Rabu, Desember 31, 2014

Cerita Desember

Ini sekali lagi merupakan cerita tentang Desember. Bulan yang membuat perasaan haru begitu mudah timbul di hati beberapa orang. Bulan penghabisan yang akan membawa banyak sekali kenangan di tengah-tengahnya. Ia akan benar-benar menyisakan rasa takjub saat mengulang-ulang kisah tentang Gie, yang lahir dan kemudian mati di bulan ini, juga menyisakan keriangan Natal, bersamaan dengan cerita kawan-kawan fakultas saat menghias kantor fakultas kami dengan pernak-pernik Natal (yang dengan sedih saya rindukan), kebersamaan yang hangat yang jarang saya dapatkan sepanjang tahun-tahun kami bersama. Ia juga menjadi saksi cerita petualangan yang akan berlanjut pada kisah-kisah manis tentang sepasang anak muda yang menemukan keresahan hati mereka di puncak-puncak gunung. Serta masih banyak lagi kisah bersama kawan-kawan lain yang telah belakangan ini menemani saya bermain dan melakukan segala aktivitas. Ia sungguh akan berakhir sebagai bulan yang ajaib.

Begitulah Desember kali ini berkisah. Ia datang diawali dengan kehangatan di malam yang lelah saat saya dan kawan-kawan fakultas mengerjakan dekorasi Natal untuk fakultas kami. Melewatkan pergantian senja menuju pagi kala itu tanpa memejamkan mata kami hanya untuk menyelesaikan pohon natal yang ajaib dengan dekorasi-dekorasi lain. Sebuah malam yang manis, saat kami saling bercerita, bercanda, serta membayangkan dengan penuh rasa sentimentil jika suatu saat nanti kami telah berpisah dan sibuk dengan kehidupan kami masing-masing, mempertanyakan akankah kami mengingat malam itu sebagai malam yang hangat, sehangat lantunan saxophone Kenny G dengan tembang semacam Have Yourself A Merry Little Christmas. Ia juga adalah sebuah malam yang bagi saya cukup menguras hati, pikiran dan tenaga. Bagaimana tidak. Di sanalah saya, saat kawan-kawan yang lain tengah mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti tes sebuah mata kuliah esok hari yang dengan santai saya abaikan. Di sanalah saat saya mesti menahan lelah dan kantuk untuk sesuatu yang kami sebut dedikasi. Di sana pula saya, saat menerima kabar pilu tentang seorang saudara yang anaknya harus dioperasi karena kedapatan tumor di langit-langit mulutnya. Saya serasa menjadi manusia linglung selama beberapa menit. Hanya bisa mondar-mandir dan duduk lemas di sebelah kawan saya, Mario. Namun tetap saja, malam itu menjadi malam yang sangat manis untuk kisah kebersamaan dengan beberapa kawan. Saya dan Mario pun sepakat bahwa kami berdua akan dengan segera merindukan kenangan malam itu. Dan benarlah, kami telah merindukannya!

Desember juga berlanjut dengan keceriaan seorang kawan dengan cerita-ceritanya yang menggelora. Gadis dengan senyum yang selebar langkah kakinya yang penuh semangat, gadis yang memang benar-benar bahagia sesuai namanya. Anak ini ada bersama saya saat melakukan pendakian ke gunung Ungaran di awal-awal minggu bulan Desember yang basah itu. Keriangan dan kecenderungannya untuk selalu kagum pada hal-hal yang ia temukan dan dengan penuh takjub selalu bisa membuat saya merasa bangga dapat mengenalkan petualangan ini padanya. Ia begitu mengagumi banyak hal di sekeliling kami. Dan saya dengan senang hati akan menceritakan hal-hal yang ia ingin ketahui tentang petualangan kami itu. Anak yang manis, yang suka menunjukkan perhatiannya pada hal-hal kecil di sekelilingnya, seperti saat ia menjumpai serangga-serangga hutan dan hal-hal lain yang kadang membuat saya geli. Ia ada bersama saya saat menjadi saksi tenggelamnya matahari di sebuah senja yang jingga di puncak gunung Ungaran. Di temani secangkir susu dan awan yang menggumpal di sekeliling kami, anak ini tampak begitu bahagia dengan senyumnya yang selalu saja bisa membuat saya ikut tersenyum. Kami melewati malam kami di gunung itu dengan banyak sekali bahan obrolan juga tembang-tembang yang manis semacam Lucky Man dari Mocca hingga Paradise dari Coldplay yang akan saya ingat hingga detik ini.

Dan di antara jutaan hingar dan kisah yang disajikan, seperti yang lainnya, Desember pun akan segera berakhir. Ya, ia harus berakhir. Demikian juga tahun yang indah ini. Ia pergi meninggalkan milyaran cerita yang akan sangat saya ingat. Dua belas bulan yang begitu hebat, yang sedikit banyak telah berefek dan mengubah beberapa manusia menjadi pribadi yang tampak agak sedikit berbeda. Begitu banyak cerita dari mulai cerita picisan hingga cerita serius yang cukup elegan untuk dikenang, yang senantiasa berjalan bersama menemani langkah-langkah saya dan yang dengan sendirinya memberi banyak sekali hal baik. Tentang kedekatan saya dengan banyak sekali kawan, yang baru maupun lama. Kawan yang saya jumpai di kehidupan nyata hingga tokoh-tokoh cerita di lembaran kertas yang saya baca. Ada pula kisah tentang petualangan bersama beberapa kawan. Dari petualangan saat gagal mendirikan tenda di Gunung Api Purba yang akhirnya menyebabkan kami terdampar di pantai Drini, hingga saat berbasah-basahan melawan arus sungai Kalipancur. Tentang derap suara hentakan kaki saat melompat-lompat menikmati tembang-tembang Navicula dan Behemoth, hingga lagu-lagu manis dari Mocca. Juga tentang obrolan di gunung Andong bersama Bagas dan Daniel, hingga malam-malam yang hebat di gunung Semeru yang tak bakal saya lupakan begitu saja. 

Begitulah, sementara Desember memang benar menabur gerimis, dan sementara pula sapu tangan  menyeka tangis dengan banyak sekali cerita pilu, ada banyak kisah yang hingar hingga sentimentil terjadi beriringan menghiasi bulan ini atau bahkan tahun ini. Dan seperti yang seharusnya, semua yang telah kita lewati, bukan hanya sekedar untuk dirayakan, akan tetapi juga untuk disyukuri.

Selamat menanti Tahun baru kawan, bersiaplah untuk hal-hal baik yang ia bawa!

Kamis, November 27, 2014

A Night in the Woods

" There is a pleasure in the pathless wood, 
  There is a rapture on the lonely shore, 
  There is society, where none intrudes, 
  By the deep sea, and music in its roar; 
  I love not man the less, but nature more. "


I was sitting right in front the dome tent, under the dim light of a flashlight over my head, staring at my friend's rusty stove with its blue flame and an aluminum mug on it. I felt tired after the long journey walking across the forest and struggling when trying to walk against the stream of the river of Kalipancur. But when the strong smell of babah kacamata black coffee rising up from the inside of the mug, the feeling of tiredness was gone all of sudden. It was really relaxing. The magical and aromatic fragrance of the coffee brought me a feeling of comfortable bed with a warm tight blanket covered all my body.

It was a night at Karangbawang, a village near Kalipancur, where my friends and I had planned to do a survey for our organization's agenda. We stepped into this place nearly after the sun had just fallen down in its nest, left its warmth and the sweet orange color in the west sky. That was a night where all of us gathered around under the stars. That was a night of stories and laughter, the sweetest Saturday night my friends and I have ever had. The night when all the business of our routine should be forgotten for a second. Spent our whole night talking about anything that came out from our mind, laughing, and even singing every song that was played from the mp3 player, with our tents surrounded by the trees and the dark of the night, and a sweet light of the half moon shone over all of the creatures below it. It felt like a holiday and it was just perfect!

There, I found the words of Lord Byron came to be true. It was more than a feeling of joy and peacefulness when sometimes I was sitting alone, facing the darkness of the forest and the sound of the night. I heard some night birds singing, some chats of insects among the grasses, and even some strange sounds that flew into my ears, mixed together with other sounds in the darkness. All the sounds were the music of the night, the symphony of the woods. I shared all my feeling with my friends. Sometimes I asked them to be quiet to listen to the sound of the wind. And sometimes, on purpose, we turned all the light off to enjoy the beautiful view of the night sky with the stars scattered all around it. There was a kind of magic that we found in the middle of the night among the trees. The magic that we would never find in the city with its light and even the noise pollution.

The night was getting higher as we were running out of things to be discussed. Some friends decided to end their involvement in our laughter. Others laid under the beautiful sky that night. They wanted to get some rest after the long journey. However, there were some friends who decided not to fall asleep. I set the mp3 player into lower volume, and brought new topic to be discussed with my two friends. But it didn't take long time, all the sacred things we discussed came to an end as my two friends closed their eyes and had really tight sleep.

---

The following morning, the birds were singing loudly and happily, it made the whole place felt like a paradise. Some birds flew from one tree to another, and others were chatting with their friends. A new great day to face had come. The sun was brightly shining over our tents. It was another thing that I love to see the sun shone through the trees, created a kind of natural curtain to filter the sunlight which caused some places stayed dark when the light couldn't reach some places that hidden behind the trees. What a great day!

However,  I couldn't just sit on my butt and enjoy the atmosphere with a glass of  hot chocolate in my hand. I needed to wake up. My friends and I had to pack our bags and prepare everything for our main purpose of being there. We had to start that day with another great adventure!

Rabu, November 05, 2014

Secangkir Mocca Manis Di Ujung Pekan Tanpa Gerimis


Ujung pekan selalu menyisakan rasa lelah yang manis. Juga sebuah perasaan yang muncul di sela-sela rasa pegal dan letih sehabis berlibur atau melakukan aktivitas mengisi hari-hari yang penuh semangat. Ia adalah malam di mana berbaring dan menonton televisi atau mendengarkan lagu-lagu pilihan di playlist kita menjadi pelampiasan terbaik sebelum esok pagi yang sekali lagi hingar dan gaduh datang menghampiri kita.

Minggu, Oktober 26, 2014

Tentang Gie dan Mahameru

Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan dan kebebasan 
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah dan berkata,  kesana-lah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara sapu tangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis.

Senin, Oktober 06, 2014

Mendadak Mahameru 3 : Men Behind The Backpacks






Alangkah baiknya jika saya perkenalkan lima pria power ranger yang gagah-gagah ini dalam petualangan Mahameru  kala itu. Atau sebaiknya empat saja, yaitu kawan-kawan saya yang dengan sangat menyebalkan menelantarkan saya di terminal Tirtonadai sebelum keberangkatan kami. Saya hanya tak bisa menahan diri ingin menceritakan tentang mereka. Kawan-kawan yang hebat dalam petualangan yang tak kalah hebat.


Minggu, Oktober 05, 2014

Mendadak Mahameru 2 : Mengenang Puncak Para Dewa


Mengenang sebuah perjalanan dan orang-orang yang menemaninya merupakan hal yang saya dan kawan-kawan saya biasa lakukan. Hal itu adalah pekerjaan yang manis ketika mengulang-ulang ingatan tentang segala kejadian dalam sebuah petualangan. Dan benarlah ucapan Gabug, kawan saya itu, bahwa pendakian Mahameru beberapa minggu lalu akan kami ingat sebagai kenangan yang akan bertahan cukup lama.

Kamis, Oktober 02, 2014

Mendadak Mahameru 1 : Departure

"Anjing. Ini benar-benar gila!" Saya tak henti-hentinya mengumpat saat itu.

Bersama laju bus yang secepat kilat menerobos gelap malam minggu itu, saya hanya bisa mengumpat dan tertawa-tawa seperti tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Itu merupakan umpatan-umpatan berkonotasi positif. Bukan sumpah serapah karena hal-hal menjengkelkan yang tengah terjadi atau karena

Rabu, September 10, 2014

Liburan Awal Semester

Yogjakarta!
Satu lagi cerita yang mungkin pantas untuk ditulis, dan juga satu lagi tulisan tentang sebuah perjalanan dadakan yang cukup memberikan efek menyegarkan pikiran dan hari-hari berikutnya.
Dan begitu, setelah beberapa saat yang lalu sempat bertamasya ke Jogja dengan kawan-kawan SMA, kini saya bersama segelintir kawan se-angkatan fakultas saya mengisi akhir pekan kami yang sebenarnya

Kamis, Agustus 14, 2014

Agustus!


Photo credit: wikipedia.org/audioslave

Entahlah, saya sedang kehilangan banyak sekali ide menulis karena kelelahan. Namun saya ingin sedikit corat-coret atau bercerita dengan agak semrawut mengenai bulan ini. Ya, Agustus datang dengan ramah. Ia datang saat bulan akan bersinar terang dengan apa yang orang-orang sebut sebagai 'Supermoon'. Ia juga datang dengan meteor-meteor perseidnya di setiap penjuru langit malam. Ia masih sama seperti biasanya, seperti saat seorang anak manusia

lahir dari rahimnya, setia membelai cakrawala membangunkan bagaskara dari tilamnya. Ia membiarkan angin timur bertiup hangat, menjauhkan butir-butir air turun memberi kesejukan pada tanah yang menganga kehausan. Bulan yang bagi beberapa nasionalis, atau mungkin sebut saja warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baik, merupakan bulan yang heroik dan berapi-api. Ah, terlalu klise untuk membicarakan hal-hal serupa.

Saya akan melihat Agustus sebagai hari-hari yang riuh dan bergembira. Dengan sejuta kegiatan dan antusiasme masyarakat dari berbagai kalangan. Juga keriangan anak-anak sekolah yang dengan tertib berbaris menyambut Sang Saka Merah Putih berkibar bersama angin hangat Agustus di pucuk tiang-tiang bendera sekolah mereka. Ada juga beberapa pemuda yang tengah sibuk mempersiapkan liburan mereka. Menjelajah hutan, merajai jalan, juga menggapai puncak-puncak tertinggi, dari puncak para dewa di Mahameru hingga menggerayapi tubuh dewi Anjani. Dan saya hanya akan mengucapkan selamat jalan dan hati-hati.

Di antara semua itu, saya bukannya tidak melakukan apa-apa. Saya juga akan berada di tengah atmosfir gegap gempita tersebut. Menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan sederhana yang merupakan cerminan antusiasme masyarakat tentang negerinya yang bertambah usia kemerdekaannya. Yang bagi beberapa orang masih dengan bingung mencari definisi kata merdeka itu sendiri. Aduh, bukankah sudah saya katakan di atas bahwa terlalu klise untuk berbicara tentang hal-hal demikian?

Sudahlah. Ada beberapa hal yang akan saya lakukan terlepas dari kegegapgempitaan perayaan tahunan negeri ini. Melaksanakan sebuah mini project dengan beberapa kawan untuk sekedar ber-jam session bersama. Belajar banyak sekali hal tentang lingkungan hidup bersama kawan-kawan organisasi. Menepati sebuah janji dengan seorang teman. Hingga menghabiskan malam-malam bersenang-senang dengan kawan-kawan saya. Akan tetapi, ada juga saat saya ingin sendirian, duduk-duduk tak melakukan apa-apa dan hanya mendengarkan Audioslave dengan lagunya Doesn't Remind Me. Sesekali juga bersama Chris Cornell menyanyikannya, "I like throwing my voice and breaking guitars. Cause it doesn't remind me of anything. I like playing in the sand what's mine is ours. If it doesn't remind me of anything." Saya jadi ingat kawan saya, Daniel yang pada saat itu bersikeras ingin mendengarkan lagu-lagu Metallica untuk melupakan suatu perkara yang membebani hatinya.. Ia ingin melakukan hal-hal yang mencegah ingatannya berbalik pada perkara yang memusingkan dirinya.

Yah, dan bulan Agustus baru berjalan beberapa hari. Kita masih berada di tengah-tengahnya. Mungkin ia akan memberikan beberapa potong kejutan yang akan kita ingat sepanjang sisa tahun ini, atau lebih. Mungkin pula ia telah menyiapkan sesuatu sebagai sebuah titik tolak bagi kehidupan beberapa orang. Ia tidak akan tergesa-gesa berlalu. Dan pada saatnya nanti, ketika ia berlalu, kita akan berterimakasih untuk hal-hal baiknya yang ia tinggalkan.

Minggu, Agustus 10, 2014

Sebuah Malam Di Gunung Andong Saat Para Pria Bercerita

Ah, ini lagi. Kawan saya Daniel kembali lagi ke Salatiga, berlibur seminggu sebelum pergi lagi ke Jakarta untuk sebuah Diklat. Beberapa hari yang lalu kami bertemu dan ia membawakan sesuatu yang dikatakannya sebagai sebuah 'Hadiah Ulang Tahun'. Kami sempat mengobrol beberapa saat di kampus dan menghabiskan malam kami bersama di rumah Bagas Riantono. Kami mendengarkan musik bersama, bermain game, tertawa-tawa, berdiskusi dan hal-hal yang sama sepanjang waktu kami bersama sejak dulu.

"Sebelum berangkat ke Jakarta, aku ingin naik gunung."

Bagitu ucapnya, yang kemudian saya simpulkan bahwa ia meminta saya menemaninya untuk sebuah pendakian gunung bersama Bagas juga tentunya. Sebenarnya saya ingin mengajak ia ke Merapi karena ia belum pernah ke sana, kemudian berganti pilihan ke Ungaran karena katanya ia ingin pendakian yang ringan. Namun pada akhirnya kami memilih gunung Andong yang 1700 mdpl-an itu karena ia harus sudah berada di rumah di hari sabtu sore untuk persiapan sebelum esoknya ke Jakarta. Kami memilih hari Jumat dan Sabtu karena kami bertiga memiliki waktu luang di hari-hari itu. Saya masih dalam keadaan lelah sebenarnya, setelah kemarin bertamasya ke Jogjakarta.

Di bawah langit gunung Andong

Kami berangkat sore hari. Saat matahari tersenyum hangat dengan awan putih yang tipis menjadi selimutnya. Kami berjalan pelan-pelan, bercakap-cakap akan beberapa hal dan bercanda bagaimana Daniel ini begitu tampak kepayahan berjalan bersama tas kecil di punggungnya. Kira-kira satu jam kemudian kami sampai di puncak dan kami segera mendirikan tenda di sana.

Awal malam itu begitu bersahabat. Dengan langit yang cerah dan bulan yang ramah kami bertiga sudah keasyikan berbicara kesana-kemari dan menikmati teh panas yang memanjakan. Kami juga dengan bodoh bernyanyi bersama keras-keras. Dari lagu Metallica, Rage Against The Machine hingga F.U.N. Dan setelah bosan kami keluar tenda, menikmati suasana malam itu yang remang-remang oleh cahaya bulan. Kami menghadap gunung Merbabu yang diselimuti awan putih di sebagian wilayah tubuhnya. Kami bercakap-cakap, mengejek satu sama lain dan seperti biasa, kawan saya satu ini selalu dengan mudah meremehkan saya dalam banyak sekali hal. Ah, dia ini memang tipe manusia yang begitu mudah menilai dan merendahkan orang lain. Tapi biarlah, saya sedang tidak ingin membicarakan itu, walaupun pada saat itu saya pura-pura kesal yang pada keesokan harinya saya bertanya apakah ia juga suka meremehkan kawan-kawan kerjanya. Yah, saya memang sudah biasa berbicara apa adanya, blak-blakan istilahnya atau menurut Bagas ceplas-ceplos, terutama terhadap kawan-kawan saya ini.

Pada malam itulah pembicaraan kami menuju ke arah yang lebih serius. Ya, kami, tiga anak muda ini berbicara lebih serius tentang pertemanan kami bertahun-tahun ini. Membicarakan bagaimana pria dan wanita itu berbeda dalam pertemanan mereka, juga tentang bagaimana kami sering menjadi melankolis saat bercerita tentang sesuatu ketika mengukur setiap hal di sekitar kami, kemudian juga mengkritik beberapa hal hingga topik-topik janggal yang kami tak pernah bicarakan selama kami berteman. Saat mendengarkan lagu dari F.U.N kami sepakat bahwa lagu yang sedang kami dengar itu terasa seperti sebuah lagu perpisahan. Kami mengingat bahwa hari Minggu nanti Daniel akan berangkat kembali ke Jakarta untuk mengikuti Diklat. Kami tidaklah terlalu sentimentil dalam pertemanan kami, hingga kami tak perlu seolah-olah mengadakan upacara perpisahan. Selain itu karena biarpun ia pergi kesana-kemari, kami akan dengan mudah bertemu kembali, menghabiskan hari bersama, berbincang dan melakukan hal-hal bodoh. Hal-hal bodoh yang Bagas tanyakan kepada Daniel apakah ia juga melakukannya dengan rekan-rekannya. Namun kami masing-masing menyadari bahwa persahabatan kami akan berlangsung lama, atau bahkan hingga kami berambut putih dan menggendong cucu kami masing-masing.

Saat kami mulai mengantuk dan kedinginan, kami segera memasuki tenda kami. Pada saat itu saya sedang berkirim-kirim pesan dengan Culin. Memang di gunung Andong kita bisa mengirim pesan atau bahkan menelpon. Ia mengatakan bahwa hujan deras mengguyur Salatiga malam itu. Dengan pamer saya katakan bahwa kami bertiga sedang menikmati suasana malam terang yang menyenangkan. Namun beberapa saat setelah itu tiba-tiba angin bertiup agak lebih kencang, dan benarlah seperti apa yang kami khawatirkan, hujan pun turun dengan segera. Kami malah tertawa-tawa. Entah panik atau memang gembira. Culinpun mengejek dengan bahasa yang sepertinya menunjukkan ia begitu senang setelah tahu bahwa kami kehujanan. Sial.

"Kau tahu, setiap kali naik gunung denganmu kita selalu kehujanan."

Saya berkata kepada Daniel. Saat kami tengah sibuk membenarkan dan mengamankan barang-barang kami dari air.

"Benarkah? Ah, itu hanya kebetulan!"

Demikian jawabnya setelah berpikir sejenak.

Kami lantas tertawa-tawa lagi setelah melupakan guraun itu. Bahkan saya sekali lagi mencandai Daniel perihal adik perempuannya yang bertambah besar dan telah menjadi seorang gadis, apalagi ia kini akan masuk di sebuah fakultas yang satu gedung dengan fakultas saya. Saya akan selalu bertanya demikian, "Siap tidak jika aku menjadi iparmu?" Dan Daniel akan menyambutnya dengan sebuah ejekan namun mesti berakhir pada sebuah kalimat yang agak serius saat menjelaskan bagaimana adiknya ini agak susah untuk bersosialisasi. Ini hanya sebuah candaan sebenarnya, namun pada setiap akhir candaan kami terhadap hal ini, ia tampak selalu menunjukkan bahwa hubungan dirinya dengan adiknya memang agak kaku. Dan seolah ia berkata: mungkin kau bisa jika kau mau. Ah, sudahlah!

Kami kemudian mendengarkan musik dan sekali lagi bersama bernyanyi dengan keras ketika hujan sudah sangat deras mengguyur tenda kami. Hujan tak berlangsung lama, namun cukup membuat kami kepayahan saat mencoba mengamankan diri kami di dalam tenda.

Di ujung malam, saat angin membawa awan hitam pergi dari gunung Andong, kami telah terdiam. Kelelahan dan mengantuk hingga akhirnya kami tertidur dengan posisi yang kurang nyaman untuk Daniel. Esok harinya ia menggerutu karena ketidaknyamanan semalam. Saya dan Bagas hanya bisa tertawa tanpa terlalu mempedulikan gerutu si Daniel.


Daniel, dengan daging yang beberapa kilo lebih berat

Jumat, Agustus 08, 2014

Di Sela Tawa Vredeburg dan Gunung Kidul




Ada sebuah ungkapan, yang entah saya baca di suatu tempat atau mendengar dari seseorang, yang kira-kira berbunyi demikian, "Hal-hal yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri." Saya selalu yakin dengan hal itu dan mengamininya. Seperti apa yang saya alami bersama kawan-kawan lama saya, saat mengisi liburan berwisata bersama.

Senin, Agustus 04, 2014

Tiga Hari 'Tuk S'lamanya


Kaldera

Mengapa kita senang sekali bercerita? Di tengah kemeriahan pesta maupun sibuknya hari-hari, tidakkah kita mengingat cerita-cerita lebih dari kejadian yang kita alami sendiri? Kita 'tak kan mengingat sebuah kejadian sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi secara rinci. Kita hanya mengingat sedikit rekaman dari ingatan kita atau mungkin beberapa kisah yang terpotong-potong, yang kebanyakan disumbangkan dari rangkaian cerita

Sabtu, Juli 26, 2014

Tawa Riang Kawan Lama

Ada sebuah kerinduan yang bergelayut di antara lambung dan ulu hati. Kerinduan polos yang dimiliki anak-anak. Sebuah rasa rindu tentang masa-masa yang bahagia. Kebahagiaan yang sederhana, yang tak harus ditemui di belantara hutan atau di puncak-puncak gunung. Kebahagiaan yang membuat kita menjadi bocah naif yang tak tahu apa-apa tentang dunia. Ia tumbuh tegap bersama rindunya, menggelora dengan tawa riang yang ringan dan renyah menggetarkan ingatan akan usia masing-masing kita yang tak semuda dahulu.

Itulah yang saya sampaikan setiap kali saya dan kawan saya, Bagas Riantono bercerita tentang kawan-kawan lama kami. Betapa kami, dua pria yang sebenarnya selalu menjadi orang yang gemar melarikan diri dari pesta, pada sebuah keadaan merasa ingin bertemu dengan mereka yang dengan gaya kami, kami rindukan. Sudah berbulan-bulan pada kesempatan tertentu kami selalu menyelipkan tema tentang mereka dalam obrolan. Kami sepakat, nantinya jika ada sebuah acara atau momen tertentu untuk sekedar kumpul bareng atau apapun, kami dengan senang hati akan ikut. (Setelah sebelum-sebelumnya kami selalu tidak hadir)

---

Jumat, 25 Juli 2014, setelah dengan sangat menyebalkan menunggu Bagas yang katanya sudah menunggu saya sedari tadi, ia muncul juga dengan tawa tidak berdosanya. Di kesempatan ini, pada sebuah senja yang agak redup, sebuah rumah makan yang ramai dipenuhi manusia-manusia dengan segala kepentingannya, akhirnya setelah sekian lama, saya bisa berkumpul kembali bersama kawan-kawan SMA. Yah, di sebuah senja yang agak mendung, kami berkumpul sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kendati saya tidak berpuasa saya merasa cukup senang bisa berada di antara mereka. Menjalin sebuah rasa rindu persaudaraan yang sebegitu uniknya sehingga kami tetap dengan bebas tanpa ragu berkelakar sesuka hati kami seperti biasa, seperti pada saat kami selalu bersama dulu. Ah, kawan-kawan saya ini memang tak banyak berubah. Mereka masih seperti dulu, tertawa, bergurau tentang hal-hal remeh, mengejek satu sama lain, dengan sikap mereka yang memang tak banyak berubah. Walaupun mereka pada dasarnya tampak beberapa kali lebih bersikap manis dan dewasa, kecuali beberapa kawan hebat saya ini, anak-anak hujan, yang entah bagaimana dengan ajaib tetap sama seperti dulu, dengan keceriaan kanak-kanak mereka yang tak banyak berubah, yang tetap hinggap pada diri mereka dan menjadikan mereka sebagai sosok yang selalu muda serta ceria. Yah mereka ini memang benar-benar ajaib!

Kami saling berjabat tangan, melempar senyum dan tawa, dan menanyakan kabar serta hal lain-lainnya yang biasa dikatakan setiap kali bertemu dengan kawan lama yang tak bersua bertahun-tahun.
Kamipun bertukar cerita, dari kisah masing-masing, hingga mengulang cerita kami semua tatkala masih berseragam putih abu-abu. Segala  yang menjadi memori selalu berakhir pada sebuah cerita penuh tawa dan kenangan, yang selalu terucap seperti angin lalu yang tak banyak faedahnya. Biarpun pada kenyataannya kami menghargai kenangan itu sebagai sebuah ingatan istimewa akan masa-masa muda kami. Saya ingat kelakar Bagas dan Gigih yang selalu menjadi pemeriah keadaan saat kami semua diam atau sibuk dengan urusan kami masing-masing atau Mychael yang tak benyak berubah dengan hal-hal absurd dan kenarsisannya yang masih sama seperti dulu. Juga Mada, ketua kelas kami yang selalu bercerita dengan nada hampir tertawa yang masih saja sok elegan dengan cerita-cerita konyol berbau mesum dan tetap tak berubah. Tak ketinggalan Upho, yang secara tidak langsung seolah menjadi koordinator acara ini, selalu menjadi korban candaan kawan-kawannya, terutama tentu saja Bagas dan Gigih. Dan kami masih saja menggodai Risa dengan gaya-gayanya saat masih berponi dan suka mengelus poninya itu serta mengibaskan kedua tangannya seperti kepanasan saat ia malu atau tertawa geli terhadap sesuatu. Saya akan terus tertawa -bahkan melupakan sejenak sesuatu yang menghinggapi pikiran saya selama ini- hingga sakit perut melihat mereka, membuat lelucon dan menggodai kawan-kawan saya, saling mengejek tak mau kalah dari yang lain. Begitulah mereka, kawan-kawan yang luar biasa.

Seusai menikmati hidangan berbuka puasa, bagi kawan-kawan saya yang berpuasa, kami melanjutkan obrolan kami. Beberapa berkisah akan suatu cerita yang menjadi asyik untuk beberapa orang, yang lain duduk bersama sambil bermain gadget mereka, ada pula yang tetap bersenda gurau dan terlihat sangat bahagia. Beberapa kawan mengajak saya berfoto, ada pula yang memaksa. Karena rambut baru saya ini, yang pada mulanya sudah berulang kali dikomentari oleh beberapa kawan wanita. Saat gerimis turun, diam-diam di dalam hati saya bersuka cita. Saya akan sungguh berterimakasih jika hujan datang dan mengurung kami dalam kebersamaan seperti dulu, saat kami tak bakalan mungkin pulang dari sekolah karena hujan mengguyur dengan deras. Dan terpaksalah kami harus berkumpul membicarakan hal-hal spontan di sekeliling kami.

Namun pada akhirnya, beberapa dari kami memutuskan untuk segera pamit untuk urusan-urusan mereka karena hujan tak jadi turun. Disusul yang lain dengan agenda mereka masing-masing. Kami yang tersisa seperti tak rela untuk mengijinkan mereka pergi. Kami masih ingin bersama, berbicara kesana-kemari dengan semua omong kosong yang selalu terasa menyenangkan dan candaan-candaan klise yang terasa seperti baru. Mengingat-ingat, kemudian merangkai menjadi kelakar yang akan selalu menjadi pelengkap kebersamaan kami.

Terimakasih kepada Upho dan kawan-kawan semuanya. Terimakasih karena telah melegakan kerinduaan masing-masing dari kita.


Minggu, Juli 20, 2014

Merapi Sambil Bernyanyi

Setelah beberapa lama merasa cukup keruh dan bosan karena ketiadaannya pekerjaan, atau dengan susah payah kesana kemari sibuk mencari kesibukan, akhirnya sebuah ajakan untuk bermain ke tempat-tempat tinggi untuk sekedar menghabiskan sisa malam atau pindah tidur dari seorang kawan menjadi sebuah tawaran yang menarik, yang sayang untuk diabaikan. Seperti halnya juga apa yang pernah saya tuliskan, saya hendak berbaur dengan pohon-pohon dan bebatuan di bawah taburan bintang-bintang.

Sabtu, Juni 28, 2014

Antara Riak Air, Batu, Kepekaan, Celoteh dan Sajak Akan Mereka Yang Tak Terpahami


"Seumpama seuntai kesenangan, menetes seirama rintik-rintik air, kemudian jatuh dari tebing-tebing batu yang basah. Sebuah surga yang tersembunyi di antara bebatuan dan tumbuhan yang biasa kita jumpai di film dinosaurus atau semacam Jurassic Park. Ya, tumbuhan paku, tetumbuhan dengan kesan primitif dan kepurbaannya. Kemudian mengalir bersama derasnya air sungai yang sejuk membelai, menghalau jemari kaki, kesenangan itu terasa dingin dan basah."

Saya memutuskan untuk melepas alas kaki dari kedua kaki saya, membiarkan mereka telanjang basah di dalam air yang dingin dan bersentuhan langsung dengan bebatuan yang licin dan tajam beberapa. Melihat hal itu, seorang kawan tiba-tiba menepuk pundak dan memperingatkan akan resiko dari apa yang saya lakukan. Dengan gaya sok-sokan saya menjawab santai, "Ah, sepertinya bukan petualangan namanya jika tidak beresiko!" Dan dia cuma tersenyum pahit sambil menggeleng kepala. Begitulah setiap kali salah satu dari gerombolan kami memperingatkan atau sekedar bertanya kepada saya perihal ulah saya untuk tidak menggunakan alas kaki. Saya kegirangan. Sebuah petualangan yang sebelumnya dengan malas saya iyakan, kali ini menampik dan memberi kesan yang dalam. Bukan cuma hal-hal permukaan, tetapi kesan yang didapat, seperti bebatuan dan air sungai sendiri yang bergumam menyampaikannya.

Sabtu pagi ini adalah kali kedua bagi saya dan beberapa kawan berada di sini, sebuah sungai yang berhulu di air terjun Kalipancur, dan tetap saja terasa baru serta istimewa. Yang membuat ini menjadi agak berbeda adalah perasaan saya yang sedang agak mengambang. Begitulah, sungai dengan aliran airnya selalu menjadi perpaduan yang memberi kesan damai dan sejuk nan seimbang. Ia tak sekedar membuat takjub namun juga menyadarkan. Mungkin ini sebabnya beberapa musik relaksasi selalu mengikutsertakan suara-suara aliran air. Gemericik suaranya menjadi pelengkap dalam nuansa kehidupan alam yang menenangkan jiwa. Dan apa yang tertanam di hati saya itulah yang menyebabkan saya ingin merasakan secara lebih dalam, bersatu dengannya. Seperti sebuah kerinduan yang melampaui ketakjuban itu sendiri. Saya tidak melebih-lebihkan, ini adalah apa yang saya rasakan! Ada sebuah rasa senang dan takjub yang sama, terhadap derasnya air dingin yang mengalir berkelak-kelok di tubuh sungainya. Atau terhadap tebing-tebing cemerlang di kanan kiri kami yang disebabkan oleh cahaya matahari menghantam permukaannya yang berbalut air dan lumut. Kami luluh, oleh percikan embun yang basah, sebasah kecupan Janis Joplin saat dia masih suka memakai manik-manik dan bergonta-ganti panggung kesana-kemari.

Dan, di sanalah kami, anak-anak muda, yang lebih muda dari Che Guevara yang bengek dan hampir mati saat mengendap-endap di belantara hutan Amerika Selatan, menemukan kesenangan yang tak kami dijumpai di keramaian kota Salatiga atau di kampus kami, mengendap-endap di bawah batang pohon-pohon tumbang, dengan kaki-kaki kami yang setengahnya berada di air mengalir. Seperti yang sering saya katakan, adalah sebuah anugerah dan kebahagiaan ketika bisa bersatu bersama sesuatu yang tidak akan pernah selesai kita pahami, begitulah, alam selalu menyodorkan kejutan dan teka-tekinya. Seperti sebuah puzzle yang diberikan secara sepotong-sepotong namun selalu terhenti pada potongan tertentu. Ya! Mungkin ini adalah caranya, supaya manusia tak selalu tahu dan mengerti yang akhirnya menjadikan mereka sombong dan jumawa. Melupakan Dia yang mencipta mereka, dan jenis ciptaan yang lain yang sesungguhnya ada dan menjadi penyeimbangnya.

"Bukannya mereka tak mau dipahami," Demikian ucapan saya ketika kawan perjalanan saya bertanya jengkel tentang gagasan yang mereka sebut absurd mengenai alam sebagai sesuatu yang tak pernah selesai untuk dipahami. "Mereka ingin supaya manusia memahami bukan dengan jalan pikir manusia itu sendiri, tapi dengan jalan pikir sebagai makhluk yang sama yang diciptakan dari Tuhan yang sama." Sontak saya seperti menjadi Siddhartha Gautama menyebarkan welas asih kepada manusia, atau seperti Parang Jati menghukum Sandi Yuda dengan pencerahan akan laku kritik yang memancar sebening mata bidadarinya. Dan entah kawan-kawan saya ini terlalu dungu ataukah memang jengah dengan hal-hal janggal yang secara spontan keluar dari mulut saya, mereka hanya bisa mengernyitkan dahi sambil bergumam hal-hal yang saya tak ketahui. Ah biarlah, begitu pikir saya, setidaknya saya bisa mengekspresikan kekaguman akan apa yang saya temui. Dan setidaknya pula, saya mendapatkan inspirasi untuk banyak hal.

Saya tidak hanya mengingat bebatuan terjal yang dengan susah payah kami lalui, atau tebing batu yang beberapa kawan dengan gentar mereka tanjaki, ada juga sepotong ingatan akan anak-anak muda ini yang dengan kesenangan masa kecil bermain di dalam air, berendam dan saling memercikkan air ke muka teman-temannya. Ada pula yang secara sengaja mengencingi aliran air sehingga mengenai kawan-kawannya yang di bawah. Gila! Saya juga ingat akan bias pelangi yang tercipta dari percikan butir-butir air dari tebing-tebing di kanan kiri kami yang tegak tinggi menjulang. Juga celoteh, ejekan dan sumpah serapah akan kepayahan yang kami tanggung saat memanjati tebing dengan arus airnya yang deras. Semua menjadi satu, terekam menjadi sajak dadakan yang begitu saja saya buat dan saya ungkapkan secara spontan kepada kawan-kawan ini, atau setidaknya siapa saja yang berada di dekat saya saat itu.

Dalam dingin kami tetap bergembira, menjelajah sungai dengan airnya yang agak kecoklatan dan pacetnya yang ribuan jumlahnya, menempel pada bebatuan yang sesekali kami duduki ketika sedang beristirahat. Dalam dingin pula ada percakapan-percakapan dangkal hingga serius. Tentang kehidupan. Bukan saja kehidupan kami, manusia, tetapi juga mereka, yang menjadi keindahan dan sedang kami kagumi. Dan kami, yang dari awal cuma sekedar main-main, serasa mendapat pesan dari petualangan kami hari itu. Entah kami semua, atau sebagian dari kami. Namun saya yakin bahwa masing-masing dari kami akan mengingat petualangan ini sebagai sebuah petualangan yang hebat.

Demikianlah kami, sekali lagi, anak-anak muda yang bahkan jauh lebih muda dari usia Kurt Cobain saat menjadikan heroin sebagai gaya hidupnya sehari-hari. Biarlah kami tetap meniti semak-semak, menghirup kabut putih di ketinggian, mencari makna akan kehidupan, mengalir bersama riak air, mencintai mereka yang kami sebut sebagai yang tak terpahami. Biarlah itu terus tertanam, supaya kami selalu berusaha memahami hingga akhirnya kami lelah dan mati!

Kamis, Juni 12, 2014

ANEH

Ada suatu masa di kala para pemburu dengan kulit kasar dan otot-otot pejalnya keluar hutan tanpa membawa apapun kecuali rasa haru melihat anak rusa menyusu pada induknya. Ada pula para pelaut, pencari ikan dan terumbu yang menerjang ombak, menyelam dan bertarung dengan badai tanpa henti, suatu ketika berjalan lembut menyusuri pasir pantai dengan linangan air mata kerinduaan akan rumah. Demikianlah, ada waktunya ketika seseorang seolah menjadi berbeda, padahal ia hanya menjadi dirinya sendiri yang sebenar-benarnya.

Terdengar ganjil memang. Yah, itu karena kita menggunakan ukuran-ukuran kelaziman pada hal-hal yang kultural dan biasa terjadi di sekeliling kita. Kita, manusia, anak-anak peradaban yang mengukur segala sesuatu dari permukaan! Ya, kita akan dengan sangat mudah terperanjat menanggapi sesuatu hal yang mungkin itu tak sering terjadi atau yang kita pikir tak patut terjadi. Kita akan cenderung merespon negatif akan hal-hal tersebut. Apakah salah jika seorang pendaki gunung akhirnya memilih menghabiskan 1 minggu liburannya bersantai di tepian pantai dan menyelam ke dasar laut? Atau mereka, para petualang akhirnya memilih mendekam di kamarnya selama berminggu-minggu hanya karena ingin mengenang kisahnya bersama kawan-kawannya. Kemudian apakah ini sebuah keanehan jika Sandi Yuda memilih melakukan pemanjatan bersih setelah bertahun-tahun ia memanjati tebing dengan caranya, hanya karena kalah taruhan dengan Parang Jati?

Ya! hal-hal 'aneh' itu terjadi, ketika kau, dengan tubuh tegap dan gagahmu tak boleh sedikitpun bersikap sedikit lembut dan berbicara soal asmara. Atau ketika kau, seorang gadis yang manis tak boleh bergelayutan di pohon jambu hanya karena katanya wanita mesti lemah lembut. Selama kau mau tunduk terhadap larangan-larangan yang bersifat stereotyping dan tidak masuk akal itu, maka kau tak akan pernah menjadi manusia merdeka!

Mungkin saja, Hitler dengan kumis kotaknya itu sesungguhnya penyayang binatang, kolektor bunga dan menyukai warna-warna ceria. Atau bisa saja jika dosen wanita di kampusmu itu sebenarnya suka berfantasi dan menyimpan majalah-majalah dewasa di almarinya.
Mari kita melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa manusia memiliki berbagai macam sisi di mana mereka tak bakal berdiam pada satu sisi saja. Dan itu adalah hal yang sah selama mereka melakukan hal tersebut berdasarkan kemauan dan kesadaran mereka sendiri.


Minggu, Juni 08, 2014

Sebuah Keresahan Di Senja Hari

Melankolis. Sebuah kata yang sudah lama saya ketahui, namun baru kira-kira 5 tahun yang lalu sering saya pakai. Bahkan, di blog inipun tak terhitung lagi kata 'melankolis' yang saya gunakan.
Bagi saya, kata tersebut seolah menjadi deskripsi yang pas untuk kejadian yang menggunakan perasaan guna mendapatkan suatu kesan yang dalam. Yah, saya memang sudah terlalu sering menggunakan perasaan untuk membuat simbol atas segala sesuatu. Tapi percayalah, ada kalanya seseorang melembutkan dirinya, menggunakan perasaan untuk mengukur sesuatu!

Seperti saat kau mengingat akan hal-hal tertentu di masa lampau yang tak bakal kau lupa dan membuatmu senyum-senyum sendiri. Kemudian saat kerinduanmu akan sesuatu telah memuncak dan tak dapat terbendung hingga ia lepas sendiri seperti saat kau mengalami mimpi basah pertama kali. Atau juga ketika kau baru saja menikmati pertemuanmu dengan kawan-kawanmu, tanpa kau sadari kau telah berada jauh di sebuah pondok yang sepi dengan keadaan malam yang cerah dan indah. Di sanalah akhirnya kau memandang dirimu sendiri berada bersama kawan-kawanmu, yang sebenarnya merupakan ingatanmu sendiri.

Itulah yang saya alami.

Ini adalah perasaan yang hampir sama seperti yang sudah-sudah. Saya dan Dita sepakat bahwa kami seperti telah menjadi tua dan merenungi masa kejayaan bersama dengan segala hal bodoh yang terjadi. Seperti ada rasa kehilangan yang begitu besar saat saya duduk sendiri di beranda rumah, menyaksikan langit barat yang tak lagi jingga namun semakin tua membiru. Membayangkan bahwa semalam lalu saya masih bersama segerombolan gadis-gadis menghabiskan malam bersama, jauh dari rumah kami masing-masing. Gadis-gadis di sini bukanlah gadis-gadis yang sama dengan versi Yulio, melainkan mereka adalah kawan-kawan saya yang hebat, yaitu Dita, Puput dan Anastasia, dengan kawan-kawan mereka yang lain yaitu Vila, Ambar dan Farida. Benar, saya satu-satunya pria! Kami melewati malam kami di ketinggian, menghirup kabut dan memandang bintang-bintang. Di sela-sela semuanya itu ada cerita, tawa dan kebersamaan yang sudah lama tak kami - secara khusus saya dan ketiga kawan saya ini- lakukan. Sudah lama sekali sejak terakhir saya dan Dita maupun Anastasia menghabiskan malam bersama di gunung ataupun di tempat-tempat di mana kami biasa menikmati malam. Seperti pada saat dulu kami bersama mendaki gunung Merbabu lewat jalur Thekelan, atau ketika malam Natal kami dan kawan-kawan kami yang lain berkumpul di lapangan basket sekolah kami. Dan inipun merupakan pertama kali saya melewati malam dengan kawan saya, Puput, yang dengannya saya kalah telak dalam sebuah taruhan!

Saya akan ingat diskusi kecil bersama Dita dan Anastasia -yang kami panggil Anas atau kadang Nanas- ketika angin malam semakin kencang meniupi tenda-tenda kami. Dengan candaan seputar urusan wanita yang sudah biasa saya dengar dari mereka, kami duduk berselimut sebuah sleeping bag yang kami gunakan bersama untuk menutupi bagian bawah tubuh kami sambil sesekali menikmati lukisan langit malam saat kabut tak menutupinya. Ketika itu saya sedikit enggan untuk mengobrol dengan bahasan yang terlalu berat. Saya ingin sekadar berbagi kisah ringan bersama mereka tentang masa-masa SMA, bermelankoli tentang kegiatan kita yang dulu-dulu, saling mengejek akan sesuatu, atau beberapa kisah pribadi yang bagi kami bukan menjadi rahasia. Begitulah, kami dulu memang sudah sering berbicara tentang banyak hal. 

Saya juga ingat ketika setelahnya saya dan Nanas berjalan-jalan ke puncak malam itu. Saya pikir Dita dan Puput sudah tidur, sehingga saya mengajak Nanas untuk melanjutkan obrolan dan tidak mengganggu mereka. Sungguh, dia sudah seperti kakak perempuan bagi saya, ketika kami berbagi kisah kehidupan kami, atau sekali lagi tentang hal-hal yang dulu-dulu, ia menjadi pendengar sekaligus penasihat yang baik, terlepas dari gayanya yang sok-sokan dan suka mengejek. Dan dia lebih sering tertawa mendengar cerita saya. Hal-hal seperti ini, Win, yang membuat kita benar-benar menjadi seperti saudara! Kurang lebih begitu katanya. Di saat tertentu saya akan menjadi pendengar yang baik pula, dan sesekali dia juga meminta pendapat akan sesuatu kepada saya. 
Kemudian ketika kami kembali ke tenda kami temukan bahwa ternyata dua kawan saya itu belum tertidur. Saya menjadi tak enak hati karena pergi berdua saja. Semoga mereka tidak memikirkan hal yang macam-macam! Saya ingin melanjutkan obrolan ataupun candaan kami lagi sebenarnya, namun badan berkata lain ketika tanpa sadar saya kelelahan dan akhirnya tenggelam dalam dengkuran saya sendiri....

Semua tampak berjalan begitu cepat. Apa yang kami alami semalam seperti sudah lama sekali, namun kesan dan sisa-sisa keceriaan itu masih menempel pada permukaan. Perasaan-perasaan itulah yang membuatmu seolah takut menjadi tua. Saat kau menikmati hatimu diremas kekacauan yang menyenangkan seperti ini kadang kau akan takut bila suatu hari, ketika telah bertambah tua dan menjadi membosankan kau tak akan bisa menikmati kebimbangan dan rasa-rasa seperti ini.

Jumat, April 25, 2014

Dari Ungaran hingga laut Selatan; Story of The Unplanned Stories


Cerita ini adalah cerita pendek dari perjalanan-perjalanan yang dirangkum menjadi satu.

Ketika April menyapa, dan tugas-tugas kuliah serta kesibukannya satu persatu mengucapkan selamat tinggal, maka tibalah waktunya untuk mengencangkan ikat pinggang dan mengikat tali sepatu. Bermain ke tempat-tempat yang tinggi, menghirup kabut putih yang menyegarkan, atau ke dataran yang lebih rendah, mencari buih yang bergulung berkejar-kejaran dengan pasirnya yang lengket... jauh dari rumah.
- Karena semua itu baik, maka jadilah petang dan jadilah pagi, itulah permulaannya.

Kamis, Maret 27, 2014

Menyelusup Waktu Mencumbu Anak Bajang

Kita tidak mengeja aksara, kita mencari makna-makna.

Saya sedang disibukkan dengan sebuah buku karya Sindhunata. Demikianlah judul di atas dibuat. Biar terdengar agak poetic seperti ayat-ayat Sindhunata yang telah meracuni jalan pikiran saya selama seminggu ini. Melupakan tugas-tugas, melepaskan diri dari ikatan dan tekanan, sejenak mengendurkan urat-urat syaraf. Dan kecintaan akan karya sastra inilah yang membuat saya terbuai melupakan segalanya.

Di akhir semester ini memang sedang banyak tugas kuliah. Biar si Puput, kawan saya yang kini menjadi senior saya bilang bahwa semester 5 nanti akan lebih berat dari semester yang sedang saya jalani, saya sudah merasa kepayahan menanggung beban tugas ini. Yah, dan dalih saya adalah karena 90% dari tugas-tugas ini adalah group project sehingga saya tidak bisa berbuat seenaknya. Karena tugas individu bagi saya jauh lebih enak, tidak terlalu berbelit-belit dengan kepentingan orang lain dan lebih bisa bersantai.

Maka terjadilah, mencuri-curi waktu. Jika dihitung, mungkin sudah sangat banyak saya menyia-nyiakan waktu yang seharusnya lebih berguna untuk sekedar memikirkan apa yang akan saya kerjakan untuk tugas saya nanti. Ada kalanya ketika saya keasyikan keluyuran ke sana kemari, melamun, bercakap-cakap dengan kawan; Mario, Yulio, Puput, Bagas, dan masih banyak lagi; tiduran di lapangan basket, bercengkrama dengan Mochtar Lubis atau Pramoedya. Dan itulah, yang paling mengesankan adalah membaca buku, sendirian.



Tepat seminggu yang lalu ketika dengan tidak merencanakannya saya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Saat itu sebenarnya saya berniat mengerjakan tugas dengan kawan-kawan saya, namun karena mereka mengerjakan tugas lain dengan kawan-kawan mereka yang lain, alhasil saya lebih suka mengalah dan membiarkan saja. Dan puja kerang ajaib karena tanpa sengaja pula, saat saya berjalanan menyusuri rak buku paling kiri di dalam perpustakaan, saya menemukan sebuah buku yang pernah direkomendasikan kawan saya, Stefanus. Judulnya saja sudah terdengar poetic, "Anak Bajang Menggiring Angin." Walaupun kesan pertama terdengar janggal dan aneh. Bukan berarti saya menomorduakan Mochtar Lubis, namun untuk sesaat saya rasa akan menyelesaikan buku Sindhunata terlebih dahulu.

Duduk bersila di sebuah tempat favorit saya, di antara rak-rak buku yang tak terbilang banyaknya, mulailah lembar pertama buku itu saya buka. Seketika atmosfir berubah, ketika kata demi kata, kalimat demi kalimat terbaca perlahan. Sindhunata, merenda-renda kata layaknya hiasan di tangannya, dirajut kemudian dipadukan dengan berbagai warna, warna kehidupan, megah dan penuh makna. Maka runtuhlah daya ingat saya oleh semua mantra-mantranya. Melupakan tugas, melupakan apapun yang menjadi pemberat hidup beberapa hari itu. Bukan saja bahasa yang digunakan yang memang seluruhnya sangat megah, makna yang tersirat dari tiap kalimat justru yang menjadikan kesempurnaan karya tersebut.

Semua dilukiskan sedemikian rupa. Melibatkan seluruh indera guna mendapatkan kesan sesungguhnya. Seperti tanpa cela, ketika kadang ia akan menjadi seorang dalang yang tentu tahu gerak-gerik wayangnya, dan di waktu lain ia akan menjadi seekor kumbang yang mengintip tokoh-tokoh cerita dari balik busananya, kemudian menelisik lebih jauh bagai dewa yang tahu sifat hati manusia. Saya menjadi mengambang ketika mengeja kata demi kata. Luar biasa, itulah yang bisa saya katakan. Maka semakin khusyuklah saya membaca buku tersebut, di tempat favorit saya di suatu tempat dalam ruang perpustakaan tersebut. Dan ikut pulalah saya masuk ke dalam alam ceritanya. Menjadi pepohonan yang diterpa angin senja, atau bintang-bintang ketika Danareja melamun sepi, bermuram akan rindunya. Kemudian menjadi mega-mega, saksi duka kelahiran Dasamuka, dan seketika juga berubah menjadi bunga-bungaan, mengintip malu saat Rama dan Sinta merajut cinta.

Waktu yang sebenarnya berlari dengan cepat, sejenak seolah merangkak dengan kaki kirinya terseret. Terhipnotis melalui ramuan-ramuan gaib para pertapa ciptaan Sindhunata. Keadaan yang nyaman ini semakin dalam melelehkan niat saya untuk menyelesaikan semua kewajiban. Dan tiba-tiba waktu yang seolah melambat kini berputar kian cepat, membalikkan segala keadaan, antara masa lalu dan hari ini menyatu tak menentu, menyadarkan saya akan realita. Maka terbangunlah, terburu-buru bergegas menjemput kenyataan. Bahwa sebenarnya begitu tak terasa beberapa jam telah berlalu, dan saya seketika teringat bahwa hari itu harus sudah membawa outline untuk Argumentative essay ke kelas. Dan sama sekali, saya tak membawa apa-apa kecuali Sindhunata dan hati yang berbangga.

Baca bukumu dan hiduplah di dalamnya.

Senin, Maret 17, 2014

Sinom dan Elegi di Purnama

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika saya dan 3 orang kawan  tiba di tangga menuju gedung F kampus UKSW. Sasi Kirana Macapat, begitulah namanya. Suasana tampak damai dan khidmat yang sebenarnya lebih menimbulkan efek mistis dengan melihat lampu-lampu lilin yang berjajar dari tangga terbawah naik ke atas di kedua sisi tangga. Orang-orang telah berkumpul, duduk menikmati pementasan yang sudah berlangsung setengah jalan. Kami berempat baru tiba ketika teriakan wanita melengking keras dari arah belakang kami berdiri.