Minggu, Juni 08, 2014

Sebuah Keresahan Di Senja Hari

Melankolis. Sebuah kata yang sudah lama saya ketahui, namun baru kira-kira 5 tahun yang lalu sering saya pakai. Bahkan, di blog inipun tak terhitung lagi kata 'melankolis' yang saya gunakan.
Bagi saya, kata tersebut seolah menjadi deskripsi yang pas untuk kejadian yang menggunakan perasaan guna mendapatkan suatu kesan yang dalam. Yah, saya memang sudah terlalu sering menggunakan perasaan untuk membuat simbol atas segala sesuatu. Tapi percayalah, ada kalanya seseorang melembutkan dirinya, menggunakan perasaan untuk mengukur sesuatu!

Seperti saat kau mengingat akan hal-hal tertentu di masa lampau yang tak bakal kau lupa dan membuatmu senyum-senyum sendiri. Kemudian saat kerinduanmu akan sesuatu telah memuncak dan tak dapat terbendung hingga ia lepas sendiri seperti saat kau mengalami mimpi basah pertama kali. Atau juga ketika kau baru saja menikmati pertemuanmu dengan kawan-kawanmu, tanpa kau sadari kau telah berada jauh di sebuah pondok yang sepi dengan keadaan malam yang cerah dan indah. Di sanalah akhirnya kau memandang dirimu sendiri berada bersama kawan-kawanmu, yang sebenarnya merupakan ingatanmu sendiri.

Itulah yang saya alami.

Ini adalah perasaan yang hampir sama seperti yang sudah-sudah. Saya dan Dita sepakat bahwa kami seperti telah menjadi tua dan merenungi masa kejayaan bersama dengan segala hal bodoh yang terjadi. Seperti ada rasa kehilangan yang begitu besar saat saya duduk sendiri di beranda rumah, menyaksikan langit barat yang tak lagi jingga namun semakin tua membiru. Membayangkan bahwa semalam lalu saya masih bersama segerombolan gadis-gadis menghabiskan malam bersama, jauh dari rumah kami masing-masing. Gadis-gadis di sini bukanlah gadis-gadis yang sama dengan versi Yulio, melainkan mereka adalah kawan-kawan saya yang hebat, yaitu Dita, Puput dan Anastasia, dengan kawan-kawan mereka yang lain yaitu Vila, Ambar dan Farida. Benar, saya satu-satunya pria! Kami melewati malam kami di ketinggian, menghirup kabut dan memandang bintang-bintang. Di sela-sela semuanya itu ada cerita, tawa dan kebersamaan yang sudah lama tak kami - secara khusus saya dan ketiga kawan saya ini- lakukan. Sudah lama sekali sejak terakhir saya dan Dita maupun Anastasia menghabiskan malam bersama di gunung ataupun di tempat-tempat di mana kami biasa menikmati malam. Seperti pada saat dulu kami bersama mendaki gunung Merbabu lewat jalur Thekelan, atau ketika malam Natal kami dan kawan-kawan kami yang lain berkumpul di lapangan basket sekolah kami. Dan inipun merupakan pertama kali saya melewati malam dengan kawan saya, Puput, yang dengannya saya kalah telak dalam sebuah taruhan!

Saya akan ingat diskusi kecil bersama Dita dan Anastasia -yang kami panggil Anas atau kadang Nanas- ketika angin malam semakin kencang meniupi tenda-tenda kami. Dengan candaan seputar urusan wanita yang sudah biasa saya dengar dari mereka, kami duduk berselimut sebuah sleeping bag yang kami gunakan bersama untuk menutupi bagian bawah tubuh kami sambil sesekali menikmati lukisan langit malam saat kabut tak menutupinya. Ketika itu saya sedikit enggan untuk mengobrol dengan bahasan yang terlalu berat. Saya ingin sekadar berbagi kisah ringan bersama mereka tentang masa-masa SMA, bermelankoli tentang kegiatan kita yang dulu-dulu, saling mengejek akan sesuatu, atau beberapa kisah pribadi yang bagi kami bukan menjadi rahasia. Begitulah, kami dulu memang sudah sering berbicara tentang banyak hal. 

Saya juga ingat ketika setelahnya saya dan Nanas berjalan-jalan ke puncak malam itu. Saya pikir Dita dan Puput sudah tidur, sehingga saya mengajak Nanas untuk melanjutkan obrolan dan tidak mengganggu mereka. Sungguh, dia sudah seperti kakak perempuan bagi saya, ketika kami berbagi kisah kehidupan kami, atau sekali lagi tentang hal-hal yang dulu-dulu, ia menjadi pendengar sekaligus penasihat yang baik, terlepas dari gayanya yang sok-sokan dan suka mengejek. Dan dia lebih sering tertawa mendengar cerita saya. Hal-hal seperti ini, Win, yang membuat kita benar-benar menjadi seperti saudara! Kurang lebih begitu katanya. Di saat tertentu saya akan menjadi pendengar yang baik pula, dan sesekali dia juga meminta pendapat akan sesuatu kepada saya. 
Kemudian ketika kami kembali ke tenda kami temukan bahwa ternyata dua kawan saya itu belum tertidur. Saya menjadi tak enak hati karena pergi berdua saja. Semoga mereka tidak memikirkan hal yang macam-macam! Saya ingin melanjutkan obrolan ataupun candaan kami lagi sebenarnya, namun badan berkata lain ketika tanpa sadar saya kelelahan dan akhirnya tenggelam dalam dengkuran saya sendiri....

Semua tampak berjalan begitu cepat. Apa yang kami alami semalam seperti sudah lama sekali, namun kesan dan sisa-sisa keceriaan itu masih menempel pada permukaan. Perasaan-perasaan itulah yang membuatmu seolah takut menjadi tua. Saat kau menikmati hatimu diremas kekacauan yang menyenangkan seperti ini kadang kau akan takut bila suatu hari, ketika telah bertambah tua dan menjadi membosankan kau tak akan bisa menikmati kebimbangan dan rasa-rasa seperti ini.

4 komentar:

  1. Sekarang aku sadar, kalau perenungan (atau sebut saja melankolis) itu bisa membuat kita menghargai orang lain. Isn't it?

    BalasHapus
  2. Begitulah, karena pada saat itulah terkadang kita menjumpai betapa mereka menjadi sangat berharga..

    BalasHapus
  3. Ah... ini juga...
    Terimakasih telah menyertakan saya dalam jejak perjalanan kala itu... :-D
    Rasanya seperti membaca rekam peristiwa lama yg padahal baru terjadi minggu lalu...
    Tapi setelah sekian lama kita tidak saling berjumpa, perjalanan kita saat itu menyadarkan saya bahwa kita semua telah tumbuh menjadi pribadi pribadi dengan karakter yang semakin kuat...
    Dan saya senang menjadi bagian di dalam kawanan ini... :-p

    BalasHapus
  4. haiiiii, Edwin, Anas, Dita, ikut hiking lg dums, hehhehe

    BalasHapus