Jumat, April 25, 2014

Dari Ungaran hingga laut Selatan; Story of The Unplanned Stories


Cerita ini adalah cerita pendek dari perjalanan-perjalanan yang dirangkum menjadi satu.

Ketika April menyapa, dan tugas-tugas kuliah serta kesibukannya satu persatu mengucapkan selamat tinggal, maka tibalah waktunya untuk mengencangkan ikat pinggang dan mengikat tali sepatu. Bermain ke tempat-tempat yang tinggi, menghirup kabut putih yang menyegarkan, atau ke dataran yang lebih rendah, mencari buih yang bergulung berkejar-kejaran dengan pasirnya yang lengket... jauh dari rumah.
- Karena semua itu baik, maka jadilah petang dan jadilah pagi, itulah permulaannya.


17 April 2014
Bersama dua kawan baik saya, Bagas dan Daniel, kami menyusuri jalan-jalan kecil menuju puncak gunung Ungaran di sebuah Kamis pagi yang segar. Ini adalah sebuah perjalanan wisata yang Daniel menyebutnya sebagai "pindah tempat untuk menyantap makan siang". Banyak hal yang dapat saya bagikan kepada kawan-kawan ini ketika kami bersama. Masih tetap seperti dulu, kami berteori tentang apapun yang kami bicarakan, kemudian berkelakar tentang hal-hal remeh hingga bernyanyi bersama lagu-lagu Iwan Fals dan lain-lainnya. Tak hentinya kami juga menikmati setiap embun yang menempel pada ujung-ujung daun yang kemudian jatuh mengenai kaki-kaki kami, dan memandang takjub pada pohon-pohon dengan daunnya yang lebat dan lumut-lumut yang tumbuh di sekujur batang pohon itu. Walaupun ini adalah perjalanan ke sekian bagi saya di gunung ini, saya masih tetap saja merasa baru akan apa yang berada di sekeliling. Kami juga merasa damai saat beristirahat dan berteduh sejenak di pinggir sungai dalam perjalanan itu. Gemericik air sungai yang dingin dan lembut, serangga-serangga hutan dan burung-burung yang bertutur sapa dengan kawan-kawannya berpadu dengan bisikan tembang Satu-Satu dari Iwan Fals; Sempurna. 

Kami melanjutkan perjalanan yang semakin menerjal hingga ke puncak gunung itu. Hanya kami bertiga di sana, hening dan sepi dari segala sisi. Ada saat menyenangkan ketika itu, berteriak bebas dan keras, meneriakkan hal-hal tertentu yang hanya kami bertiga yang tahu. Dan saya merasa lega dan sukacita yang bersamaan setelahnya walaupun apa yang saya teriakkan tak bakal di balas. Di puncak, saya langsung mengajak mereka menuju punggungan gunung itu, di bawah pepohonan untuk beristirahat. Dan kawan saya Daniel sepertinya sedang ingin bermelankolis dalam diam sendiri. Ia duduk di atas sebuah monumen di puncak itu, sendirian. Saya dan Bagas membiarkannya.

Setelah rintik-rintik air hujan mulai menetes, kami segera pula turun. Perjalanan itu berakhir dengan iringan When We Were Younger-nya S.O.J.A dan air hujan yang mengguyur ponco-ponco kami.

---
18-19 April 2014
Satu jam setelah selesai beribadah di gereja, saya langsung menuju ke kost kawan saya. Mereka mengajak saya ke Jogjakarta. Sebenarnya ini adalah rencana yang sangat mendadak. Mereka mengabarkan hal ini malam sebelumnya, dan sayapun menyanggupi untuk bergabung. Mereka berencana akan menghabiskan malam dengan tenda-tenda mereka di Gunung Api Purba yaitu di daerah Nglanggeran, Jogjakarta. Dan karena masih banyak persiapan yang harus dilakukan, jadilah saya terbaring di kasur yang nyaman dengan iringan The Beatles dari laptop kawan saya.
Beberapa jam kemudian, barulah kami berangkat. Bersama kawan-kawan dari Fakultas Ekonomi ini saya berangkat menyusuri aspal bersuhu sekian derajat celcius yang saya kira akan cukup panas untuk menjaga kopi tetap terasa nikmat.

Singkatnya, sampailah kami di loket masuk ke Gunung Api Purba. Ini adalah pengalaman pertama bagi saya dan saya takjub. Bukan saja karena batu-batu raksasa yang elok bukan main, tapi juga dengan keramaian pengunjungnya. Pahamlah saya bahwa ini adalah sebuah tempat wisata, bukan sebuah 'gunung' yang biasa kami sebut 'gunung'. Keinginan kami mendirikan tenda di sana pun seketika mengendur. Akhirnya dengan perundingan yang lama dan membosankan diputuskanlah bahwa kami hanya akan melakukan tracking ke puncak dan langsung turun. Setelah itu kami berencana mencari pantai untuk menghabiskan malam.


Perjalanan menggapai tempat teratas di gunung ini sebenarnya cukup menyenangkan. Berjalan melewati batu-batu besar yang benar-benar seperti berada di zaman batu, juga suguhan pemandangan lampu kota(karena mendaki pada malam hari) yang remang berkedip-kedip dan terasa cukup romantis sebenarnya. Diiringi dua tembang John Frusciante melalui headset yang terus mengalun berulang-ulang.

Seturunnya dari sana kami segera melaju, mencari pantai untuk dituju. Dan karena sudah terlalu malam, kami sudah kelelahan, dan bahan bakar di tiap-tiap motor yang kami kendarai mulai menipis, jadilah kami menepi ke pantai Drini. Lumayan lah..

Ada banyak cerita sebenarnya di sana. Bagaimana Thomi mendapatkan kayu bakar yang ternyata adalah bangku panjang kepunyaan salah seorang penjual di pantai tersebut. Kelakar kawan saya si Deni yang selalu terngiang untuk tetap tertawa saat mengingatnya, hingga hal-hal melankolis saat saya dan kawan saya, Anis, menjadi kawan bicara dan saling bertukar cerita hingga jam 4 pagi ketika beberapa kawan yang lain sibuk mencari hewan laut untuk dibakar, survival katanya.

Semua terasa menyenangkan, hingga pagi menjelang, saat kami masing-masing tertidur di posisi dan tempat kami masing-masing, dan terbangun saat pantai mulai ramai. Saya berpikir, memang benar, sebuah unplanned trip ataupun perjalanan dadakan kadang-kadang memberikan efek menyenangkan yang malah lebih tahan lama untuk diingat.




---
23 April 2014
Di hari yang lainnya, seperti yang saya dan Bagas rencanakan secara mendadak, kami melanjutkan perjalanan kami ke gunung Andong. Sebuah gunung dengan ketinggian sekitar 1700 mdpl. Sebenarnya tidak terlalu banyak cerita istimewa pada saat itu. Namun tetap saja menyenangkan ketika kita berada di hutan, menyatu dengan apa yang kita tidak pernah pahami. Dengan Ryan, seorang teman se-fakultas dan teman-teman fakultas Bagas yang beberapa itu kami bergembira meniti tangga-tangga batu mencapai puncak. Di sana, Satu-Satu dari Iwan Fals masih saja terdengar istimewa. Tak bosan-bosan pula saya mendengarnya berulang-ulang. Seperti suatu ketika duduk sendirian jauh dari rombongan ketika mereka turun terlebih dahulu, merasakan ketenangan yang tiada bandingnya.

Saya akan mengenang runtutan kisah perjalanan yang menggelikan ini. Dengan puluhan cerita menye  yang terselip di tengah-tengahnya. Ketika berteriak di puncak gunung, duduk sendirian, kelakar-kelakar hingga berbagi kisah dengan seorang kawan di atas pasir saat laut sedang surut, dengan hal-hal yang hampir sama dan lagu 10 Anyer milik Slank yang selalu terkenang saat mendengarnya. Sekali lagi, tembang-tembang yang menjadi latar belakang sebuah kejadian akan selalu mengingatkan kejadian tersebut saat di saat lain waktu kita mendengarnya kembali. Dan sayapun akan memutarnya nanti saat saya menikmati panas kopi hitam di beranda rumah saya, atau setelah ini nanti saat menemani kawan-kawan fakultas ke gunung Merbabu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar