Minggu, Agustus 10, 2014

Sebuah Malam Di Gunung Andong Saat Para Pria Bercerita

Ah, ini lagi. Kawan saya Daniel kembali lagi ke Salatiga, berlibur seminggu sebelum pergi lagi ke Jakarta untuk sebuah Diklat. Beberapa hari yang lalu kami bertemu dan ia membawakan sesuatu yang dikatakannya sebagai sebuah 'Hadiah Ulang Tahun'. Kami sempat mengobrol beberapa saat di kampus dan menghabiskan malam kami bersama di rumah Bagas Riantono. Kami mendengarkan musik bersama, bermain game, tertawa-tawa, berdiskusi dan hal-hal yang sama sepanjang waktu kami bersama sejak dulu.

"Sebelum berangkat ke Jakarta, aku ingin naik gunung."

Bagitu ucapnya, yang kemudian saya simpulkan bahwa ia meminta saya menemaninya untuk sebuah pendakian gunung bersama Bagas juga tentunya. Sebenarnya saya ingin mengajak ia ke Merapi karena ia belum pernah ke sana, kemudian berganti pilihan ke Ungaran karena katanya ia ingin pendakian yang ringan. Namun pada akhirnya kami memilih gunung Andong yang 1700 mdpl-an itu karena ia harus sudah berada di rumah di hari sabtu sore untuk persiapan sebelum esoknya ke Jakarta. Kami memilih hari Jumat dan Sabtu karena kami bertiga memiliki waktu luang di hari-hari itu. Saya masih dalam keadaan lelah sebenarnya, setelah kemarin bertamasya ke Jogjakarta.

Di bawah langit gunung Andong

Kami berangkat sore hari. Saat matahari tersenyum hangat dengan awan putih yang tipis menjadi selimutnya. Kami berjalan pelan-pelan, bercakap-cakap akan beberapa hal dan bercanda bagaimana Daniel ini begitu tampak kepayahan berjalan bersama tas kecil di punggungnya. Kira-kira satu jam kemudian kami sampai di puncak dan kami segera mendirikan tenda di sana.

Awal malam itu begitu bersahabat. Dengan langit yang cerah dan bulan yang ramah kami bertiga sudah keasyikan berbicara kesana-kemari dan menikmati teh panas yang memanjakan. Kami juga dengan bodoh bernyanyi bersama keras-keras. Dari lagu Metallica, Rage Against The Machine hingga F.U.N. Dan setelah bosan kami keluar tenda, menikmati suasana malam itu yang remang-remang oleh cahaya bulan. Kami menghadap gunung Merbabu yang diselimuti awan putih di sebagian wilayah tubuhnya. Kami bercakap-cakap, mengejek satu sama lain dan seperti biasa, kawan saya satu ini selalu dengan mudah meremehkan saya dalam banyak sekali hal. Ah, dia ini memang tipe manusia yang begitu mudah menilai dan merendahkan orang lain. Tapi biarlah, saya sedang tidak ingin membicarakan itu, walaupun pada saat itu saya pura-pura kesal yang pada keesokan harinya saya bertanya apakah ia juga suka meremehkan kawan-kawan kerjanya. Yah, saya memang sudah biasa berbicara apa adanya, blak-blakan istilahnya atau menurut Bagas ceplas-ceplos, terutama terhadap kawan-kawan saya ini.

Pada malam itulah pembicaraan kami menuju ke arah yang lebih serius. Ya, kami, tiga anak muda ini berbicara lebih serius tentang pertemanan kami bertahun-tahun ini. Membicarakan bagaimana pria dan wanita itu berbeda dalam pertemanan mereka, juga tentang bagaimana kami sering menjadi melankolis saat bercerita tentang sesuatu ketika mengukur setiap hal di sekitar kami, kemudian juga mengkritik beberapa hal hingga topik-topik janggal yang kami tak pernah bicarakan selama kami berteman. Saat mendengarkan lagu dari F.U.N kami sepakat bahwa lagu yang sedang kami dengar itu terasa seperti sebuah lagu perpisahan. Kami mengingat bahwa hari Minggu nanti Daniel akan berangkat kembali ke Jakarta untuk mengikuti Diklat. Kami tidaklah terlalu sentimentil dalam pertemanan kami, hingga kami tak perlu seolah-olah mengadakan upacara perpisahan. Selain itu karena biarpun ia pergi kesana-kemari, kami akan dengan mudah bertemu kembali, menghabiskan hari bersama, berbincang dan melakukan hal-hal bodoh. Hal-hal bodoh yang Bagas tanyakan kepada Daniel apakah ia juga melakukannya dengan rekan-rekannya. Namun kami masing-masing menyadari bahwa persahabatan kami akan berlangsung lama, atau bahkan hingga kami berambut putih dan menggendong cucu kami masing-masing.

Saat kami mulai mengantuk dan kedinginan, kami segera memasuki tenda kami. Pada saat itu saya sedang berkirim-kirim pesan dengan Culin. Memang di gunung Andong kita bisa mengirim pesan atau bahkan menelpon. Ia mengatakan bahwa hujan deras mengguyur Salatiga malam itu. Dengan pamer saya katakan bahwa kami bertiga sedang menikmati suasana malam terang yang menyenangkan. Namun beberapa saat setelah itu tiba-tiba angin bertiup agak lebih kencang, dan benarlah seperti apa yang kami khawatirkan, hujan pun turun dengan segera. Kami malah tertawa-tawa. Entah panik atau memang gembira. Culinpun mengejek dengan bahasa yang sepertinya menunjukkan ia begitu senang setelah tahu bahwa kami kehujanan. Sial.

"Kau tahu, setiap kali naik gunung denganmu kita selalu kehujanan."

Saya berkata kepada Daniel. Saat kami tengah sibuk membenarkan dan mengamankan barang-barang kami dari air.

"Benarkah? Ah, itu hanya kebetulan!"

Demikian jawabnya setelah berpikir sejenak.

Kami lantas tertawa-tawa lagi setelah melupakan guraun itu. Bahkan saya sekali lagi mencandai Daniel perihal adik perempuannya yang bertambah besar dan telah menjadi seorang gadis, apalagi ia kini akan masuk di sebuah fakultas yang satu gedung dengan fakultas saya. Saya akan selalu bertanya demikian, "Siap tidak jika aku menjadi iparmu?" Dan Daniel akan menyambutnya dengan sebuah ejekan namun mesti berakhir pada sebuah kalimat yang agak serius saat menjelaskan bagaimana adiknya ini agak susah untuk bersosialisasi. Ini hanya sebuah candaan sebenarnya, namun pada setiap akhir candaan kami terhadap hal ini, ia tampak selalu menunjukkan bahwa hubungan dirinya dengan adiknya memang agak kaku. Dan seolah ia berkata: mungkin kau bisa jika kau mau. Ah, sudahlah!

Kami kemudian mendengarkan musik dan sekali lagi bersama bernyanyi dengan keras ketika hujan sudah sangat deras mengguyur tenda kami. Hujan tak berlangsung lama, namun cukup membuat kami kepayahan saat mencoba mengamankan diri kami di dalam tenda.

Di ujung malam, saat angin membawa awan hitam pergi dari gunung Andong, kami telah terdiam. Kelelahan dan mengantuk hingga akhirnya kami tertidur dengan posisi yang kurang nyaman untuk Daniel. Esok harinya ia menggerutu karena ketidaknyamanan semalam. Saya dan Bagas hanya bisa tertawa tanpa terlalu mempedulikan gerutu si Daniel.


Daniel, dengan daging yang beberapa kilo lebih berat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar