengan kemenangan yang manis, suka cita dan kebahagiaan dari kami semua. Semua yang terlibat maupun tidak, semua yang mengingat maupun lupa, dan semua yang berbangga dan semuanya.

Saya percaya bahwa kelak kami akan membicarakan hal ini kembali. Saat kami sekali lagi menjadi para pengingat dan pelamun. Merindukannya, mungkin. 




P.S: Ide untuk menulis ini didapat saat saya dan kawan saya, Mario mengingat-ingat tentang rangkaian kegiatan yang kami katakan cukup 'gila' di akhir tahun 2014. Mulai dari kegiatan macam EDO, dekor Natal fakultas, Drama fakultas hingga Loved di tahun 2015 dan seterusnya hingga pertengahan 2016 ini. Juga tentu saja, kami mengingat betapa kami ini selalu tak jauh-jauh dari istilah; tukang, lembur, bolos kuliah dan hal-hal belakang layar lainnya.


P.S lagi: Saya juga sempat mengambil beberapa video amatir dengan kamera ponsel saya tanpa sepengetahuan kawan-kawan saya.

Jumat, Agustus 19, 2016

Pelamun dan Pengingat

Salah satu hal yang tidak saya dapat di dalam kopi adalah gosipnya bahwa ia akan membawa seseorang terjaga sepanjang malam sesaat setelah menelannya. Ya, gosip! Tentu saja, karena ia tak berpengaruh apa-apa pada indera-indera saya kecuali tentang urusan buang air kecil. Sekali mengantuk ya tetap saja mengantuk. Itu sudah bawaan mungkin. Tapi akhir-akhir ini saya sering kehabisan stok kopi di rumah dan satu-satunya orang yang menghabiskannya adalah saya sendiri. Lah, mau bagaimana lagi? Saya sedang sering terjaga sepanjang malam baru-baru ini, dan apalagi yang memungkinkan sanggup menemani selain desas-desus bahwa kopi berkhasiat ? Walaupun tidak demikian yang terjadi tapi ya, setidaknya ia ada sedari panasnya hingga dinginnya untuk menemani kebebalan tuannya yang tak kunjung berbuat sesuatu.

Setelah urusan-urusan perkuliahan selesai dengan segala tetek bengeknya, giliran hal-hal anehlah yang membayang-bayang di fase-fase menyebalkan dalam hidup saya.  Saat disibukkan oleh perulangan-perulangan yang membosankan; bangun siang, menulis, membaca, mengajar, menulis dan terjaga sepanjang malam, kemudian bangun siang, menulis, membaca dan terus-menerus seperti itu, tentu otakmu akan bekerja mencari jalan keluar untuk memanfaatkan setiap sisa energi yang ada. Dari setiap repetisi itu, hual paling menyebalkan yang sering hadir ialah kenyataan bahwa setiap malam saya biasa terjaga setelah satu dua jam tidur. Saat kira-kira malam tengah dikuasai serangga-serangga dengan nyanyiannya yang menenangkan dan malam saat lantunan lembut lagu apapun terdengar begitu muram, di saat itulah justru terkadang ide-ide baru bermunculan. Walaupun sialnya ia hanya akan bertahan sepuluh hingga lima belas menit setelah laptop dinyalakan. Sisanya hanya akan berakhir sebagai lamunan dan khayalan akan apa saja. 

Pada masa-masa seperti itulah saya kembali menjadi manusia empat hingga lima tahun yang lalu. Ketika mengingat-ingat adalah pekerjaan saya, dan melamun adalah kegiatan paruh waktunya. Saya bisa menjadi sangat sentimentil dibuatnya jika harus mengingat hal-hal yang terlampau melankolis. Diiringi tembang-tembang Pink Floyd yang tak kalah muram itu, semua ingatan terasa seperti sedang digambar di dalam mesin pencetak hitam-putih yang hanya menyisakan garis-garis kasar dan detail seadanya.

Bukan hanya hal-hal melankolis sesungguhnya. Kisah-kisah kebersamaan dengan kawan-kawanmu tentulah yang justru membuatmu menjadi melankolis. Dan untuk hal-hal semacam ini, saya akan mengingatnya secara mundur.

Saya akan mengingat sesaat sebelum kami belum benar-benar berpisah. Saat kami masih suka mencuri-curi waktu menghabiskan malam-malam dengan obrolan klise dan murahan. Di meja-meja bundar yang bercorak kenangan di tiap ujung-pangkalnya dengan gelas-gelas aneka macam minuman, serta beraneka makanan yang tak lebih nikmat dari ingatan ini sendiri. Mulai dari kisah-kisah sehari-hari menghadapi kepenatan perkuliahan yang membosankan, mencandai kawan-kawan kami akan jalan cerita cinta mereka atau disabilitas mereka untuk menyatakan cintanya untuk orang lain, hingga tentu saja merencanakan kegiatan apa saja yang paling-paling akan berakhir sebagai sekedar rencana. Klasik! Dan saya akui, beberapa saat setalah itu, saya akan suka untuk sekedar mengingat bila sesekali melintas di tempat-tempat kami suka menghabiskan malam bersama. Mengingat bahwa tempat-tempat itu mungkin telah merekam beberapa potongan percakapan yang tak terlampau penting, juga hal-hal yang kami sempat jalani. Mengingat bahwa mungkin saja pemilik tempat-tempat itu pernah agak jengkel dengan kami yang suka mengobrol begitu banyak hingga larut dengan hanya memesan beberapa gelas minum yang murah saja.

Ditarik lebih mundur lagi, akan ada sketsa yang masih nyata tentang perjuangan kebersamaan kami dalam acara-acara fakultas. Banyak sekali jika harus dituliskan. Bagaimana kami kepayahan mengatur segala sesuatunya. Dan di antara semua kepayahan itu, mengumpulan beberapa puluh anak untuk sekedar berbagi ide untuk bersenang-senang bersama menjadi pekerjaan paling mustahil saat itu. Jadilah kami berakhir sebagai segelintir udik yang sok-sok berdedikasi untuk angkatan. Malam-malam penuh gerutu dan sumpah serapah. Biarpun tawa kami masih kencang, siapapun di antara kami pasti enggan untuk bersuka rela menghabiskan malam-malamnya tanpa tidur hanya untuk sesuatu yang mereka sebut kebersamaan. Omong kosong memang, tapi yah itupun sedikit banyak telah merekatkan kebanyakan dari kami. Walaupun tak banyak memang. Namun setidaknya, nanti atau kapanpun itu, saat kami bertemu kembali, kami memiliki sedikit bahan untuk dibicarakan lagi. Diulang terus menerus tanpa harus merasa bosan.

Saya akan terus menemukan bahwa hal-hal telah begitu banyak berlalu jika harus terus mengingatnya satu per satu. Terlalu banyak. Begitulah kisah sentimentil yang terjadi empat tahun belakangan. Pertemuan-pertamuan tak terduga dengan Mark hingga Mochtar Lubis. Mantra-mantra ajaib mereka di tiap rak perpustakaan itu, ide dan gagasan besar yang begitu muluk untuk orang-orang macam kami yang selalu terbatas dengan realita. Keringat dan baunya yang akan membekas bersamaan dengan kepenatan kami bersama setelah menyelesaikan kegiatan-kegiatan bersama. Sore-sore yang manis nan sejuk saat menghabiskan waktu bersama beberapa gadis tertentu, berjalan menghapiri tiap sudut kampus dengan obrolan murahan yang menggelikan, hingga saat lelah bersama beberapa kawan tertawa-tawa membahas dan mengerjakan apa saja. 

Tentu saja semua itu adalah hal yang wajar. Karena banyak di antara kita memang terlahir untuk mengingat-ingat, untuk berkisah dan menceritakan perulangan-perulangan yang tak bosan-bosannya dibagikan. Di antara kita tersimpan banyak sekali orang dengan kemampuan melamunnya yang tiada tara, dan mengingat adalah sebuah pemberian yang agung. Dengan melamun dan mengingatlah kita biasanya diingatkan untuk belajar, walaupun pada kenyataanya, kita akan lebih banyak berkomentar konyol tentang ingatan-ingatan yang telah kita bangun dari lamunan.

Kamis, Juli 14, 2016

Tentang Penjelajah Hutan Yang Rendah Hati dan Kesepian serta Hal-hal Ajaib Lainnya

Namanya Adit, seorang anak Bandung. Saya mendapatkan namanya bukan karena saling berjabat tangan atau saling sebut nama, melainkan saat kami berdua mengisi formulir Simaksi saat hendak memulai pendakian kami. Badannya kurus dan agak tinggi, mungkin sekitar 170 sentimeter-an atau beberapa senti lebih pendek dari saya. Kulitnya hitam, terlalu jelas menceritakan kisah perjalanannya menembus rimba dan belantara. Rambutnya pendek dan senyuman ramah selalu menempel di wajahnya. Ya, dia dari Bandung dan sendirian bertekad mendaki gunung Merapi pagi itu. Dan lebih jauh lagi, ia berencana mendaki gunung Merbabu, kemudian Sindoro dan Sumbing di hari-hari berikutnya. Sialan! Itu adalah salalh satu impian saya yang hingga saat ini belum dapat terlaksana.

Kami bercakap-cakap sebelum memulai pendakian sembari menunggu gerimis reda di pagi hari itu. Banyak hal yang kami bicarakan. Mulai dari kisah pendakian kami masing-masing, tentang cerita-ceritanya menjelajah hutan-hutan di Jawa Barat, hingga hal-hal remeh tentang kehidupan kami sehari-hari. Kami lalu melanjutkan pembicaraan tentang gerimis hari itu, yang tak reda-reda dan membuat kami harus menunggu dengan sangat bosan. Hingga akhirnya, saat gerimis tampak mulai mereda, namun masih menyisakan tetes-tetesnya, kami memutuskan untuk berjalan duluan. Dan si Adit, ia tampak ingin membiarkan kami berdua mendahului dirinya. Entahlah, untuk sekedar mengijinkan kami menikmati atmosfer pagi itu hanya berdua atau sebagai ajang penunjukan diri yang nantinya membuktikan kalau dia begitu tangguh dengan rucksack besar di punggungnya. Ah, tapi kami tak sempat memikirkan sejauh itu karena yang kami lihat dia sedang asik memastikan seluruh perlengkapannya telah dibawanya. Dan dengan 1 tas punggung kecil yang saya bawa, kami berdua berpamit untuk berjalan lebih dulu. Kami memang tak berencana untuk menginap sehingga membawa bekal yang cukup untuk sehari saja adalah hal yang tepat. Pelan-pelan sekali, kami meniti jalanan beraspal sebelum mencapai Joglo dengan tulisan NEW SELO yang semacam tulisan Hollywood di Amerika itu dan memaksa kami untuk beristirahat.

Kami melanjutkan perjalanan, dan pelan-pelan namun pasti si Adit telah menyusul kami di New Selo. Ia berjalan begitu pelan dan sabar. Masih dengan senyumnya yang malah lebih mirip cengar-cengir itu, dia gantian melemparkan salam pamitan untuk melanjutkan pendakiannya. Kami membalas senyumnya yang ramah dengan sedikit mengakui bahwa kami tak sanggup jika harus bersaing dengan anak ini. Dan benar saja, kami semakin lama tertinggal jauh di belakang, hingga lama-lama ia sudah jauh hilang dari pandangan kami.

Kami berdua tak mempedulikan hal itu sesungguhnya. Kami hanya berusaha menikmati sebisa kami. Merasakan apa saja yang menarik bagi kami, serta melakukan hal-hal yang kami sukai. Kami terus saja berjalan, bercakap-cakap akan apa saja. Sesekali kami berhenti. Berhenti di mana saja untuk menikmati suasana siang itu. Juga berhenti untuk menghela nafas dan mengistirahatkan kaki yang mulai terasa pegalnya. Bahkan beberapa kali kami tergerak untuki masuk ke dalam semak-semak atau mendekat ke pepohonan di samping kiri kanan jalur pendakian karena kami hendak menyapa monyet-monyet yang sedang bergelantungan keluar mencari makan. Dan mereka sungguh banyak. Saya sempat ketakutan dibuatnya.

Cukup lama ketika pada akhirnya kami menjumpai Adit telah menunggu kami dengan sabar dan sedikit kelelahan di tanjakan menuju pos 2. Kami berhenti, mengobrol, berbagi minum dan cemilan. Si Adit inipun mulai bercerita kembali. Seperti tak lelah, ia bercerita tentang hal-hal yang ia dengar dari rekan-rekannya tentang gunung Merapi. Tentang mitos gaibnya, kedahsyatan ledakannya, sejarah panjangnya serta tentu saja kemashyurannya yang  disematkan karena keaktifan gunung ini yang memang luar biasa. Ia lantas memutuskan untuk mendirikan tendanya beberapa belas meter di atas tempat kami beristirahat sebelum nanti melanjutkan menyusul kami untuk mencapai puncak Merapi sore itu. Dan benarlah, ia yang sedari tadi dengan ransel dipunggungnya dan tampak kepayahan kini seolah tak menapakkan kaki di pasir-pasir yang kami lalui. Ia terus saja menyusul kami melalui jalanan terjal dengan semangat dua kali lipatnya dan senyum lebar yang membuat saya geleng-geleng sendiri. Ah, ajaib benar anak ini.

Dan saat kami mencapai puncak Merapi sore itu, kami menemukan banyak hal baik di sana. Selain dari kepayahan yang kami tanggung saat harus menanjaki jalanan berpasir itu, kami menemukan Adit yang sedang memanjatkan doa kepada Tuhannya dengan matras biru kami sebagai alasnya. Ya, sore itu ia tengah menjalankan apa yang ia percayai tentang semesta. Bukankah indah, jika kita berlaku seperti dia? Menjaga keluhuran jagad raya dengan senantiasa berterimakasih kepada apa yang kita sebut sebagai Tuhan, Allah, Dewa, Kosmos atau apa saja yang membuat kita sejenak menemukan diri kita sangat terbatas? Menjadi seperti Raden Brawijaya yang dengan kerendahan diri saat bersemedi ke puncak Hargo Dumilah, atau para penduduk lereng gunung Semeru dengan arcapada sebagai ungkapan ibadah yang tulus dan khusyuk. Kami memang tidak bersujud seperti apa yang ia lakukan. Namun melihatnya dengan sujudnya hingga ke tanah, membuat kami merasa perlu untuk berdiam dan memandang diri kami yang benar-benar kecil di alam semesta ini. Ah, berlebihan betul!

Rabu, Maret 16, 2016

Nowhere End

"I hope we could be alright again, smoke and laugh at my cigarette brand. I hope we could drive to nowhere end, listen to yours and my favorite band."