Rabu, Maret 16, 2016

Nowhere End

"I hope we could be alright again, smoke and laugh at my cigarette brand. I hope we could drive to nowhere end, listen to yours and my favorite band."



Begitulah bunyi penggalan lagu dari The SIGIT, Nowhere End. Entah kenapa, lagu itu terasa mewakili hasrat kami akan kisah-kisah perjalanan bersama. Dan begitu pun cerita pendek yang akan saya tulis ini.  Sebuah kisah perjalanan lain bersama dua orang sahabat baik saya. Ya, kami kembali lagi. Sama seperti saat-saat dulu, bercerita tak ada habisnya, mendengarkan lagu dan melakukan hal-hal ganjil yang akan membuat kami tertawa-tawa. Selalu ada saja kisah yang menarik untuk diceritakan saat bersama kedua kawan saya ini. Dari kisah-kisah ajaib bertualang menjelajahi hutan hingga malam-malam saat kami hanya akan berakhir bercerita dengan ditemani tembang-tembang 90-an serta kopi maupun teh sebagai pelengkapnya.

Bermula di suatu senja, saat kami bertemu kembali di sebuah rumah makan yang sampai saat ini saya masih akan membayangkannya sebagai rumah bertingkat dengan orang-orang semacam Stephen Chow yang memakai celana cutbray. Kami memesan makanan, mengobrol banyak sekali hal. Hingga akhirnya muncul sebuah gagasan kecil untuk melakukan sebuah road trip.

Di sela-sela itu kami menyadari bahwa pertemanan kami sudah berumur 8 tahun. Sudah lama sekali saat mula-mula kami bertemu. Kami mulai meraba-raba ingatan kami. Bagas, ia adalah anak yang tak pernah kehabisan stok lelucon yang ia simpan di antara pori-pori kulitnya, ia adalah ia yang dari dulu hingga sekarang tak berubah, berpenampilan biasa, ya biasa saja. Hanya, dulu ia memakai kacamata menunjukan strata sosialnya sebagai anak pandai di kelas. Lalu Daniel, -ah andai kau tahu kau tak kan pernah percaya- dia dulu kecil, bisa dikatakan cupu dan pas lah untuk dijadikan objek bully-an di kelas. Namun lihat, sekarang ia tampak gagah dan lebih dewasa. Bagaimana pun juga ia telah ditempa matahari dan kehidupan. Kami masih akan mengingat saat anak ini jatuh dengan tidak keren ketika berjalan di depan para gadis dari kelas sebelah. Ya, itu mungkin cukup untuk menjelaskan dirinya yang dahulu. Dan sekarang, kau tau, ia akan dengan mudah bilang, "Aku mau ke Jakarta dulu ya. Nonton Java Jazz." Sombong sekali bukan? 

Dan malam itu kami tak benar-benar memutuskan tujuan kami. Karena kami memang biasa begitu. Dan kami juga lebih suka seperti itu. Biarpun niat kami tak menjelajah hutan lagi, serta lebih mencari keramaian suasana kota, dengan tidak membuat tujuan yang pasti membuat setiap perjalanan terasa seperti petualangan. Ya, karena petualangan dan bertamasya itu beda. Itulah pendapat kami. Atau mungkin sekadar mencari pembenaran atas kebiasaan kami yang tak pernah bisa memutuskan sebuah destinasi. Namun di akhir pembicaraan kami malam itu, muncul sebuah ide untuk mencoba peruntungan kami ke selatan. Ke Jogjakarta mungkin, atau mana saja. Entahlah.

--

Kami melaju dengan kecepatan 70an bersama iringan radio yang samar-samar menyanyikan lagu-lagu lama. Waktu baru menunjukkan pukul 9 malam. Beruntung sekali selama perjalanan itu banyak lagu-lagu bagus yang kami dengarkan. Dari semacam tembang-tembang lama Panbers hingga Led Zeppelin. Dan kami masih terus saja bercerita. Mendengarkan kisah Daniel saat ia masih di seberang pulau, atau seputar hal-hal yang ia jumpai di saat bertugas di lapangan. Bagas mendekam di bangku belakang dengan penuh kenyamanan mendengarkan, sesekali bercerita tentang kedekatannya dengan salah seorang muridnya. Ah, dia ini adalah seorang lover boy di gerombolan kami. Kami pun sering kali kembali melanjutkan pembahasan tentang lagu-lagu yang kami dengar. Menyanyi bersama atau berdiskusi tentang mereka.  Hingga saat kami mencapai kota Magelang, di pertigaan yang mengarah ke candi Borobudur, Daniel merasa tertarik dan mengajak kami berbelok dan berbeloklah kami. Kami lalu berhenti di depan area candi. Bingung dengan apa yang akan kami lakukan selanjutnya, akhirnya kami memutuskan untuk bertanya-tanya kepada bapak-bapak penjual angkringan di sekitar situ.  Sambil memesan wedhang jahe, kami bertanya tanya tentang tempat-tempat di sekitar daerah itu. Ia pun menyarankan kami untuk melihat pemandangan matahari terbit dari puncak bukit Punthuk Setumbu yang sekaligus dapat menyaksikan candi Borobudur dari ketinggian. Kami sepakat dan menuju ke tempat itu.

Sampailah kami ke tempat yang diarahkan oleh bapak-bapak penjual angkringan tadi. Malam masih sekitar pukul 12 saat kami tiba. Namun beberapa orang masih berjaga dan membantu kami memarkirakn mobil kami. Dan tibalah saat kami harus memutuskan. Bermalam di mobil, di pos pendaftaran, atau menghabiskan waktu di puncak bukit, seperti yang disampaikan bapak-bapak penjaga bahwa di atas bukit ada beberapa gubuk dan mushola. Kami pun berdiskusi cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk naik ke puncak bukit yang hanya berjarak 15 menit perjalanan. Di tengah jalan kami sepakat bahwa bayangan kami untuk menghabiskan malam di tengah kota dengan hiruk pikuk kesibukan malam ternyata berakhir dengan mendekam di tengah hutan yang sepi dan gelap. Ah, ini tak ubahnya cerita-cerita lain kami. Beberapa menit kemudian, sampai di puncak dengan sedikit terengah-engah, memandang dan menikmati udara serta pemandangan sekitar, hingga kami kelelahan dan memutuskan bermalam di dalam mushola kecil di bukit itu. Kami masih mampu sesekali bercerita, sambil mendengar iringan tambang dan gamelan dari desa di bawah kami yang terdengar mistis sekaligus menentramkan hati. Kami memutuskan untuk saling bergantian berjaga. Satu orang akan tidur terlebih dahulu dan yang lain berjaga biar tidak kesepian. Begitulah  seterusnya kami terlelap di mushola itu dengan cerita yag akhirnya saya ketahui bahwa Daniel juga Bagas mendapatkan pengalaman aneh. Entahlah, yang saya rasakan hanya rasa letih dan mengantuk. Juga satu-satunya hal menyeramkan adalah tokek besar yang ada di toilet di puncak itu. Sumpah!

-----

Esok paginya, kami disambut oleh kemerahan matahari terbit yang berada jauh di belakang candi Borobudur. Sangat indah melihat hari yang baru segera dimulai. Menyaksikan sendiri matahari bangun dari tidurnya. Namun tak berapa lama setelah kami bersiap-siap menyambutnya, tanpa kami duga banyak wisatawan yang juga ikut menyaksikan. Baik muda-mudi gaul dengan segala rupa kamera dan aksesoris serta dandanan yang begitu mudah memunculkan gelak tawa bagi kami, maupun wisatawan mancanegara dengan berbagai macam gaya mereka. Juga 2 orang gadis Jepang yang menggemaskan, yang membuat kami mengalihkan perhatian dari matahari terbit kepada mereka.  Menyenangkan sekali. Selebihnya, tak ada yang banyak kami dapat ceritakan, kami  pun akhirnya memutuskan untuk pulang saat matahari meninggi dan sebelum orang-orang di puncak itu juga turun. Namun kemudian, saat melewati kami melintasi area candi Borobudur, Daniel mengajak kami untuk masuk. Alhasil, jadilah kami mengunjungi candi Borobudur karena kasihan dengan Daniel yang katanya seumur hidup belum pernah ke sana.


Mengunjungi Candi Borobudur secara mendadak. Di tambah dengan alasan bahwa Daniel belum pernah berkunjung ke sini. Kasian.

Kami selalu mempunyai bahan untuk bercerita dan berkelakar. Membuat teori-teori sembrono tentang apa saja. Seperti saat kami tak sengaja mendengar pemuda pemudi yang sedang melaksanakan praktikum dari guru mereka sebagai tour guide  menerangkan beberapa hal kepada para turis, kami menahan rasa geli yang sama, dengan pikiran yang sama, yaitu meniru mereka untuk menceritakan sejarah. Tentunya dengan versi kami sendiri. Misalnya tentang letak candi yang tiap sisinya akurat menghadap empat mata angin, Bagas akan menerangkan dengan sok serius kepada kami bahwa empat mata angin secara Internasional disesuaikan menurut candi ini. Atau tentang bagaimana candi ini dibangun, kami selalu mempunyai bahan untuk diceritakan dengan versi kami sendiri. Bukan untuk tujuan apa-apa pastinya, hanya untuk menghibur diri kami. Seperti yang biasa kami lakukan.
Kami memang suka seperti ini. Bermain hal-hal yang mungkin tak jelas bagi orang lain, mengobrol dan bercerita. Tentang perjalanan, tentang menjadi tua dan tentang apa saja. Bahkan membicarakan orang-orang yang berlalu-lalang, membicarakan mereka dan semua orang. Dan masih banyak hal lain lagi yang memuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Begitulah kami, senang sekali berkelakar tentang apa saja. Namun demikian, tidak berarti bahwa kami hanya mencari kesenangan-kesenangan saja. Ada beberapa kejadiaan saat kami harus berdiskusi cukup lama tentang relief-relief di candi Borobudur. Tentang cerita-cerita, kisah yang dituturkan guru sejarah kami hingga cerita-cerita tradisi dan agama, serta masih banyak lagi.

Karena semua hanyalah tentang sudut pandang.  Dan kami telah juga melewatinya bersama. Hal-hal yang kami lakukan. Selama 8 tahun kami tak banyak berubah masih menjadi pribadi yang dikenal oleh masing-masing kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar