Senin, Maret 17, 2014

Sinom dan Elegi di Purnama

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika saya dan 3 orang kawan  tiba di tangga menuju gedung F kampus UKSW. Sasi Kirana Macapat, begitulah namanya. Suasana tampak damai dan khidmat yang sebenarnya lebih menimbulkan efek mistis dengan melihat lampu-lampu lilin yang berjajar dari tangga terbawah naik ke atas di kedua sisi tangga. Orang-orang telah berkumpul, duduk menikmati pementasan yang sudah berlangsung setengah jalan. Kami berempat baru tiba ketika teriakan wanita melengking keras dari arah belakang kami berdiri.
Sesosok wanita bermake-up putih tebal dengan daster dan payung hitamnya berteriak marah, menakutkan, ia berjalan di antara penonton yang tiba-tiba berisik karena tercengang dengan pemandangan itu. Si wanita kemudian bergabung dengan rekan-rekannya di panggung. Menangis, berteriak, semuanya membicarakan tentang generasi muda yang kian hari kian hancur. Bulu kuduk saya dibuat merinding oleh keadaan ini ditambah pula dengan alunan gamelan yang terdengar mistis dan berat. Monolog-monolog yang mereka lontarkan kebanyakan dengan bahasa jawa yang mudah saya terima. Pementas-pementas di panggung ini yang terdiri wanita dengan pakaian hitam terdengar bersungguh-sungguh, meratapi masa, meratap seolah meminta belas kasih. Tangis dan jerit mereka berakhir diselimuti gelap duka mereka ketika lampu-lampu dipadamkan. Gamelan mengalun perlahan, lebih lembut dan sayu. Kemudian hilang seperti terbawa angin.

-----

Suasana hening sejenak, ketika dari balik tirai tokoh laki-laki gendut muncul. Diikuti 3 orang anak kecil di belakangnya. Punakawan. Dan benarlah tebakan saya. Punakawan ini mulai bercakap-cakap. Tentang hal-hal sehari-hari. Dimulai ketika seorang anak yang memerankan Gareng mengajak saudara-saudaranya untuk membantu Romo(ayah) mereka, Semar, dengan memijit kakinya karena ia sedang sakit. Kemudian hal itu berlanjut menuju permainan tebak-tebakan atau cangkriman. Semua berjalan begitu natural. Dan saya secara personal iri dengan anak-anak ini.


 

 
Saya terkagum-kagum melihat anak-anak yang begitu terampil dan terlihat memang telah berpengalaman dalam seni teater. Cara bicara yang khas jawa dengan sentuhan guyonan yang kocak, serta bahasa yang sederhana, yang merepresentasikan bahwa mereka adalah rakyat biasa, orang-orang pada umumnya. Tak hanya lucu, namun tersirat juga makna guyonan punakawan ini. Tentang  tingkah polah anak-anak, tentang  imbasnya modernisasi terhadap mereka, juga bagaimana remaja pada era ini lebih memilih bermain gadget daripada mendengar orang tua mereka berbicara, dan hal-hal semacam itu. Para penonton yang sejak tadi menyaksikan tampak terpukau, tertawa dan sesekali ada yang ikut berkelakar menimpali guyonan Punakawan di panggung. Semar yang sedari tadi duduk di kursinya kemudian berdiri, mengajak ketiga anaknya untuk segera pulang ke Khayangan. Dan sebelum ia sendiri pergi, dengan berdiri di panggung ia meninggalkan sebuah pesan, “Sakbeja-bejane wong kang lali, isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo”

-----

Suasana kembali menegang, ketika seorang manita dengan kepayahannya berjalan keluar dari tirai dengan gontai langkah dan seakan putus asa. Seorang narator menerjemahkan gerak-gerik wanita tersebut dengan  sajak-sajak dalam bahasa jawa, tentang bagaimana anak-anak remaja dan pemuda sekarang telah jauh dari moral dan tradisi. Modernisasi justru membuat mereka amat rentan. Hanya karena masalah asmara  mereka berlaku sesuka hati hingga keluar batas. Melupakan unggah-ungguh dan nasehat orang tua mereka. Kemudian tampak si wanita mengambil sebuah pistol dan, secara dramatis ia bunuh diri, hanya karena patah hati. Alunan musik memuncak seiring dengan kematian sang gadis muda yang menyia-nyiakan masa mudanya itu.

------

Sayup, hening, dan takjub seketika menjadi satu dalam waktu yang sama. Begitulah pementasan itu berakhir. Tepuk tangan para penonton serentak memenuhi tempat tersebut. Sebuah ketegangan yang seketika mengendur setelah lampu-lampu mulai menyala kembali.


Di akhir sesi tersebut, bagian yang tak kalah penting adalah diskusi terbuka tentang Macapat di mana pada saat itu yang dibawakan ialah Sinom. Hadir di sana sebagai narasumber adalah salah seorang dosen Bahasa Jawa dan Sejarah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan seorang guru Bahasa Jawa dari SMA  Virgo Fidelis. Diskusi ini mencoba untuk mengupas tembang Sinom beserta seluruh arti dan pesannya untuk masyarakat.

Sebelum acara ini berakhir, kami memutuskan untuk pulang karena ada janji lain dengan seorang kawan. Begitulah, malam itu masing-masing dari kami mendapat pesan tersendiri dari sebuah tembang macapat yang sejatinya sudah sering kami dengar dulu waktu masih duduk di bangku SD maupun SMP. Di perjalanan pulang saya teringat, bahwa baru saja, sebelum berangkat untuk menyaksikan Sasi Kirana Macapat, saya berkumpul kembali dengan kawan-kawan SMA,  anak-anak hujan. Dan beruntunglah, kami dulu tak seperti yang tergambar dalam pementasan tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar