Jumat, Agustus 08, 2014

Di Sela Tawa Vredeburg dan Gunung Kidul




Ada sebuah ungkapan, yang entah saya baca di suatu tempat atau mendengar dari seseorang, yang kira-kira berbunyi demikian, "Hal-hal yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri." Saya selalu yakin dengan hal itu dan mengamininya. Seperti apa yang saya alami bersama kawan-kawan lama saya, saat mengisi liburan berwisata bersama.

Setelah kelelahan menggapai gunung Sumbing dengan jalanan panjang yang beberapa kali lebih hebat dari jalur Watu Gubug menuju Pos Pemancar di gunung Merbabu seminggu lalu, saya mendapat sebuah ajakan dari kawan SMA saya, Risa. Sesuai dengan percakapan remeh temeh kami saat buka bersama beberapa saat lalu, ia mengajak saya dan beberapa kawan lainnya untuk bertamasya bersama. Jogjakarta. Sebuah tempat klise untuk berwisata sebenarnya. Yah, walaupun saya akui kota satu ini memang memiliki banyak hal yang sebenarnya pantas untuk dicemburui kota-kota lain di sekitarnya. Karena ia memiliki hal luar biasa di dalamnya.

Rombongan kami ada delapan orang. Mereka adalah Risa, Mada, Ufo, Aida, sepasang muda-mudi Icha dan Rico, Gigih, dan kemudian saya. Kami berangkat dari Salatiga sekitar pukul 9 pagi, yang sebenarnya pada perencanaan awal kami hendak berangkat pukul 7. Tapi karena ada beberapa kendala, terpaksa beberapa dari kami mesti dengan sabar menunggu sekitar 2 jam lagi. Kasihan benar si Ufo, yang sedari pagi menunggu dengan cukup sabar di sebuah mini market.

Jam 9 lebih sedikit kami pada akhirnya berangkat. Dengan penuh semangat liburan yang berlebih-lebih itu, kami bercerita dan tertawa-tawa. Kami menikmati setiap detik waktu yang kami lewati dengan candaan yang membuat pipi dan perut kami mengencang karena tertawa terus menerus. Seperti biasa kawan saya, Ufo selalu menjadi korban lelucon kami. Ah, sekali lagi, kasihan benar dia. Tapi dia cukup paham dengan kawan-kawannya hingga tak sedikit pun marah. Mungkin hanya sedikit jengkel, terutama terhadap kami bertiga, Mada, Gigih dan juga saya. Seperti ungkapan di awal tulisan ini, saya sudah tidak terlalu peduli akan destinasi yang akan kami tuju. Kemanapun asal kita bersama bersenang-senang, demikian pikir saya. Dan jadilah, sudah menjadi sebuah hal yang biasa untuk selalu mengunjungi, Malioboro!

Kami turun dan berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Melihat dan berbaur dengan para pelancong menyusuri jalanan sesak penuh manusia itu. Ini adalah pertama kali saya berjalan-jalan di Malioboro pada waktu siang hari. Saya dan Gigih berpendapat bahwa Malioboro di waktu siang memang lebih tampak seperti kota dengan keramaian pasar pada umumnya. Walau ada beberapa hal berbeda yang tak dapat kami simpulkan yang menjadikan dirinya khas dari yang lainnya. Dan di antara ribuan manusia dengan kepentingannya itu ada juga hal ajaib yang terjadi. Saat gadis-gadis rombongan kami pergi sendiri dan saya mencari mereka bersama Mada dan Gigih, saya bertemu dengan seorang bule Spanyol yang saya temui di gunung Sumbing minggu lalu. Ia agak lupa dan sedikit kaget hingga akhirnya kami bercakap-cakap sebentar. Sebenarnya ia ingin mendaki gunung Merapi namun tidak jadi karena ada beberapa alasan. Pertama ialah karena aksesnya yang terlalu susah, keterbatasan waktunya yang mana ia berkata bahwa ia akan segera ke Bali dan ke Flores. Dan yang terakhir ialah karena ia tak ingin membayar! Entah apa maksudnya, tapi ketika saya bertanya perihal maksudnya itu, ia dengan bangga menjawab bahwa kemarinpun ia tak membayar untuk mendaki di gunung Sumbing. Bukan apa-apa, tapi ia berkata bahwa gunung ini milik dunia, ia ada untuk semua orang, dan ia, gunung-gunung ini tak minta bayaran. Yah, mungkin terdengar ganjil atau mungkin terlalu naif. Ia hanya tak tahu atau kurang mengerti bilamana kita membayar ialah untuk biaya perawatan dan asuransi. Ah, fellow traveler yang ini, yang dengan bodoh saya lupa menanyakan namanya, memang agak susah dipahami. Saya juga menyesal karena lupa mengambil foto bersama untuk sekedar kenang-kenangan. Betapa tidak, kami bertemu secara tidak sengaja di gunung Sumbing, dan beberapa hari setelahnya kami bertemu lagi secara aneh di Malioboro.

Dari Malioboro kami melanjutkan perjalanan menuju Taman Sari, tempat pemandian para Raja di masa lampau. Kami melewati Benteng Vredeburg di ujung jalan Malioboro, kemudian melewati Keraton hingga sampai di Taman Sari yang kami tuju melalui gang-gang sempit di belakangnya. Kami menyusuri ruang demi ruang dengan sangat antusias. Saya takjub dengan seluruh bangunannya yang unik tersebut. Kami berjalan berkeliling hingga sangat lama. Bukan hanya karena panjangnya tempat yang kami kunjungi akan tetapi juga karena sesi foto-foto yang menggelikan.

 
Akhirnya, setelah berkeliling begitu lama dan melelahkan, kami berencana menghabiskan sisa sore hari kami di pantai. Melalui perundingan main-main dan tampak absurd itu, juga karena banyaknya pilihan pantai yang beberapa dari kami sudah sering ke sana, jadilah kami sepakat menuju pantai Ngobaran. Entahlah, saya baru dengar sekali itu dan sayapun setuju karena saya kurang tahu dengan pantai-pantai di Gunung Kidul yang sudah banyak dikenal orang itu. 

Sesampainya kami di pantai itu, kami disuguhi ombak besar yang menghantam karang berulang-ulang kali dengan angin kencang yang menerpa wajah-wajah kami. Kami gembira sekali. Kemudian turun menuju pantainya dengan bertelanjang kaki dan berlarian, bermain ombak, menikmati angin dan sebagainya. Juga melihat si Mada yang dengan polosnya bermain pasir dan membuat sebuah bentuk yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Entahlah, siapa sebenarnya yang berpikiran jorok. 

Saat itu bulan bersinar dengan terang, menjadi latar belakang yang apik saat saya memainkan lagu Forever Young dengan versi Reggaenya melalui ponsel saya. Kami benar-benar merasa muda, berteriak-teriak, bernyanyi bersama dan berjoget tidak karuan. Ah, mungkin terkesan kampungan, tapi biarlah, kami menikmatinya seperti tak ingin pulang.

Begitulah hari kami berjalan. Ia dengan senang hati menemani kami dengan hal-hal yang membuat kami kegirangan. Bersama lelah yang tak lebih besar dari tawa dan kebahagiaan anak-anak muda yang mulai tumbuh sebagai pribadi yang lebih dewasa. Di perjalanan pulang saya berpikir, seperti apa yang saya ungkapkan pada sebuah diskusi saya dengan Dita sebelumnya, saya mengakui bahwa tahun ini adalah tahun di mana saya akan menikmatinya bersama kawan-kawan saya. Ini adalah tahun pertemanan atau mungkin persahabatan bagi saya. Banyak sekali pribadi yang saya jumpai dengan berbagai karakteristik dan latar belakang hidup. Beberapa teman yang sebelumnya kami tak pernah berbincang secara serius suatu kali dengan rendah hati meminta saya meluangkan waktu untuk sekedar berdiskusi. Ada juga yang berkeluh kesah akan hal-hal remeh, yang pada akhirnya mendekatkan hubungan kami sebagai kawan kerja di organisasi kami. Dan pada saat saya menuliskan ini, saya mengingat mereka satu persatu. Betapa saya telah masuk menjadi bagian dalam lingkaran pertemanan dengan lingkungan yang berbeda-beda. Beberapa kawan yang selalu membuat saya seperti kembali menjadi anak-anak karena keceriaan mereka. Saat saya harus menjadi lembut berbaur dengan kawan yang selalu bermelankolis, juga bersikap skeptis terhadap hal-hal yang kami diskusikan seakan kami ini tahu segalanya. Ada pula ketika saya akan bersama anak-anak badung yang sering keluyuran kesana-kemari atau hanya duduk-duduk di kantor organisasi kami dan membicarakan hal-hal konyol. Saya harus menempatkan diri pada setiap situasi, dan saya belajar dari mereka semua.

Saya seketika juga ingat dengan Gie. Ia juga merasakan hal yang sama, sangat melankolis saat tiba-tiba ia ingat dengan kawan-kawannya, dengan beberapa gadis yang berada di lingkaran hidupnya, rekan kerjanya dan lain-lain. Ia melihat refleksi dirinya melalui remang-remang lampu kota Jakarta yang menurutnya sangat sentimentil. "Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya lepas. Dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan." Begitulah katanya. Ya, ia mengatakannya sebelum ia berangkat mendaki Semeru, dan menemui ajalnya sehari sebelum ulang tahunnya di puncak para dewa itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar