Senin, Januari 16, 2017

Membayangkan Hari Menua

Saya pernah berpikir jika kelak saya akan menghabiskan masa pensiun dengan tinggal bersama seorang perempuan tua yang sama-sama menyukai buku dan menghabiskan hari-hari kami mendengarkan lagu-lagu country di saat tengah hari dan folk di setiap senja. Kemudian membangun sebuah kedai sederhana yang menyajikan cerita dan romantisme di dalam gelas-gelas kopi dan lembaran kisah-kisah ajaib hasil karya manusia. Pasti menyenangkan sekali membayangkannya. Konyol memang, sebab nyatanya baru beberapa waktu saya mencicipi kehidupan orang dewasa yang melelahkan. Dan sekarang saya membayangkan masa-masa tua yang damai dan tenang. Tapi bukanlah dosa untuk sekedar berandai-andai tentang masa-masa tua yang terdengar cukup syahdu dengan hal-hal yang kita cintai. Jadi kini, saya akan sedikit bercerita tentang hal itu.


Saya pernah beberapa kali termenung berandai-andai bagaimana saya mungkin akan menikmati setiap detik masa-masa tua nanti. Tinggal bersama seorang perempuan tua cerewet yang selalu merisaukan anak-anaknya yang hidup berada jauh di kota lain. Di temani seekor anjing Saint Bernard yang juga telah tua dan malas, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tiduran di depan televisi dibanding bermain-main di halaman belakang kami, juga lagu-lagu yang berputar menunjukkan seberapa kami telah melampaui waktu muda kami bersenang-senang.  Melalui sebuah gramaphone tua misalnya, yang sengaja diletakan di sudut salah satu ruangan dengan terus berputar memainkan lagu-lagu country dan folk. Juga rak-rak yang berisi buku-buku acak macam panduan membuat bonsai karya Colin Lewis, kemudian fiksi-fiksi kriminal Agatha Christie hingga kisah-kisah satir RyĆ«nosuke Akutagawa dan beraneka ragam jenis buku lainnya dengan hanya diterangi oleh bohlam-bohlam kuning yang cahayanya remang dan malas. Saya akan senang untuk menghiasi dinding-dinding yang warna-warna cat yang telah memudar dengan gambar-gambar palsu karya Vincent van Gogh, Salvador Dali hingga Affandi. Foto-foto petualangan kami di masa muda yang sengaja dibuat hitam putih pun mungkin akan cukup menarik untuk dipasang memberi kesan lawas yang dalam.

Hari-hari kami akan berisi obrolan dan debat yang tak berkesudahan tentang hal-hal sepele. Misal mana merk sabun mandi yang paling wangi, atau siapa yang paling keras mendengkur saat tidur di antara kami, hingga memperdebatkan siapa yang terbaik antara HDT dan Annie Dillard. Dalam membayangkan hal itu, saya akan memilih untuk tinggal di sebuah rumah mungil dengan sebuah taman kecil berisi bunga-bunga, sayur mayur dan bermacam tanaman obat, di sebuah sudut kota yang tenang. Mendirikan sebuah galeri buku independent yang mengijinkan siapa saja untuk datang membaca dan meminjam buku-buku kami. Atau membelinya juga mungkin akan sedikit membantu. Dan bolehlah, orang berlalu lalang, datang dan pergi untuk sekedar menikmati bercangkir-cangkir kopi dengan obrolan mereka tentang apa saja sampai larut. Mungkin juga akan ada sekumpulan anak muda dengan visi revolusioner mereka sengaja berdiskusi tentang Mark hingga Castro. Atau gadis-gadis tanggung yang datang dan pergi kecewa karena tidak menemukan buku Tere Liye di sana. Kamipun mengijinkan beberapa pasang muda-mudi untuk datang membawa pundi-pundi cinta mereka dengan berbagai kisah asmara hanya untuk sekedar mencari sebuah tempat untuk bermesraan. Karena mereka akan menjadi teman di masa-masa tua kami tinggal di sana. Merekalah yang akan menyegarkan kami dengan ide-ide baru dari anak-anak yang lebih muda dari kami di masa-masa itu. Anak-anak yang menyebalkan tentunya.

Menarik pastinya, menjalani hari-hari dengan dikelilingi fantasi dan imajinasi yang berlebih. Yah, dan semua itu hanyalah angan-angan semata. Hal-hal yang mungkin terkesan muluk-muluk untuk seorang anak yang baru saja melakoni babak baru dalam perjalanan hidupnya. Ia tentu akan menjumpai banyak hal, yang sedikit banyak akan berpengaruh dan mengubah hal-hal yang ia mungkin pernah bayangkan. Namun sekali lagi, bukankah kita adalah anak-anak manusia yang suka sekali berharap hal-hal baik terjadi pada diri kita? Atau mungkin tidak? Entahlah.

Minggu, Januari 15, 2017

Di Sebuah Kota

Saya hampir tenggelam dalam bosan setelah beberapa jam menunggu hujan deras yang tak lekas reda. Di suatu sore, di teras sebuah kamar kos yang sepi lantaran ditinggal para penghuninya kembali ke tempat asal mereka. Dan saya seorang diri. Hanya ditemani alunan muram dan malas The Will to Death dari John Frusciante. Ah, kau tahu, sungguh menyebalkan ketika mengetahui bahwa hal-hal ringan yang dapat menghiburmu sedikit di sela-sela kegamanganmu pada akhirnya pelan-pelan menjauh, memudar dan pergi. Klasik! Lalu ia akan kembali lagi, menyembunyikan hal-hal yang ia tak mau kau tahu dengan kepolosannya yang tak bisa kau hindari. Untuk itu, hadapilah biarpun sesungguhnya kau tahu betul.

Dan menunggu adalah pekerjaan yang baik. Ia selalu bisa menjadi katalis bagi otak untuk memunculkan banyak sekali hal yang tak sempat terpikirkan saat beraktivitas. Ia tentu saja membosankan. Namun ayolah, bukankah menyanyikan Creep-nya Radiohead keras-keras sambil berharap bahwa orang-orang akan menghargai usaha kecilmu yang telah kau lakukan untuk merekapun nyatanya tak kurang membosankan dibanding semua ini? Ia bahkan menjadi sia-sia belaka. Dan saya kira, saya akan lebih menghargai derai hujan yang lebih jujur sebagai lagu yang merdu ketimbang tawa renyah yang ringan dan mudah pergi begitu saja.

Awalnya, saya berencana untuk sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan memutari kota yang untuk beberapa lama akan saya tinggali. Saya tengah memerlukannya untuk sedikit meringankan sakit kepala. Untuk sedikit menjernihkan isi pikiran dari hal-hal negatif serta kecurigaan berlebih akan orang-orang, hal-hal dan banyak lagi. Ah, sudahlah! Saya membayangkan bahwa mungkin saya akan menemukan kejutan-kejutan kecil yang saya rindukan. Hal-hal sederhana yang membuat kedua sudut bibir agak naik sedikit. Mungkin warna-warna cerah dapat juga membuat mata saya sedikit berbinar. Karena saya begitu menyukai sensasi saat pupil mata beradaptasi dengan perubahan cahaya. Membesar lalu mengecil. Mengecil lalu membesar. 

Sayapun membayangkan akan menjumpai hal-hal tak biasa terjadi pada hari-hari ini. Semisal sepasang kakek dan nenek yang sedang bermain lompat tali, atau seorang ayah berbadan besar dengan tato dan brewoknya sedang mengajari gadis kecilnya menari balet. Ataupun seorang gadis cantik berparas bidadari yang memilih menikah muda dengan seorang pemuda biasa saja yang hanya memiliki tubuhnya dan idealisme yang berlebih-lebih. Sungguh menyenangkan. Saya yakin saya tidak mungkin menemukannya, tapi percayalah, harapan-harapan remeh yang semacam itu tak lantas membuat dirimu hina.

Saya masih saja menunggu sesore ini. Tak ada gelas-gelas kopi, lembaran kertas bersampul bertuliskan huruf cetak yang tebal, yang saat diabadikan di dalam gambar akan memberikan sensasi elegan layaknya para hipokrit di media-media (sosial). Hanya ada sebuah kotak ajaib datar yang sedari tadi menemani dengan lagu-lagu sekenanya, tak peduli suasana apa yang sedang terjadi sebab iapun tak peduli. Hingga akhirnya saat senja datang, saat ia mesti tiba, hujan nampaknya mulai malas berjatuhan ke tanah. Ia perlahan berpamitan, meninggalkan airnya yang menggenang di sudut-sudut halaman. Namun, karena senjalah yang pada akhirnya datang , serta lantunan puji-pujian mulai mengalun di langit yang mendung di kota sore ini, bukanlah hal yang baik untuk melanjutkan tekad yang sedari tadi sejujurnya telah berubah menjadi kemalasan. Dan tulisan ini, yang seharusnya akan saya maksudkan untuk menceritakan hal-hal baik yang mungkin ditawarkan kota ini beberapa jam lalu, pada akhirnya berubah menjadi kisah remah-remah yang klise seperti biasanya. Menyebalkan sekali.