Ada
sebuah ungkapan, yang entah saya baca di suatu tempat atau mendengar
dari seseorang, yang kira-kira berbunyi demikian, "Hal-hal yang
menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri." Saya
selalu yakin dengan hal itu dan mengamininya. Seperti apa yang saya
alami bersama kawan-kawan lama saya, saat mengisi liburan berwisata
bersama.
Setelah kelelahan menggapai gunung Sumbing
dengan jalanan panjang yang beberapa kali lebih hebat dari jalur Watu
Gubug menuju Pos Pemancar di gunung Merbabu seminggu lalu, saya mendapat
sebuah ajakan dari kawan SMA saya, Risa. Sesuai dengan percakapan remeh
temeh kami saat buka bersama beberapa saat lalu, ia mengajak saya dan
beberapa kawan lainnya untuk bertamasya bersama. Jogjakarta. Sebuah
tempat klise untuk berwisata sebenarnya. Yah, walaupun saya akui kota
satu ini memang memiliki banyak hal yang sebenarnya pantas untuk
dicemburui kota-kota lain di sekitarnya. Karena ia memiliki hal luar
biasa di dalamnya.
Rombongan
kami ada delapan orang. Mereka adalah Risa, Mada, Ufo, Aida, sepasang
muda-mudi Icha dan Rico, Gigih, dan kemudian saya. Kami berangkat dari
Salatiga sekitar pukul 9 pagi, yang sebenarnya pada perencanaan awal
kami hendak berangkat pukul 7. Tapi karena ada beberapa kendala,
terpaksa beberapa dari kami mesti dengan sabar menunggu sekitar 2 jam
lagi. Kasihan benar si Ufo, yang sedari pagi menunggu dengan cukup sabar
di sebuah mini market.
Jam
9 lebih sedikit kami pada akhirnya berangkat. Dengan penuh semangat
liburan yang berlebih-lebih itu, kami bercerita dan tertawa-tawa. Kami
menikmati setiap detik waktu yang kami lewati dengan candaan yang
membuat pipi dan perut kami mengencang karena tertawa terus menerus.
Seperti biasa kawan saya, Ufo selalu menjadi korban lelucon kami. Ah,
sekali lagi, kasihan benar dia. Tapi dia cukup paham dengan
kawan-kawannya hingga tak sedikit pun marah. Mungkin hanya sedikit
jengkel, terutama terhadap kami bertiga, Mada, Gigih dan juga saya.
Seperti ungkapan di awal tulisan ini, saya sudah tidak terlalu peduli
akan destinasi yang akan kami tuju. Kemanapun asal kita bersama
bersenang-senang, demikian pikir saya. Dan jadilah, sudah menjadi sebuah
hal yang biasa untuk selalu mengunjungi, Malioboro!
Kami
turun dan berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Melihat dan berbaur
dengan para pelancong menyusuri jalanan sesak penuh manusia itu. Ini
adalah pertama kali saya berjalan-jalan di Malioboro pada waktu siang
hari. Saya dan Gigih berpendapat bahwa Malioboro di waktu siang memang
lebih tampak seperti kota dengan keramaian pasar pada umumnya. Walau ada
beberapa hal berbeda yang tak dapat kami simpulkan yang menjadikan
dirinya khas dari yang lainnya. Dan di antara ribuan manusia dengan
kepentingannya itu ada juga hal ajaib yang terjadi. Saat gadis-gadis
rombongan kami pergi sendiri dan saya mencari mereka bersama Mada dan
Gigih, saya bertemu dengan seorang bule Spanyol yang saya temui di
gunung Sumbing minggu lalu. Ia agak lupa dan sedikit kaget hingga
akhirnya kami bercakap-cakap sebentar. Sebenarnya ia ingin mendaki
gunung Merapi namun tidak jadi karena ada beberapa alasan. Pertama ialah
karena aksesnya yang terlalu susah, keterbatasan waktunya yang mana ia
berkata bahwa ia akan segera ke Bali dan ke Flores. Dan yang terakhir
ialah karena ia tak ingin membayar! Entah apa maksudnya, tapi ketika
saya bertanya perihal maksudnya itu, ia dengan bangga menjawab bahwa
kemarinpun ia tak membayar untuk mendaki di gunung Sumbing. Bukan
apa-apa, tapi ia berkata bahwa gunung ini milik dunia, ia ada untuk
semua orang, dan ia, gunung-gunung ini tak minta bayaran. Yah, mungkin
terdengar ganjil atau mungkin terlalu naif. Ia hanya tak tahu atau
kurang mengerti bilamana kita membayar ialah untuk biaya perawatan dan
asuransi. Ah, fellow traveler yang ini, yang dengan bodoh saya
lupa menanyakan namanya, memang agak susah dipahami. Saya juga menyesal
karena lupa mengambil foto bersama untuk sekedar kenang-kenangan. Betapa
tidak, kami bertemu secara tidak sengaja di gunung Sumbing, dan
beberapa hari setelahnya kami bertemu lagi secara aneh di Malioboro.
Dari
Malioboro kami melanjutkan perjalanan menuju Taman Sari, tempat
pemandian para Raja di masa lampau. Kami melewati Benteng Vredeburg di
ujung jalan Malioboro, kemudian melewati Keraton hingga sampai di Taman
Sari yang kami tuju melalui gang-gang sempit di belakangnya. Kami
menyusuri ruang demi ruang dengan sangat antusias. Saya takjub dengan
seluruh bangunannya yang unik tersebut. Kami berjalan berkeliling hingga
sangat lama. Bukan hanya karena panjangnya tempat yang kami kunjungi
akan tetapi juga karena sesi foto-foto yang menggelikan.
Akhirnya,
setelah berkeliling begitu lama dan melelahkan, kami berencana
menghabiskan sisa sore hari kami di pantai. Melalui perundingan
main-main dan tampak absurd itu, juga karena banyaknya pilihan pantai
yang beberapa dari kami sudah sering ke sana, jadilah kami sepakat
menuju pantai Ngobaran. Entahlah, saya baru dengar sekali itu dan
sayapun setuju karena saya kurang tahu dengan pantai-pantai di Gunung
Kidul yang sudah banyak dikenal orang itu.
Sesampainya
kami di pantai itu, kami disuguhi ombak besar yang menghantam karang
berulang-ulang kali dengan angin kencang yang menerpa wajah-wajah kami.
Kami gembira sekali. Kemudian turun menuju pantainya dengan bertelanjang
kaki dan berlarian, bermain ombak, menikmati angin dan sebagainya. Juga
melihat si Mada yang dengan polosnya bermain pasir dan membuat sebuah
bentuk yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Entahlah, siapa
sebenarnya yang berpikiran jorok.
Saat
itu bulan bersinar dengan terang, menjadi latar belakang yang apik saat
saya memainkan lagu Forever Young dengan versi Reggaenya melalui ponsel
saya. Kami benar-benar merasa muda, berteriak-teriak, bernyanyi bersama
dan berjoget tidak karuan. Ah, mungkin terkesan kampungan, tapi
biarlah, kami menikmatinya seperti tak ingin pulang.
Begitulah
hari kami berjalan. Ia dengan senang hati menemani kami dengan hal-hal
yang membuat kami kegirangan. Bersama lelah yang tak lebih besar dari
tawa dan kebahagiaan anak-anak muda yang mulai tumbuh sebagai pribadi
yang lebih dewasa. Di perjalanan pulang saya berpikir, seperti apa yang
saya ungkapkan pada sebuah diskusi saya dengan Dita sebelumnya, saya
mengakui bahwa tahun ini adalah tahun di mana saya akan menikmatinya
bersama kawan-kawan saya. Ini adalah tahun pertemanan atau mungkin
persahabatan bagi saya. Banyak sekali pribadi yang saya jumpai dengan
berbagai karakteristik dan latar belakang hidup. Beberapa teman yang
sebelumnya kami tak pernah berbincang secara serius suatu kali dengan
rendah hati meminta saya meluangkan waktu untuk sekedar berdiskusi. Ada
juga yang berkeluh kesah akan hal-hal remeh, yang pada akhirnya
mendekatkan hubungan kami sebagai kawan kerja di organisasi kami. Dan
pada saat saya menuliskan ini, saya mengingat mereka satu persatu.
Betapa saya telah masuk menjadi bagian dalam lingkaran pertemanan dengan
lingkungan yang berbeda-beda. Beberapa kawan yang selalu membuat saya
seperti kembali menjadi anak-anak karena keceriaan mereka. Saat saya
harus menjadi lembut berbaur dengan kawan yang selalu bermelankolis,
juga bersikap skeptis terhadap hal-hal yang kami diskusikan seakan kami
ini tahu segalanya. Ada pula ketika saya akan bersama anak-anak badung
yang sering keluyuran kesana-kemari atau hanya duduk-duduk di kantor
organisasi kami dan membicarakan hal-hal konyol. Saya harus menempatkan
diri pada setiap situasi, dan saya belajar dari mereka semua.
Saya
seketika juga ingat dengan Gie. Ia juga merasakan hal yang sama, sangat
melankolis saat tiba-tiba ia ingat dengan kawan-kawannya, dengan
beberapa gadis yang berada di lingkaran hidupnya, rekan kerjanya dan
lain-lain. Ia melihat refleksi dirinya melalui remang-remang lampu kota
Jakarta yang menurutnya sangat sentimentil. "Semuanya terasa mesra tapi
kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya lepas. Dan bayangan-bayangan
yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan." Begitulah katanya. Ya,
ia mengatakannya sebelum ia berangkat mendaki Semeru, dan menemui
ajalnya sehari sebelum ulang tahunnya di puncak para dewa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar