Rabu, September 10, 2014

Liburan Awal Semester

Yogjakarta!
Satu lagi cerita yang mungkin pantas untuk ditulis, dan juga satu lagi tulisan tentang sebuah perjalanan dadakan yang cukup memberikan efek menyegarkan pikiran dan hari-hari berikutnya.
Dan begitu, setelah beberapa saat yang lalu sempat bertamasya ke Jogja dengan kawan-kawan SMA, kini saya bersama segelintir kawan se-angkatan fakultas saya mengisi akhir pekan kami yang sebenarnya
belum benar-benar melelahkan karena baru seminggu berjalan, dengan berlibur ke Jogjakarta. Untuk itulah anak-anak gila ini selalu berkelakar tentang judul foto-foto kawan kami yang lain, yang diunggah di media sosial sekitar 2 mingguan yang lalu, dan kami menyebut pejalanan kami dengan "Liburan Di Awal Semester." Yah, plesetan dari judul foto-foto kawan kami itu tentunya.

Mungkin juga ini akan terdengar menjadi cerita yang biasa yang semua orang bisa lakukan. Berlibur kesana-kemari, bersama teman-teman, ke tempat-tempat yang mudah dijangkau, apa istimewanya? Tapi apalah arti keistimewaan sebuah perjalanan jikalau hanya dipandang dari sebuah sudut kesenangan dan destinasi belaka? Bukankah ada begitu banyak hal berupa pelajaran, perenungan dan hal-hal lain yang bisa kita dapatkan, kenang, dan kita nikmati melampaui seluruh kesenangan kita? Sehingga setidaknya kita bisa menuliskannya untuk sekedar mengingat-ingat hal tersebut. Dan anggap saja, kesenangan itu adalah sebuah efek samping dari perjalanan bersama kawan-kawan kita.

Namun apa boleh buat, sayangnya saya begitu senang! Terlebih bisa bersama kawan-kawan yang gila ini, dan, persetan destinasi! Bukan apa-apa, tapi terkadang kebersamaan dengan orang-orang di sekitar kitalah yang justru membawa efek bersenang-senang yang berlebih-lebih, bahkan melebihi ketika menjumpai sepetak surga di sebuah tanah antah berantah. Walaupun sekali lagi sayangnya kami mendapat keduanya, bersenang-senang bersama gerombolan ini, di sepetak surga pula!

Dimulai dari sebuah hari biasa yang absurd dan membingungkan. Bertemu dengan orang-orang tertentu berulang kali di tempat-tempat yang berbeda, mendapat ejekan dari kawan-kawannya kawan saya, karena kami berdua kesana-kemari seperti orang pacaran, hingga mengobrol beraneka macam hal dengan anak-anak lelaki se-angkatan yang jarang kumpul ini. Dan setelah obrolan-obrolan yang mulai membosankan karena satu per satu dari kami beranjak dengan alasan kesibukan mereka masing-masing, sebuah ajakan mendadak untuk pergi ke Jogjakarta datang dari si Pandu, dan seketika saja saya menyanggupi untuk ikut serta. 

Jadilah kami berlima; saya, Om Stef, Pandu, Iwan dan Dany, di sebuah Sabtu siang yang ramai dan pengap, melintasi jalanan menuju Jogjakarta. Kami memulai perjalanan kala itu dengan penuh gairah. Dengan iringan lagu Lamb Of God yang memompa jantung hingga Michael Buble yang mendayu-dayu, membuat suasana perjalanan kami malah bertambah aneh. Namun kami tetap saja bernyanyi, biarpun tak tahu liriknya dari tiap lagu yang diputar. Terselip pula obrolan-obrolan di tengah-tengahnya. Yah, obrolan yang tak banyak saya ingat sebab suasana hati saya sedang campur aduk, dan saya malah seperti sedang mendengarkan lagu These Streets-nya Paolo Nutini yang selalu saja membuat saya mengingat hal-hal sentimentil. Ah, sial! Biarpun sesekali pula saya ikut bergabung ke dalam obrolan yang penuh ejekan dan gurauan yang tak karuan itu, yang tentu saja didalangi oleh si Pandu dan korbannya tak lain adalah Iwan. Begitulah, mereka berdua ini memang selalu saling ejek.

Perjalanan kami memakan waktu sekitar 3 jam. Kami berangkat sekitar pukul 11 dan sampai di Jogjakarta kira-kira pukul 2 siang. Dan kami langsung memutuskan menuju sebuah pantai yang direkomendasikan Om Stef kepada kami, Glagah. Pantai pasir hitam yang mungkin akan kurang spesial bagi anda-anda yang dengan sok elegan menyempatkan diri berfoto-foto di pantai. Pantai ini terletak di kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta. Biarpun tidak berpasir putih seperti pantai-pantai di daerah Gunung Kidul, saya rasa pantai ini pantas untuk direkomendasikan kepada kawan-kawan saya yang lain untuk dikunjungi suatu saat nanti. Bukan saja karena adanya pemecah ombak yang diletakkan di bibir pantai yang menjorok ke laut yang selalu tampak istimewa ketika ombak besar menghantamnya sehingga ombak tersebut akan bertaburan ke udara, pecah dengan butiran-butirannya. Namun juga karena adanya laguna yang terletak di seberang dalam pantai tersebut, yang dipisahkan oleh gundukan pasir dari lautan. Selain itu pantai ini juga menyuguhkan pemandangan yang tanpa batas menyatukan cakrawala dengan lautan, dengan ombaknya yang besar dan anginnya yang lembut, serta suguhan sunset yang biarpun tak seindah di Karimun Jawa saat saya mengunjunginya, tetap saja merupakan bonus indah perjalanan kami. Saya kira saya bakalan ke pantai ini lagi suatu saat, bersama kawan-kawan saya untuk bermalam di sana dengan tenda-tenda kami dan obrolan-obrolan yang tak ada habisnya. Entah, dengan kawan-kawan yang mana saja, bolehlah suatu saat nanti. Namun tak semua dari kami yang menikmatinya. Om Stef yang merekomendasikan tempat ini justru harus pergi. Ia sedang ada urusan keluarga, mengantarkan kakaknya yang akan pindahan ke Jakarta. Sehingga kami hanya berempat, anak-anak kampungan yang tak tahu waktu bermain pasir dan air sampai senja!


Kami berempat tampak begitu antusias. Empat orang anak muda yang jauh dari rumah. Kami berjalan mantap menuju lokasi pemecah ombak yang terletak menjorok ke laut seperti empat ksatria gagah sehabis membunuh naga raksasa yang mengganggu desa. Ah, sayang tak ada putri cantik yang tergeletak lemas menyandarkan kepalanya ke tubuh saya. Sudahlah! Dan kamipun langsung disambut ombak besar yang seketika menghantam pemecah ombak tersebut sehingga menjadi butiran-butiran air yang dingin tumpah ke badan kami berempat. Setalah agak puas di sana, kami segera turun ke pantai dengan pasir hitamnya. Melepas pakaian kami dan menceburkan diri ke laut. Kami sungguh senang, seperti tak pernah melihat pantai! Apalagi tak banyak orang yang ada di pantai itu sehingga kami bisa bebas melakukan hal-hal bodoh kami.

Satu hal lagi yang saya sukai dari pantai Glagah ini ialah karena betapa panjangnya ia. Saya berniat menyusuri tepiannya berharap menjumpai ujung pantai tersebut. Namun karena lelah berlari juga karena sebuah suguhan di kanan saya begitu menggoda, saya malah menuju ke sebuah laguna yang menarik perhatian saya. Hingga akhirnya saya memutuskan langsung menuju kesana dan menceburkan diri. Hangat benar. Seketika juga saya panggil tiga orang kawan saya untuk bergabung. Jadilah saya, Dany dan Pandu menghabiskan sisa waktu kami menceburkan diri dan bermain sepuasnya. Kampungan benar!

Bagitulah hal-hal yang kami lakukan di sana, menikmati pantai yang sepi, bermain sesuka hati dengan obrolan yang penuh ejekan tak karuan yang tak akan saya ingat-ingat. Dan semua itu terasa menyenangkan hingga kami melupakan rasa lapar yang menggerogoti kami sedari pagi karena belum sempat sarapan. Kami menikmati sunset hingga petang datang dan Om Stef pun menjemput kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar