Kamis, Maret 27, 2014

Menyelusup Waktu Mencumbu Anak Bajang

Kita tidak mengeja aksara, kita mencari makna-makna.

Saya sedang disibukkan dengan sebuah buku karya Sindhunata. Demikianlah judul di atas dibuat. Biar terdengar agak poetic seperti ayat-ayat Sindhunata yang telah meracuni jalan pikiran saya selama seminggu ini. Melupakan tugas-tugas, melepaskan diri dari ikatan dan tekanan, sejenak mengendurkan urat-urat syaraf. Dan kecintaan akan karya sastra inilah yang membuat saya terbuai melupakan segalanya.

Di akhir semester ini memang sedang banyak tugas kuliah. Biar si Puput, kawan saya yang kini menjadi senior saya bilang bahwa semester 5 nanti akan lebih berat dari semester yang sedang saya jalani, saya sudah merasa kepayahan menanggung beban tugas ini. Yah, dan dalih saya adalah karena 90% dari tugas-tugas ini adalah group project sehingga saya tidak bisa berbuat seenaknya. Karena tugas individu bagi saya jauh lebih enak, tidak terlalu berbelit-belit dengan kepentingan orang lain dan lebih bisa bersantai.

Maka terjadilah, mencuri-curi waktu. Jika dihitung, mungkin sudah sangat banyak saya menyia-nyiakan waktu yang seharusnya lebih berguna untuk sekedar memikirkan apa yang akan saya kerjakan untuk tugas saya nanti. Ada kalanya ketika saya keasyikan keluyuran ke sana kemari, melamun, bercakap-cakap dengan kawan; Mario, Yulio, Puput, Bagas, dan masih banyak lagi; tiduran di lapangan basket, bercengkrama dengan Mochtar Lubis atau Pramoedya. Dan itulah, yang paling mengesankan adalah membaca buku, sendirian.



Tepat seminggu yang lalu ketika dengan tidak merencanakannya saya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Saat itu sebenarnya saya berniat mengerjakan tugas dengan kawan-kawan saya, namun karena mereka mengerjakan tugas lain dengan kawan-kawan mereka yang lain, alhasil saya lebih suka mengalah dan membiarkan saja. Dan puja kerang ajaib karena tanpa sengaja pula, saat saya berjalanan menyusuri rak buku paling kiri di dalam perpustakaan, saya menemukan sebuah buku yang pernah direkomendasikan kawan saya, Stefanus. Judulnya saja sudah terdengar poetic, "Anak Bajang Menggiring Angin." Walaupun kesan pertama terdengar janggal dan aneh. Bukan berarti saya menomorduakan Mochtar Lubis, namun untuk sesaat saya rasa akan menyelesaikan buku Sindhunata terlebih dahulu.

Duduk bersila di sebuah tempat favorit saya, di antara rak-rak buku yang tak terbilang banyaknya, mulailah lembar pertama buku itu saya buka. Seketika atmosfir berubah, ketika kata demi kata, kalimat demi kalimat terbaca perlahan. Sindhunata, merenda-renda kata layaknya hiasan di tangannya, dirajut kemudian dipadukan dengan berbagai warna, warna kehidupan, megah dan penuh makna. Maka runtuhlah daya ingat saya oleh semua mantra-mantranya. Melupakan tugas, melupakan apapun yang menjadi pemberat hidup beberapa hari itu. Bukan saja bahasa yang digunakan yang memang seluruhnya sangat megah, makna yang tersirat dari tiap kalimat justru yang menjadikan kesempurnaan karya tersebut.

Semua dilukiskan sedemikian rupa. Melibatkan seluruh indera guna mendapatkan kesan sesungguhnya. Seperti tanpa cela, ketika kadang ia akan menjadi seorang dalang yang tentu tahu gerak-gerik wayangnya, dan di waktu lain ia akan menjadi seekor kumbang yang mengintip tokoh-tokoh cerita dari balik busananya, kemudian menelisik lebih jauh bagai dewa yang tahu sifat hati manusia. Saya menjadi mengambang ketika mengeja kata demi kata. Luar biasa, itulah yang bisa saya katakan. Maka semakin khusyuklah saya membaca buku tersebut, di tempat favorit saya di suatu tempat dalam ruang perpustakaan tersebut. Dan ikut pulalah saya masuk ke dalam alam ceritanya. Menjadi pepohonan yang diterpa angin senja, atau bintang-bintang ketika Danareja melamun sepi, bermuram akan rindunya. Kemudian menjadi mega-mega, saksi duka kelahiran Dasamuka, dan seketika juga berubah menjadi bunga-bungaan, mengintip malu saat Rama dan Sinta merajut cinta.

Waktu yang sebenarnya berlari dengan cepat, sejenak seolah merangkak dengan kaki kirinya terseret. Terhipnotis melalui ramuan-ramuan gaib para pertapa ciptaan Sindhunata. Keadaan yang nyaman ini semakin dalam melelehkan niat saya untuk menyelesaikan semua kewajiban. Dan tiba-tiba waktu yang seolah melambat kini berputar kian cepat, membalikkan segala keadaan, antara masa lalu dan hari ini menyatu tak menentu, menyadarkan saya akan realita. Maka terbangunlah, terburu-buru bergegas menjemput kenyataan. Bahwa sebenarnya begitu tak terasa beberapa jam telah berlalu, dan saya seketika teringat bahwa hari itu harus sudah membawa outline untuk Argumentative essay ke kelas. Dan sama sekali, saya tak membawa apa-apa kecuali Sindhunata dan hati yang berbangga.

Baca bukumu dan hiduplah di dalamnya.

Senin, Maret 17, 2014

Sinom dan Elegi di Purnama

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika saya dan 3 orang kawan  tiba di tangga menuju gedung F kampus UKSW. Sasi Kirana Macapat, begitulah namanya. Suasana tampak damai dan khidmat yang sebenarnya lebih menimbulkan efek mistis dengan melihat lampu-lampu lilin yang berjajar dari tangga terbawah naik ke atas di kedua sisi tangga. Orang-orang telah berkumpul, duduk menikmati pementasan yang sudah berlangsung setengah jalan. Kami berempat baru tiba ketika teriakan wanita melengking keras dari arah belakang kami berdiri.