Kamis, Februari 16, 2017

Anak-anak Rindu

Kakek Terbaik Sedunia
Sudah cukup lama sekali di dalam ingatan kami, entah tiga, empat atau beberapa tahun kami tidak duduk bersama di meja makan, tidak membicarakan apa-apa kecuali diri kami sendiri. Lalu membuka setiap hal yang masing-masing dari kami alami saat-saat itu; di sekolah, di tempat bermain, di tempat kerja atau di mana saja misalnya. Kemudian melanjutkan pembicaraan yang lebih sakral tentang masa depan, pendidikan, cita-cita, hingga asmara, mungkin saja.  Sudah lama sekali.

Yah, keluarga. Saya sedang mencoba mengingat ke belakang tentang masa-masa di mana saya pernah tumbuh menjadi bagian dari hal baik  yang masih saja membekas hingga saat ini. Yang sedikit banyak menyumbang cerita dan idealisme tentang bagaimana memandang hidup kami sendiri. Di dalam sebuah keluarga yang luar biasa dengan naik turunnya. Segala tawa, haru, ketakutan, tangis, rindu, kecewa dan hal-hal yang masih terus terasa menjengkelkan sekaligus mengasyikan hingga detik ini. Namun bukankah itu semua ada untuk dinikmati dan disyukuri? Maka biarlah ia tertulis di sini.

---

Saya tumbuh di dalam keluarga yang baik. Sebuah keluarga yang besar dan bahagia namun sedikit kurang romantis. Ibarat kami sudah terbiasa untuk hidup sendiri-sendiri. Kami tidak terlalu sering berbagi kisah pribadi kami karena terkadang hal-hal semacam itu terasa menggelikan. Sehingga bisa dibilang kepedulian-kepedulian yang tercurah di antara kami adalah kepedulian sok cuek yang dilontarkan sambil lalu. Ya, semacam kepedulian yang tidak terlalu ingin untuk diketahui, atau semacam itu lah. Dan saya kira hal-hal tersebut adalah cara kami berbagi kasih sayang tanpa harus menyentuh terlalu dekat dengan hal-hal pribadi tiap individu. Ah, menyebalkan sekaligus menyenangkan rasanya. Ya, hal-hal tersebut berjalan beriringan dengan kenangan-kenangan lain tentang masa kecil kami.

Saat anak-anak lain menikmati liburan mereka ke tempat-tempat baru bersama keluarga mereka, misalnya. Saya dan kakak saya hanya akan berakhir di pangkuan kakek nenek kami. Di kota kelahiran yang penuh sesak itu. Mendengarkan dongeng mereka tentang apa saja. Tentang kisah-kisah heroik sejarah bangsa, tentang nenek buyut kami yang konon masih keturunan suatu kerajaan di daearah Boyolali, tentang keluarga kami sendiri dengan segala naik turunnya. Dan tentang segala hal lainnya. Cerita yang justru kini membuat saya meragukannya.

Atau saat anak-anak lain berbangga masuk ke gerbang sekolah dengan berbekal senyum kedua orang tua mereka, saya adalah anak yang cukup bersyukur bahwa saya bisa berangkat ke sekolah tanpa harus mempedulikan omelan ibu saya soal apa-apa saja yang meributkannya. Soal bangun siang, soal seragam kotor, soal sarapan yang tak dihabiskan, soal apa saja. Hanya soal sepatu usang yang kadang membuat saya menggerutu.

Di saat lain, ketika teman-teman kami begitu kagum dan bangga tentang cerita keluarga mereka, tentang hal-hal manis yang mereka bagikan dan rayakan bersama, tentang gambar-gambar yang mereka tempel di rumah-rumah mereka, kami hanya bisa tersenyum geli membayangkan betapa menikmati kesempatan makan malam bersama adalah hal baik yang begitu langka bagi kami. Kami bahkan tidak sempat memiliki kesempatan untuk sekedar mengabadikan kegiatan-kegiatan yang kami lakukan. Misalnya saat-saat yang manis ketika salah satu dari kami berulang tahun atau semacamnya. Sayang sekali bukan?

Namun, terlepas dari hal-hal menyedihkan itu, ada tersimpan kenangan-kenangan baik yang memang akan selalu membuat rindu.  Tentang masa-masa yang baik. Masa di mana hal-hal yang paling membahagiakan adalah bertemu dengan ayah kami yang dengan sangat menyebalkan kala itu kami rindukan. Misalnya, saat saya bocah yang dengan bodoh percaya bahwa ketika kita merindukan orang-orang yang kita sayangi, kita bisa menyampaikannya dengan meneriaki namanya di bak mandi. Saya melakukannya. Entah siapa yang memberi tahu, tapi sungguh, tangis menjadi begitu saja reda dan kelegaan benar-benar terasa, sebab rindu seolah sudah tersampaikan kepada ayah saya yang kala itu sedang jauh. Ajaib memang.

Pun, kami mengingat betapa waktu-waktu itu adalah waktu di mana berkeliling kota dengan mengendarai sepeda tua bersama kakek kami adalah liburan yang paling istimewa. Hanya melihat-lihat dan menikmati setiap sudut kota kelahiran yang sedang berbahagia itu dengan tawa kanak-kanak kami tanpa berani menginginkan hal-hal yang lain. Itu pula merupakan masa di mana mengikat tali sepatu sendiri merupakan kebanggan yang luar biasa. Seolah kami ini adalah orang dewasa yang siap untuk mengencingi dunia. Dan masa-masa itu pula adalah saat ketika hal-hal yang mematahkan hati kami adalah hal-hal sederhana semacam kekalahan bermain kelereng atau petak umpet, atau gagal menerbangkan layang-layang dan iri sebab anak-anak lain dibelikan mainan-mainan baru oleh orang tua mereka.

Dan saya kira, setiap kita tentu akan merindukan masa-masa tertentu tentang cerita kanak-kanak yang pernah kita lalui. Melampaui segala hal buruk yang mungkin saja ada di setiap sudut-sudut kenangan, kita akan menemukan cerita yang membuat kita bersyukur karenanya.

Sebab memang masih ada begitu banyak hal yang semestinya tak perlu disampaikan di sini. Ia adalah hal-hal baik dan buruk yang disediakan untuk orang-orang terbaik kita. Mereka yang mau percaya dan menerima kita secara penuh. Bukan melulu hal-hal baik yang ada pada kita atau yang berada di depan kita. Sebab apa gunanya mereka ada bila hanya sekedar untuk hal-hal baik yang ada pada kita dan tak mau menerima keburukannya?