Sabtu, Juli 26, 2014

Tawa Riang Kawan Lama

Ada sebuah kerinduan yang bergelayut di antara lambung dan ulu hati. Kerinduan polos yang dimiliki anak-anak. Sebuah rasa rindu tentang masa-masa yang bahagia. Kebahagiaan yang sederhana, yang tak harus ditemui di belantara hutan atau di puncak-puncak gunung. Kebahagiaan yang membuat kita menjadi bocah naif yang tak tahu apa-apa tentang dunia. Ia tumbuh tegap bersama rindunya, menggelora dengan tawa riang yang ringan dan renyah menggetarkan ingatan akan usia masing-masing kita yang tak semuda dahulu.

Itulah yang saya sampaikan setiap kali saya dan kawan saya, Bagas Riantono bercerita tentang kawan-kawan lama kami. Betapa kami, dua pria yang sebenarnya selalu menjadi orang yang gemar melarikan diri dari pesta, pada sebuah keadaan merasa ingin bertemu dengan mereka yang dengan gaya kami, kami rindukan. Sudah berbulan-bulan pada kesempatan tertentu kami selalu menyelipkan tema tentang mereka dalam obrolan. Kami sepakat, nantinya jika ada sebuah acara atau momen tertentu untuk sekedar kumpul bareng atau apapun, kami dengan senang hati akan ikut. (Setelah sebelum-sebelumnya kami selalu tidak hadir)

---

Jumat, 25 Juli 2014, setelah dengan sangat menyebalkan menunggu Bagas yang katanya sudah menunggu saya sedari tadi, ia muncul juga dengan tawa tidak berdosanya. Di kesempatan ini, pada sebuah senja yang agak redup, sebuah rumah makan yang ramai dipenuhi manusia-manusia dengan segala kepentingannya, akhirnya setelah sekian lama, saya bisa berkumpul kembali bersama kawan-kawan SMA. Yah, di sebuah senja yang agak mendung, kami berkumpul sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kendati saya tidak berpuasa saya merasa cukup senang bisa berada di antara mereka. Menjalin sebuah rasa rindu persaudaraan yang sebegitu uniknya sehingga kami tetap dengan bebas tanpa ragu berkelakar sesuka hati kami seperti biasa, seperti pada saat kami selalu bersama dulu. Ah, kawan-kawan saya ini memang tak banyak berubah. Mereka masih seperti dulu, tertawa, bergurau tentang hal-hal remeh, mengejek satu sama lain, dengan sikap mereka yang memang tak banyak berubah. Walaupun mereka pada dasarnya tampak beberapa kali lebih bersikap manis dan dewasa, kecuali beberapa kawan hebat saya ini, anak-anak hujan, yang entah bagaimana dengan ajaib tetap sama seperti dulu, dengan keceriaan kanak-kanak mereka yang tak banyak berubah, yang tetap hinggap pada diri mereka dan menjadikan mereka sebagai sosok yang selalu muda serta ceria. Yah mereka ini memang benar-benar ajaib!

Kami saling berjabat tangan, melempar senyum dan tawa, dan menanyakan kabar serta hal lain-lainnya yang biasa dikatakan setiap kali bertemu dengan kawan lama yang tak bersua bertahun-tahun.
Kamipun bertukar cerita, dari kisah masing-masing, hingga mengulang cerita kami semua tatkala masih berseragam putih abu-abu. Segala  yang menjadi memori selalu berakhir pada sebuah cerita penuh tawa dan kenangan, yang selalu terucap seperti angin lalu yang tak banyak faedahnya. Biarpun pada kenyataannya kami menghargai kenangan itu sebagai sebuah ingatan istimewa akan masa-masa muda kami. Saya ingat kelakar Bagas dan Gigih yang selalu menjadi pemeriah keadaan saat kami semua diam atau sibuk dengan urusan kami masing-masing atau Mychael yang tak benyak berubah dengan hal-hal absurd dan kenarsisannya yang masih sama seperti dulu. Juga Mada, ketua kelas kami yang selalu bercerita dengan nada hampir tertawa yang masih saja sok elegan dengan cerita-cerita konyol berbau mesum dan tetap tak berubah. Tak ketinggalan Upho, yang secara tidak langsung seolah menjadi koordinator acara ini, selalu menjadi korban candaan kawan-kawannya, terutama tentu saja Bagas dan Gigih. Dan kami masih saja menggodai Risa dengan gaya-gayanya saat masih berponi dan suka mengelus poninya itu serta mengibaskan kedua tangannya seperti kepanasan saat ia malu atau tertawa geli terhadap sesuatu. Saya akan terus tertawa -bahkan melupakan sejenak sesuatu yang menghinggapi pikiran saya selama ini- hingga sakit perut melihat mereka, membuat lelucon dan menggodai kawan-kawan saya, saling mengejek tak mau kalah dari yang lain. Begitulah mereka, kawan-kawan yang luar biasa.

Seusai menikmati hidangan berbuka puasa, bagi kawan-kawan saya yang berpuasa, kami melanjutkan obrolan kami. Beberapa berkisah akan suatu cerita yang menjadi asyik untuk beberapa orang, yang lain duduk bersama sambil bermain gadget mereka, ada pula yang tetap bersenda gurau dan terlihat sangat bahagia. Beberapa kawan mengajak saya berfoto, ada pula yang memaksa. Karena rambut baru saya ini, yang pada mulanya sudah berulang kali dikomentari oleh beberapa kawan wanita. Saat gerimis turun, diam-diam di dalam hati saya bersuka cita. Saya akan sungguh berterimakasih jika hujan datang dan mengurung kami dalam kebersamaan seperti dulu, saat kami tak bakalan mungkin pulang dari sekolah karena hujan mengguyur dengan deras. Dan terpaksalah kami harus berkumpul membicarakan hal-hal spontan di sekeliling kami.

Namun pada akhirnya, beberapa dari kami memutuskan untuk segera pamit untuk urusan-urusan mereka karena hujan tak jadi turun. Disusul yang lain dengan agenda mereka masing-masing. Kami yang tersisa seperti tak rela untuk mengijinkan mereka pergi. Kami masih ingin bersama, berbicara kesana-kemari dengan semua omong kosong yang selalu terasa menyenangkan dan candaan-candaan klise yang terasa seperti baru. Mengingat-ingat, kemudian merangkai menjadi kelakar yang akan selalu menjadi pelengkap kebersamaan kami.

Terimakasih kepada Upho dan kawan-kawan semuanya. Terimakasih karena telah melegakan kerinduaan masing-masing dari kita.


Minggu, Juli 20, 2014

Merapi Sambil Bernyanyi

Setelah beberapa lama merasa cukup keruh dan bosan karena ketiadaannya pekerjaan, atau dengan susah payah kesana kemari sibuk mencari kesibukan, akhirnya sebuah ajakan untuk bermain ke tempat-tempat tinggi untuk sekedar menghabiskan sisa malam atau pindah tidur dari seorang kawan menjadi sebuah tawaran yang menarik, yang sayang untuk diabaikan. Seperti halnya juga apa yang pernah saya tuliskan, saya hendak berbaur dengan pohon-pohon dan bebatuan di bawah taburan bintang-bintang.