Sabtu, Maret 18, 2017

Salatiga; Kota Rindu



Ada suatu kisah yang manis tentang sebuah kota. Sebuah kota Rindu, begitu kami mungkin akan menyebutnya. Di suatu senja yang biasa, dengan aroma air hujan yang sesaat sebelumnya membasahi jalan-jalan yang sudah dikenal baik oleh banyak orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Ia adalah kota, di mana kami, anak-anak rindu ini terbiasa menghabiskan waktu selepas kesibukan perkuliahan kami. Saat kami harus mengerjakan sesuatu, atau ketika kami biasa untuk tidak melakukan apa-apa dan sekedar berkumpul membicarakan segala hal yang memang layak untuk kami bicarakan; ide-ide, impian, atau membicarakan orang-orang, apa saja, siapa saja. Ia tentu saja adalah waktu-waktu yang kami rindukan. Dan di kota Rindu ini kami bertemu kembali, bersapa dan bercerita, tak ubahnya seperti yang dulu-dulu. Di suatu malam, di sebuah sudut kota yang kali kedua menawarkan kenangan manis bagi saya, dengan aroma air hujan yang sesaat sebelumnya membasahi jalan dan trotoar serta setiap hal yang kami kenali cukup baik. Salatiga, orang-orang biasa memanggilnya.

Malam itu adalah malam yang baik, malam yang membawa kami bersama kembali, sebab kedua kawan baik kami, Ulfa dan Mario esok paginya akan menyusul kami, meraih gelar sarjana mereka, yang nantinya mau tak mau hanya akan menjadi cerita yang baik tentang apa saja yang pernah terlewatkan di masa-masa belajar mereka. Ah kawan, ketahuilah bahwa beberapa bulan dari hari ini kau akan merindukan betapa menjadi mahasiswa naif dengan idealisme yang berlebihan adalah harta yang paling berharga. Dan kau tentu akan sangat merindukan waktu-waktu itu. Sama seperti kini, kami merindukannya. Dan untuk kesempatan malam itu, saya mengucapkan terimakasih yang dalam untuk mereka. Bukan apa-apa, sebab jika bukan karena kelulusan mereka ini, tak mungkin kami, anak-anak ini berkumpul kembali di kota yang juga selalu menawarkan cerita-cerita yang baik. Jojo yang tengah menyiapkan dirinya pergi ke Kanada di tahun ini, untuk sebuah program volunteer yang ia ikuti, juga Ryan, ia yang lahir dan dibesarkan di kota ini, yang kini harus tinggal di Ibu Kota untuk bekerja, kemudian cik Grace yang tengah sibuk belajar bersabar untuk mengurus anak-anak kecil di sekolahnya, dan Sandra yang masih terlalu mencintai kota ini, hingga sepertinya enggan untuk keluar atau kembali ke kota asalnya, serta Huri yang masih sibuk mencari beasiswa S2-nya dan beberapa kawan kami yang lainnya, yang dengan sangat bangga merelakan waktu untuk berkumpul bersama malam itu, untuk kedua kawan kami ini. Ulfa dan Mario, kedua orang yang mau tak mau kami akui menjadi bagian penting dari setiap hal yang kami kerjakan. Mereka ini selalu memiliki ide-ide yang baik tentang apa-apa saja yang akan kami lakukan. Biarpun si Mario pada akhirnya hanya akan berakhir sebagai penghibur, dengan candaan yang tak terbatas dan cerita romantisme-nya yang selain membuat kagum mereka yang mendengar, juga bisa menyebabkan tawa yang tak berkesudahan. Dan Ulfa, kau tahu, seperti kisah tentang Es Buah yang tak begitu lampau, selalu ada sebagai anak yang menenangkan kami, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ya, walaupun esoknya ia akan sebal sendiri saat kami mengulang cerita-cerita bodoh tersebut dan kami akan terus saja mencandai hal itu, yang biarpun konyol adalah tetap saja kenangan yang manis.

Saya mengingat obrolan kami di malam-malam itu dengan cukup baik, betapa Ryan, dengan kumisnya itu, mengatakan sesaat sebelum keberangkatannya ke kota ini, bukan saja bahagia dan riang yang ia bayangkan, tetapi suatu kenyataan yang berat saat melihat dengan sadar, betapa hari Minggu esok, ia mesti kembali lagi menjalani kehidupannya di kota orang dan meninggalkan kotanya sendiri. Kembali melakukan rutinitas-rutinitas yang itu-itu saja. Atau Jojo, yang menyetujui pendapat saya betapa sekarang kami terlalu sering menggunakan tolok ukur kawan-kawan perkuliahan kami kepada orang-orang di tempat yang kini kami tinggali. Betapa membanding-bandingkan menjadi alasan yang tak terlalu hina untuk terus menganggap bahwa kawan-kawan di masa kuliah kami ini adalah kawan-kawan terbaik yang tak ada gantinya. Berlebihan betul! Terlebih Mario, kawan dengan hati yang lebih besar dari berat badannya itu, dengan cerita-cerita yang melankolis dan bahasa-bahasa yang entah ia dapatkan dari mana, selalu bisa mendeskripsikan betapa dia telah merasa kesepian tinggal di kotanya sendiri. Dan hal-hal yang demikian inilah yang pada akhirnya berlanjut ke dalam pembahasan yang lebih jauh. Saat kemudian kami sampai harus membuat sebuah permainan, di mana masing-masing dari kami akan mengajukan sebuah pertanyaan dan akan dijawab oleh semua yang hadir malam itu. Biar semua terlibat, biar semua mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahaannya. Hal-hal sepele dan remeh temeh hingga sesuatu yang sangat dalam. Selalu saja, tentang kenangan, idealisme yang mau tak mau harus kami tepiskan, tentang penyesalan-penyesalan tentang hal yang sempat dilakukan atau yang tak sempat dilakukan, hal-hal baik, dan tentu saja, tentang romantisme anak-anak muda yang entah bagaimana selalu saja bisa masuk ke dalam obrolan-obrolan kami. Namun tetap saja, waktu menjadi pembatas keceriaan kami malam itu. Sesaat setalah hujan meninggalkan dingin yang tak karuan itu, serta lelah yang tak lebih besar dari kebahagiaan kami, kami mesti mengakhirinya. Menyiapkan esok di mana kami akan sekali lagi bersama, berkumpul dan bercerita.

---

Jadi benarlah bila ia disebut kota Rindu. Sebuah kota milik siapa saja yang merasa memilikinya. Seorang anak yang tinggal beberapa ratus meter darinya pun merasa memiliki kota tersebut hanya karena ia beberapa tahun menghabiskan masa mudanya di sana, menulis cerita dari awal mula ia mengenal asmara hingga saat idealisme yang ia miliki terkikis perlahan-lahan. Seorang petualang yang hanya sesekali berteduh di bawah naungan pepohonan rindang di jalan-jalan utama pun suatu kali tertarik untuk kembali lagi. Mencicipi kenangan-kenangan akan senja yang baik, juga cerita tentang kota dan hal lainnya. Pun mereka, para pemuda dari berbagai kota, yang dengan sedikit malas menginjakkan kaki mereka di kota kecil ini untuk belajar, setelah beberapa lama tersihir oleh atmosfer kota yang begitu tenang, suatu saat akan menginginkan waktu-waktunya tercurah di sudut-sudut kota yang awalnya tak ia sukai. Bahkan para pelancong, ia yang hanya melintas, tamu-tamu dari berbagai kota dan siapa saja yang sesekali pernah bersinggah di kota ini, pada suatu saat akan merasa terpanggil kembali. Karena itu, cobalah kau berjalan-jalan menyusuri gang-gangnya yang sepi, selepas hujan di malam hari, sambil mendengarkan kisah-kisah kenangan tentang kota ini. Dengan diiringi These Streets dari Paolo Nutini yang serasa mengantarkan nostalgia tentang apa-apa saja yang pernah terjadi di jalan-jalan yang begitu familiar. Kemudian bersatu dengan obrolan-obrolan orang-orang di sekitar, mendengarkan cerita dan keluh kesah di balik wangi asap tembakau atau kepulan panas kopi yang tersaji di cangkir-cangkir mungil mereka, tenggelam dalam tawa yang tak terbatas. Betapa ia telah membesarkan banyak sekali jiwa yang baik. Betapa ia telah menumbuhkan benih-benih keriangan di malam-malam saat beberapa kawan duduk bersama melingkari meja-meja makan dengan cerita yang menggelora tentang apa saja. Di mana benih-benih tersebut akan tersemai di ingatan kami dan terus tumbuh, membuahkan rasa rindu yang manis.

--

Dan kami akan selalu mengingat, bukan saja tentang malam itu, tapi tentang setiap hal yang kami pernah lakukan bersama. Saat masing-masing dari kami nantinya duduk mengerjakan kesibukan kami sendiri. Menata jalan-jalan kami dengan impian yang telah kami siapkan sendiri. Dan nantinya, kami memastikan bahwa kami semua akan pulang ke kota ini sekali lagi, kota Rindu, yang bukan milik kami sepenuhnya, tapi kami serasa memilikinya. Kami akan terus mengingat dan mengenang. Tentang jalan-jalan yang mulai terang dengan lampu-lampu yang baru, tentang tembok-tembok yang bercoretkan kisah rindu di mana-mana, tentang jendela yang terbuka di sebuah gedung fakultas kami yang tinggi menjulang dengan aksen kenangan yang sama, serta tentang kunci pintu yang rusak, yang mengingatkan kami akan malam-malam Natal dengan kisah sentimentil yang selalu membikin kami menghela nafas, merindukannya.