Selasa, Desember 17, 2013

Saat Nada Menjadi Latar Belakang

Desember datang lagi dan hujan pun turun kembali. Semua terasa sama. Seperti sebuah rotasi, melakukan gerakan-gerakan perulangan yang tiada henti. Hal-hal yang demikianlah yang mengajak saya untuk menulis lagi. Sekali lagi pun tentang nostalgia cerita lama. Entahlah, saya sepertinya tak bisa lepas dari itu semua. Atau mungkin saja memang kurang kreatif dalam menulis. Tapi bernostaligia kala hujan tiba adalah aktivitas yang melankolis dan terasa sangat sentimentil. Dan itu dimulai saat saya mendengarkan soundtrack-nya Naruto, Nakushita Kotoba.

Saya rasa setiap orang punya setidaknya satu lagu yang menjadi soundtrack hidupnya. Entah keseluruhan hidupnya tertuang dalam sebuah lagu atau aktivitas yang dilakukannya selalu teriringi musik favoritnya. Dan saya punya banyak lagu dalam berbagai akativitas saya. Semuanya menjadi sangat memorable, dan setiap mendengarkan musik tertentu saya akan seperti kembali pada masa-masa yang lalu saat lagu-lagu tersebut mengalun lembut menjadi latar belakang sebuah kejadian. Sebenarnya ada sangat banyak lagu yang selalu menjadi latar belakang kegiatan yang saya lakukan. Namun terasa berlebihan jika harus menuliskan itu semua.

Lagu 'Kembali' dari Steven n Coconuttreez mengingatkan saya akan masa-masa terakhir SMP dulu. Sama, hujan mengguyur saat saya berada di rumah seorang teman. Membayangkan bahwa tak lama lagi kami akan melanjutkan jalan kami masing-masing. Ada beberapa hal yang saya ingat tentang lagu itu, selain hujan dan wajah lusuh kawan-kawan saya yang sudah agak kabur dari ingatan, saya teringat bahwa kala itu saya sedang memiliki kedekatan yang istimewa dengan seorang gadis yang sepenuhnya terungkap dalam lagu You're All I Need-nya White Lion. Dan saya akan mengingat beberapa hal kecil yang terjadi beriringan ketika mendengarkan lagunya.

Di awal masa SMA saya, ada Nakushita Kotoba. Sebuah lagu soundtrack dari serial Naruto yang cukup terkenal. Lagu ini mengingatkan saya ketika retreat bersama teman-teman di Vihara di daerah Kopeng. Dengan latar belakang hujan dan kabut tipis menyelimuti tempat kami berdiskusi dan bercanda. Yeah, hal-hal yang menyenangkan.
Ketika saya menemani pendakian perdana kawan-kawan saya, dinginnya udara dan air hujan terasa terhapus setelah Heal The World dari Michael Jackson mengalun dari radio. Ada pula saat saya dan kawan-kawan saya melakukan study tour ke Jogjakarta. Di dalam bus setelah kami mengunjungi Pantai Baron, saya mendengarkan lagu Sunset-nya Steven n Coconuttreez. Menjadi terasa memorable saat salah seorang kawan perempuan tiba-tiba duduk di samping saya.

Dan yang terakhir adalah malam Waisak. Hari di mana saya telah dinyatakan berhasil dalam menempuh pendidikan di SMA. Saya dan tiga orang kawan melakukan pendakian ke gunung Ungaran. Ini adalah pendakian paling melankolis bagi saya. Ketika teman-teman saya yang lain mensyukuri kelulusan mereka dengan mencoret-coret seragam mereka, atau mengungkapkan kebahagian mereka dengan berkeliling kota mengendarai sepeda motor, saya berada jauh dari rumah. Di temani cahaya bulan terang di malam kudus bagi umat Buddha tersebut, saya meniti langkah-langkah kecil menggapai apa yang kami sebut sebagai puncak. Meski tak seberat gunung-gunung yang lain, tapi di sana, di gunung Ungaran, ada hal-hal yang mengesankan. Hal-hal yang lebih mengarah pada kehidupan pribadi. Sebuah kepuasan menjadi diri sendiri. Di sana, malam yang khidmat, lagu Selalu Ada dari Blackout dan Forever and One dari Helloween berulang-ulang berputar.

Masih banyak lagu yang tidak saya sebutkan. Ada Disposable Lies dari Superman Is Dead, The Unforgiven-nya Metallica, Ol' 55 dan Hotel California dari The Eagles, Dust In the Wind dari Kansas, Bob Marley dengan One Drop, The Bee Gees dengan Massachusetts-nya yang intronya mirip lagu Ke Jakarta dari Koes Plus, Snuff dari Slipknot, November Rain-nya Guns N Roses, dan masih sangat banyak lagi.

Begitulah, lagu tertentu memiliki nuansa tertentu pula. Dipadu latar belakang dan orang-orang yang menemani perjalanan atau kegiatan kita. 

Selasa, April 30, 2013

Selasa, Februari 05, 2013

Perfect Stranger

Menjadi seorang loner ternyata menyenangkan juga. Sudah hampir 2 minggu ini saya ditemani oleh Jack London, Thoreau, Castro ataupun Marx, dan mengobrol dengan mereka di perpustakaan atau lapangan basket. Dan hari-hari saya pun cukup bergairah walaupun hanya dilalui dengan kegiatan tersebut.

Lebih eksotis lagi ketika hujan turun dan saya hanya bersama mereka. What a perfect day..
Ketika kawan-kawan saya menyibukkan diri dengan tes dan presentasi, atau dengan lantang dan bangga memalsukan kisah hidupnya, saya hanya akan menyandarkan punggung saya di sudut-sudut kampus yang muram di mata orang-orang. Walau nyatanya muram tempat tersebut menjadi jingga begitu rupa, di mana suatu saat nanti akan meninggalkan bekas sejarah yang takkan dilupa.

Huruf-huruf berceceran yang memenuhi buku yang saya baca seakan menghipnotis melibatkan diri saya memasuki dunia mereka. Walau kadang perlu berpikir keras untuk menelisik arti dari apa yang sedang saya baca, kemudian menemukan diri saya berada di alam ide-ide sambil mempertanyakan kenyataan yang benar-benar terjadi seperti apa yang huruf-huruf itu katakan.
Atau ketika membaca  fiksi-fiksi heroik London mengalir melalui mantra-mantranya yang penuh gairah, membuat saya terlempar ke dalam imajinasi dan memposisikan diri saya berada di dalam buku tersebut. Benar-benar saat yang manis.

Kadang memang kesendirian itu menyenangkan. Menarik diri dari jenuhnya aktivitas, menjadi terasing di sela-sela riuh kebohongan. Walau terkesan sangat egois tapi pada kenyataannya memang benar-benar hangat. Anda bisa mencobanya jika anda mau dan tidak keberatan.

Senin, Januari 07, 2013

Under the Rain

Terimakasih kepada Hujan.

Hujan, basah, dingin, adalah hal biasa. Tetapi menjadi cerita yang luar biasa karena terjadi di gunung Merbabu (lagi).
Kali ini saya yang sebenarnya diajak naik gunung Merbabu, akan mengisahkan pengalaman pendakian kawan-kawan saya. Cukup puas dan sedikit geli melihat manusia-manusia berjubah yang kedinginan setengah mati di atas gunung. Saya bersama Gigih, Bagas dan Daniel melakukan petualangan ini setelah perayaan tahun baru, yaitu pada tanggal 2-3 kemarin. Ini adalah pengalaman pertama bagi Bagas dan Gigih, dan pengalam kedua bagi Daniel, dan saya yakin tidak akan terlupakan.

Dimulai di sebuah pagi yang cerah di Salatiga, dengan persiapan yang cukup baik kami berempat tancap gas menuju ke basecamp Cuntel. Saya menyarankan untuk berangkat pagi dengan berbagai pertimbangan, salah satunya ialah menghindari hujan. Dari hitungan matematis, saya merasa yakin bahwa hujan pasti turun sore hari. Dan ketika hujan itu turun kami sudah akan berada di dalam gardu pos pemancar Merbabu yang hangat.
Tapi siapa yang sangka ketika kami tiba di basecamp awan hitam sudah siap menghinggap bumi menjatuhkan amunisinya. Kamipun tetap berjalan, pelan dan pasti dengan irama degup jantung yang kencang dan helaan nafas lelah sebagai latar belakangnya.
Hampir 1 jam perjalanan kami, dan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Hujan turun tanpa permisi ketika kami mengisi persediaan air. Dan seketika itu juga raincoat seadanya telah menutupi badan kami. Saya menjadi sangat kegirangan mendapat kondisi ini.

Dampak positif dari hujan ialah bahwa konsumsi air kami akan sedikit berkurang, dan juga kami hanya akan sedikit beristirahat. Dengan sangat menggigil kedinginan, dan saya tetap saja kegirangan, kami berempat berjalan membungkuk. Kombinasi antara lelah dan dingin yang sempurna.
Namun, perjuangan kami membuahkan hasil. Akhirnya kami tiba di gardu pos pemancar. Bertemu dengan beberapa pendaki yang hendak turun, dan akhirnya mendirikan tenda kami di dalam sana.
Di luar masih hujan, dan juga angin kencang. Sekitar pukul 6 sore kami semua sudah terdiam, lelah, dan Gigih malah sudah tertidur. Di dalam hati saya bangga, untuk diri saya sendiri dan juga untuk mereka. Hal yang baru untuk mereka, dan yah, lumayan lah....