Minggu, Januari 15, 2017

Di Sebuah Kota

Saya hampir tenggelam dalam bosan setelah beberapa jam menunggu hujan deras yang tak lekas reda. Di suatu sore, di teras sebuah kamar kos yang sepi lantaran ditinggal para penghuninya kembali ke tempat asal mereka. Dan saya seorang diri. Hanya ditemani alunan muram dan malas The Will to Death dari John Frusciante. Ah, kau tahu, sungguh menyebalkan ketika mengetahui bahwa hal-hal ringan yang dapat menghiburmu sedikit di sela-sela kegamanganmu pada akhirnya pelan-pelan menjauh, memudar dan pergi. Klasik! Lalu ia akan kembali lagi, menyembunyikan hal-hal yang ia tak mau kau tahu dengan kepolosannya yang tak bisa kau hindari. Untuk itu, hadapilah biarpun sesungguhnya kau tahu betul.

Dan menunggu adalah pekerjaan yang baik. Ia selalu bisa menjadi katalis bagi otak untuk memunculkan banyak sekali hal yang tak sempat terpikirkan saat beraktivitas. Ia tentu saja membosankan. Namun ayolah, bukankah menyanyikan Creep-nya Radiohead keras-keras sambil berharap bahwa orang-orang akan menghargai usaha kecilmu yang telah kau lakukan untuk merekapun nyatanya tak kurang membosankan dibanding semua ini? Ia bahkan menjadi sia-sia belaka. Dan saya kira, saya akan lebih menghargai derai hujan yang lebih jujur sebagai lagu yang merdu ketimbang tawa renyah yang ringan dan mudah pergi begitu saja.

Awalnya, saya berencana untuk sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan memutari kota yang untuk beberapa lama akan saya tinggali. Saya tengah memerlukannya untuk sedikit meringankan sakit kepala. Untuk sedikit menjernihkan isi pikiran dari hal-hal negatif serta kecurigaan berlebih akan orang-orang, hal-hal dan banyak lagi. Ah, sudahlah! Saya membayangkan bahwa mungkin saya akan menemukan kejutan-kejutan kecil yang saya rindukan. Hal-hal sederhana yang membuat kedua sudut bibir agak naik sedikit. Mungkin warna-warna cerah dapat juga membuat mata saya sedikit berbinar. Karena saya begitu menyukai sensasi saat pupil mata beradaptasi dengan perubahan cahaya. Membesar lalu mengecil. Mengecil lalu membesar. 

Sayapun membayangkan akan menjumpai hal-hal tak biasa terjadi pada hari-hari ini. Semisal sepasang kakek dan nenek yang sedang bermain lompat tali, atau seorang ayah berbadan besar dengan tato dan brewoknya sedang mengajari gadis kecilnya menari balet. Ataupun seorang gadis cantik berparas bidadari yang memilih menikah muda dengan seorang pemuda biasa saja yang hanya memiliki tubuhnya dan idealisme yang berlebih-lebih. Sungguh menyenangkan. Saya yakin saya tidak mungkin menemukannya, tapi percayalah, harapan-harapan remeh yang semacam itu tak lantas membuat dirimu hina.

Saya masih saja menunggu sesore ini. Tak ada gelas-gelas kopi, lembaran kertas bersampul bertuliskan huruf cetak yang tebal, yang saat diabadikan di dalam gambar akan memberikan sensasi elegan layaknya para hipokrit di media-media (sosial). Hanya ada sebuah kotak ajaib datar yang sedari tadi menemani dengan lagu-lagu sekenanya, tak peduli suasana apa yang sedang terjadi sebab iapun tak peduli. Hingga akhirnya saat senja datang, saat ia mesti tiba, hujan nampaknya mulai malas berjatuhan ke tanah. Ia perlahan berpamitan, meninggalkan airnya yang menggenang di sudut-sudut halaman. Namun, karena senjalah yang pada akhirnya datang , serta lantunan puji-pujian mulai mengalun di langit yang mendung di kota sore ini, bukanlah hal yang baik untuk melanjutkan tekad yang sedari tadi sejujurnya telah berubah menjadi kemalasan. Dan tulisan ini, yang seharusnya akan saya maksudkan untuk menceritakan hal-hal baik yang mungkin ditawarkan kota ini beberapa jam lalu, pada akhirnya berubah menjadi kisah remah-remah yang klise seperti biasanya. Menyebalkan sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar