Minggu, Juli 20, 2014

Merapi Sambil Bernyanyi

Setelah beberapa lama merasa cukup keruh dan bosan karena ketiadaannya pekerjaan, atau dengan susah payah kesana kemari sibuk mencari kesibukan, akhirnya sebuah ajakan untuk bermain ke tempat-tempat tinggi untuk sekedar menghabiskan sisa malam atau pindah tidur dari seorang kawan menjadi sebuah tawaran yang menarik, yang sayang untuk diabaikan. Seperti halnya juga apa yang pernah saya tuliskan, saya hendak berbaur dengan pohon-pohon dan bebatuan di bawah taburan bintang-bintang.

Merapi. Ini serasa seperti tiga tahun yang lalu, terasa seperti deja vu, ketika pertama kalinya mengunjungi gunung itu. Saya juga hanya bersama dua orang kawan saat itu, yaitu Ucup dan Aris. Ada dua hal yang berbeda dengan pendakian ini, yang pertama adalah kala itu banyak sekali pendaki gunung yang datang mengunjungi Merapi walaupun pendakian belum dibuka secara resmi akibat erupsi beberapa bulan sebelumnya, sedangkan semalam lalu kami hanya bertemu dengan beberapa pendaki saja. Yang kedua, saat itu saya baru saja memangkas seluruh rambut saya, sesuai dengan janji setelah lulus SMA. Rambut saya baru saja tumbuh sepanjang kumis Ryandika, kawan saya se-faklutas, sedang saat ini, rambut saya ini telah mengikat diri mereka menjadi seperti tali-tali Kernmantle. Ini membuat saya berpikir, Merapi seperti menjadi saksi pertama sebuah perubahan. Perubahan diri saya tentunya. Dulu, satu tahun yang lalu, setelah rambut saya memanjang, dan dengan alasan yang tidak jelas akhirnya saya memotongnya menjadi pendek, saya juga memilih gunung Merapi ini sebagai tujuan liburan. Saat itu saya hanya berdua bersama kawan setia saya, Bagas Riantono. Mungkin memang hanya sebuah kebetulan, tapi saya menghargai kebetulan itu!

Jadilah malam itu, saya, Ucup dan Ipal, tiga pria bersahaja yang kesepian dan sok keren.
Saya merasa sangat bersemangat dengan pendakian kali ini.  Seperti terbebas dari sebuah beban yang berat, saya menikmati setiap langkah kaki sebagai sebuah penghiburan. Seperti sebuah janji yang segera akan ditepati di atas sana. 
Kami berangkat dari rumah saya sekitar pukul 9 malam, kemudian melaju di tengah dinginnya udara malam hingga basecamp Barameru Selo. Pukul 10 kami segera bergegas memulai pendakian kami. Meninggalkan basecamp dan berbaur dengan dingin malam di ketinggian 1.684 mdpl itu. Kami hanya bertiga! Senyap dan tenang. Bahkan suara alunan musik, kendaraan, atau lenguh sapi yang biasanya terdengar samar-samar datang dari kampung-kampung di bawah kamipun malam itu tidak ada. Hanya nafas dan detak jantung masing-masing dari kami yang dengan jelas kami dengar dan rasakan. Sungguh malam yang syahdu.

Perjalanan kami ditemani oleh cahaya bulan yang begitu terang menerangi jalan-jalan setapak yang kami lalui. Saya jadi ingat lagu Fly Me To The Moon-nya Frank Sinatra dan di dalam hati menyanyikannya. Saya juga ingat sebuah lagu reggae dari Tony Q dengan judulnya 'Mencium Bulan', dengan liriknya "Nikmati sepi malam, pagi menjelang, ada separuh bulan bertetangga bintang." Ah sungguh tepat lagu ini. Namun semangat kami ini sepertinya tidak mendapat respon yang baik oleh tubuh kami. Kelelahan dan rasa mengantuk akhirnya datang juga, hingga akhirnya Ucup yang memang sudah sangat kepayahan mengajak kami membuat tenda. Kami mendirikan tenda di sebelah sebuah tanjakan yang menikung, di atas pos 1. Tanah yang cukup sempit dan terbuka yang sama sekali tak tertutup pepohonan atau batuan, sehingga dengan mudah terkena angin kencang yang saat itu menderu semalaman.

Esoknya kami bergegas mengemasi barang-barang kami dan hendak segera melanjutkan perjalanan dengan deru angin dingin yang terus saja bertiup. Setelah bertemu dengan beberapa bule  yang salah satu di antaranya ialah wanita berparas Jepang yang cerah, yang menyapa kami dan sedikit bertanya-tenya dengan senyumnya menggantikan sunrise yang tak jadi kami saksikan pagi itu, kami menjadi kembali bersemangat. Ya begitulah, tiga pria bersahaja yang seperti tak punya teman wanita.
Tak hendak mencapai puncak, kami hanya ingin sampai di Pasar Bubrah. Kami benar-benar bersemangat! Apalagi selain karena senyuman si wanita Jepang yang menjadi satu-satunya sarapan kami itu, kami berjalan dengan iringan lagu-lagu P.O.D. Lagu semacam Satellite dan Alive yang memang membuat saya melonjak kegirangan sambil ikut bernyanyi, "I feel so Alive!" Dan begitulah, kami dengan terengah-engah bukan saja karena kelelahan berjalan tetapi juga karena tertawa-tawa dan berteriak, akhirnya tiba di Pasar Bubrah. Kami serasa seperti berada di sebuah planet antah berantah. Dengan bebatuan yang tersebar di seluruh daerah yang sangat luas itu. Tak ada satu pun pohon yang tumbuh, hanya beberapa semak dan rerumputan sehingga menambah kesan sebuah planet tak berpenghuni. Kami menghabiskan sisa waktu kami untuk membuat makanan, mengambil beberapa foto dan tidur siang. Hingga pukul 11 siang itu kami memutuskan untuk kembali.


Merapi selalu menyajikan suguhan pemandangan yang tiada duanya. Eksotis! Begitulah Ucup selalu menyebutnya. Sebutan yang layak untuk gunung ini. Ia begitu agung dengan kesan keras melalui urat-urat bebatuannya. Gunung yang tak hanya menyediakan keindahan dan kehidupan, akan tetapi juga menjanjikann murka alam yang maha dahsyat! Namun itulah yang menjadikan Merapi sebagai sebuah gunung yang dikagumi dunia. Demikianlah, terbayar sudah kerinduan saya. Saya harus kembali lagi melakukan rutinitas atau beberapa hal konyol yang harus saya selesaikan bulan ini!

1 komentar: