Senin, Januari 16, 2017

Membayangkan Hari Menua

Saya pernah berpikir jika kelak saya akan menghabiskan masa pensiun dengan tinggal bersama seorang perempuan tua yang sama-sama menyukai buku dan menghabiskan hari-hari kami mendengarkan lagu-lagu country di saat tengah hari dan folk di setiap senja. Kemudian membangun sebuah kedai sederhana yang menyajikan cerita dan romantisme di dalam gelas-gelas kopi dan lembaran kisah-kisah ajaib hasil karya manusia. Pasti menyenangkan sekali membayangkannya. Konyol memang, sebab nyatanya baru beberapa waktu saya mencicipi kehidupan orang dewasa yang melelahkan. Dan sekarang saya membayangkan masa-masa tua yang damai dan tenang. Tapi bukanlah dosa untuk sekedar berandai-andai tentang masa-masa tua yang terdengar cukup syahdu dengan hal-hal yang kita cintai. Jadi kini, saya akan sedikit bercerita tentang hal itu.


Saya pernah beberapa kali termenung berandai-andai bagaimana saya mungkin akan menikmati setiap detik masa-masa tua nanti. Tinggal bersama seorang perempuan tua cerewet yang selalu merisaukan anak-anaknya yang hidup berada jauh di kota lain. Di temani seekor anjing Saint Bernard yang juga telah tua dan malas, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tiduran di depan televisi dibanding bermain-main di halaman belakang kami, juga lagu-lagu yang berputar menunjukkan seberapa kami telah melampaui waktu muda kami bersenang-senang.  Melalui sebuah gramaphone tua misalnya, yang sengaja diletakan di sudut salah satu ruangan dengan terus berputar memainkan lagu-lagu country dan folk. Juga rak-rak yang berisi buku-buku acak macam panduan membuat bonsai karya Colin Lewis, kemudian fiksi-fiksi kriminal Agatha Christie hingga kisah-kisah satir Ryūnosuke Akutagawa dan beraneka ragam jenis buku lainnya dengan hanya diterangi oleh bohlam-bohlam kuning yang cahayanya remang dan malas. Saya akan senang untuk menghiasi dinding-dinding yang warna-warna cat yang telah memudar dengan gambar-gambar palsu karya Vincent van Gogh, Salvador Dali hingga Affandi. Foto-foto petualangan kami di masa muda yang sengaja dibuat hitam putih pun mungkin akan cukup menarik untuk dipasang memberi kesan lawas yang dalam.

Hari-hari kami akan berisi obrolan dan debat yang tak berkesudahan tentang hal-hal sepele. Misal mana merk sabun mandi yang paling wangi, atau siapa yang paling keras mendengkur saat tidur di antara kami, hingga memperdebatkan siapa yang terbaik antara HDT dan Annie Dillard. Dalam membayangkan hal itu, saya akan memilih untuk tinggal di sebuah rumah mungil dengan sebuah taman kecil berisi bunga-bunga, sayur mayur dan bermacam tanaman obat, di sebuah sudut kota yang tenang. Mendirikan sebuah galeri buku independent yang mengijinkan siapa saja untuk datang membaca dan meminjam buku-buku kami. Atau membelinya juga mungkin akan sedikit membantu. Dan bolehlah, orang berlalu lalang, datang dan pergi untuk sekedar menikmati bercangkir-cangkir kopi dengan obrolan mereka tentang apa saja sampai larut. Mungkin juga akan ada sekumpulan anak muda dengan visi revolusioner mereka sengaja berdiskusi tentang Mark hingga Castro. Atau gadis-gadis tanggung yang datang dan pergi kecewa karena tidak menemukan buku Tere Liye di sana. Kamipun mengijinkan beberapa pasang muda-mudi untuk datang membawa pundi-pundi cinta mereka dengan berbagai kisah asmara hanya untuk sekedar mencari sebuah tempat untuk bermesraan. Karena mereka akan menjadi teman di masa-masa tua kami tinggal di sana. Merekalah yang akan menyegarkan kami dengan ide-ide baru dari anak-anak yang lebih muda dari kami di masa-masa itu. Anak-anak yang menyebalkan tentunya.

Menarik pastinya, menjalani hari-hari dengan dikelilingi fantasi dan imajinasi yang berlebih. Yah, dan semua itu hanyalah angan-angan semata. Hal-hal yang mungkin terkesan muluk-muluk untuk seorang anak yang baru saja melakoni babak baru dalam perjalanan hidupnya. Ia tentu akan menjumpai banyak hal, yang sedikit banyak akan berpengaruh dan mengubah hal-hal yang ia mungkin pernah bayangkan. Namun sekali lagi, bukankah kita adalah anak-anak manusia yang suka sekali berharap hal-hal baik terjadi pada diri kita? Atau mungkin tidak? Entahlah.

Minggu, Januari 15, 2017

Di Sebuah Kota

Saya hampir tenggelam dalam bosan setelah beberapa jam menunggu hujan deras yang tak lekas reda. Di suatu sore, di teras sebuah kamar kos yang sepi lantaran ditinggal para penghuninya kembali ke tempat asal mereka. Dan saya seorang diri. Hanya ditemani alunan muram dan malas The Will to Death dari John Frusciante. Ah, kau tahu, sungguh menyebalkan ketika mengetahui bahwa hal-hal ringan yang dapat menghiburmu sedikit di sela-sela kegamanganmu pada akhirnya pelan-pelan menjauh, memudar dan pergi. Klasik! Lalu ia akan kembali lagi, menyembunyikan hal-hal yang ia tak mau kau tahu dengan kepolosannya yang tak bisa kau hindari. Untuk itu, hadapilah biarpun sesungguhnya kau tahu betul.

Dan menunggu adalah pekerjaan yang baik. Ia selalu bisa menjadi katalis bagi otak untuk memunculkan banyak sekali hal yang tak sempat terpikirkan saat beraktivitas. Ia tentu saja membosankan. Namun ayolah, bukankah menyanyikan Creep-nya Radiohead keras-keras sambil berharap bahwa orang-orang akan menghargai usaha kecilmu yang telah kau lakukan untuk merekapun nyatanya tak kurang membosankan dibanding semua ini? Ia bahkan menjadi sia-sia belaka. Dan saya kira, saya akan lebih menghargai derai hujan yang lebih jujur sebagai lagu yang merdu ketimbang tawa renyah yang ringan dan mudah pergi begitu saja.

Awalnya, saya berencana untuk sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan memutari kota yang untuk beberapa lama akan saya tinggali. Saya tengah memerlukannya untuk sedikit meringankan sakit kepala. Untuk sedikit menjernihkan isi pikiran dari hal-hal negatif serta kecurigaan berlebih akan orang-orang, hal-hal dan banyak lagi. Ah, sudahlah! Saya membayangkan bahwa mungkin saya akan menemukan kejutan-kejutan kecil yang saya rindukan. Hal-hal sederhana yang membuat kedua sudut bibir agak naik sedikit. Mungkin warna-warna cerah dapat juga membuat mata saya sedikit berbinar. Karena saya begitu menyukai sensasi saat pupil mata beradaptasi dengan perubahan cahaya. Membesar lalu mengecil. Mengecil lalu membesar. 

Sayapun membayangkan akan menjumpai hal-hal tak biasa terjadi pada hari-hari ini. Semisal sepasang kakek dan nenek yang sedang bermain lompat tali, atau seorang ayah berbadan besar dengan tato dan brewoknya sedang mengajari gadis kecilnya menari balet. Ataupun seorang gadis cantik berparas bidadari yang memilih menikah muda dengan seorang pemuda biasa saja yang hanya memiliki tubuhnya dan idealisme yang berlebih-lebih. Sungguh menyenangkan. Saya yakin saya tidak mungkin menemukannya, tapi percayalah, harapan-harapan remeh yang semacam itu tak lantas membuat dirimu hina.

Saya masih saja menunggu sesore ini. Tak ada gelas-gelas kopi, lembaran kertas bersampul bertuliskan huruf cetak yang tebal, yang saat diabadikan di dalam gambar akan memberikan sensasi elegan layaknya para hipokrit di media-media (sosial). Hanya ada sebuah kotak ajaib datar yang sedari tadi menemani dengan lagu-lagu sekenanya, tak peduli suasana apa yang sedang terjadi sebab iapun tak peduli. Hingga akhirnya saat senja datang, saat ia mesti tiba, hujan nampaknya mulai malas berjatuhan ke tanah. Ia perlahan berpamitan, meninggalkan airnya yang menggenang di sudut-sudut halaman. Namun, karena senjalah yang pada akhirnya datang , serta lantunan puji-pujian mulai mengalun di langit yang mendung di kota sore ini, bukanlah hal yang baik untuk melanjutkan tekad yang sedari tadi sejujurnya telah berubah menjadi kemalasan. Dan tulisan ini, yang seharusnya akan saya maksudkan untuk menceritakan hal-hal baik yang mungkin ditawarkan kota ini beberapa jam lalu, pada akhirnya berubah menjadi kisah remah-remah yang klise seperti biasanya. Menyebalkan sekali.

Selasa, Desember 13, 2016

Hal-hal Terakhir

LDKM FBS 2016
Memasuki penghujung tahun selalu ada saja hal yang layak untuk diputar kembali. Semacam mengulang kaset tape yang berisi cerita-cerita kehidupan kita sendiri. Ia tentu saja penuh hal-hal yang semestinya ditinggal dan dilupakan. Tapi beberapa hal justru membikin kita suka termenung-menung seorang diri.

Saya mengalami begitu banyak hal untuk pertama kalinya di tahun ini. Namun, bukan hal-hal pertama itulah yang saya kira akan saya tuliskan. Hal-hal terakhirlah yang nyatanya membuat ingatan dan kenangan serasa ingin berputar ke belakang. Karena ia tak mungkin dapat kita lakukan kembali. Atau karena ia tak dapat kita rasakan di waktu-waktu yang akan datang. Sehingga hal-hal terakhir ini akan berakhir sebagai sesuatu yang harus dilupakan atau justru dirindukan. Seperti sebuah perasaan romansa yang kini mulai dingin begitu saja hilang sejak terakhir kali menggapai puncak di selatan Jawa kala itu. Atau juga saat terakhir memegang suatu keyakinan yang terkesan keren yang kini justru tiba-tiba harus merendah merunduk pada kenyataan yang senyata-nyatanya. Saat kita tidak lagi bisa berpaku pada hal-hal ide tanpa tau hal praktis yang perlu dipahami, saat itulah ia harus lenyap.

Masih terasa begitu jelas, saat-saat terakhir saya terlibat dan menyibukkan diri dengan banyak sekali kegiatan kampus. Bersama orang-orang favorit saya. Di mana kami bisa mengobrol apa saja, atau membicarakan siapa saja, hingga menjelek-jelekkan divisi lain yang tidak semilitan kami. Ah, saya merindukannya. Serta hari-hari tanpa mandi, juga malam-malam yang tentu tanpa tidur pun pernah saya lewati dengan baik. Dia adalah masa-masa terakhir kesibukan dengan kawan-kawan satu angkatan. Dia begitu menyebalkan. Tapi sungguh, beberapa momen tentang hal itu justru membuat beberapa di antara kami yang merindukannya. 

Saya juga masih mengingat betapa menyebalkannya menyusun tugas akhir untuk kelulusan beberapa bulan yang lalu. Ia adalah malam-malam yang berat. Penuh penat yang selalu saja membuahkan perasaan bersalah jika dengan sengaja atau tidak telah memejamkan mata sebelum terlebih dahulu menyelesaikan puluhan revisi. Namun iapun membuat diskusi dengan beberapa orang kawan menjadi terkesan sedikit akademis. Apalagi karena kami memiliki tema yang hampir sama dalam penulisan tugas akhir tersebut.

Yang masih begitu dekat, beberapa hari yang lalu, saya begitu bersemangat bisa bekerja bersama angkatan baru dari organisasi kami sebagai outbound trainer LDKM FBS 2016. Terlepas dari beberapa hal menjengkelkan yang terus saja terpikirkan, ada banyak perasaan aneh yang timbul di antaranya selama masa-masa itu. Sebuah perasaan bangga dan permulaan kerinduan akan kegiatan bersama di waktu-waktu yang akan datang. Dan itu mungkin kali terakhir saya akan sebegitu dalam dan dekat dengan mereka. Karena setelah ini saya mesti melanjutkan apa yang sudah menunggu di depan. Tentang mereka ini, puluhan diskusi dan rapat mungkin sudah terlewati, ratusan keluh kesah dan beberapa kali kebosanan datang dan menghampiri. Tapi sungguh aneh, ketika selesai seluruh kegiatan kami, perasaan gamang dan nelangsa begitu mudah untuk hinggap. Dan perasaan semacam itulah yang menelurkan kerinduaan akan segala sesuatu.

Karena pada saatnya nanti, pada suatu waktu yang tak tentu, bukanlah hal yang keliru ketika setiap kita terasa tergerak untuk mengeja rindu. Dan hal-hal terakhir itulah yang biasanya akan paling terasa menempel di selaput pikiran kita. Entah baik atau buruk, hal-hal terakhir selalu menyajikan ingatan yang lebih nyata. Ia akan menjadi sesal ketika ia adalah buruk. Namun begitulah, karena sesal adalah pemanis di setiap akhir. Apa jadinya jika ia datang di awal? Tentu kita tak kan memanggilnya sesal. Dan ketika ia adalah akhir yang baik, tentu saja kerinduanlah yang akan selalu berusaha menjangkaunya kembali.

Selasa, September 13, 2016

Malam-malam Tanpa Tidur serta Hari-hari Tanpa Mandi

Di antara banyak sekali kisah di masa-masa kuliah, hal-hal terbaik yang akan selalu kita ingat tentunya semua hal di luar urusan akademis. Percayalah, kita akan sangat senang sambil terkekeh-kekeh saat bercerita tentang hal-hal remeh temeh semacam membolos mata kuliah tertentu hanya untuk nongkrong di suatu tempat, atau kegiatan absurd lainnya bersama kawan-kawan kita. Dan saya sampai saat ini tak bisa membayangkan apa yang ada di benak anak-anak lain yang kuliah mati-matian hingga tak sempat berkegiatan dengan teman-temannya di kampus, atau justru biasa beralasan bahwa dia mungkin bisa kehabisan oksigen jika membolos kuliah untuk sekadar membantu teman-temannya menyelesaikan kegiatan bersama. Maksud saya, setelah akhirnya menjadi seorang sarjana pun pada akhirnya kita harus turun ke masyarakat, ke banyak orang untuk terlibat di dalam sesuatu, melaksanakan sesuatu, menjadi berguna apapun itu. Tidak hanya menjadi mesin pencetak uang yang hanya peduli terhadap dirinya sendiri. Bukan apa-apa, tapi banyak juga kawan saya yang kuliahnya santai, tak pernah belajar setiap malam atau bahkan malam sebelum tes, cukup banyak kegiatan (entah kegiatan yang berguna maupun hanya bermain-main), nyatanya lulus 4 tahun juga, dengan indeks prestasi di atas tiga setidaknya, dan mereka tetap saja loyal dengan segala kegiatan kami. Dan tentu saja pergaulan mereka jauh lebih luas. Wong nyatanya, mereka, anak-anak yang mati-matian tadi, pada akhirnya lulus dengan nilai yang tak banyak bedanya kok, paling banter tiga koma sekian dan tidak ada yang empat! Dan skripsinya? Ya sama saja, pada akhirnya juga sekadar for the sake of lulus. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi, setiap orang punya kesenangannya sendiri. Dan saya serta beberapa kawan, baik kawan fakultas atau kawan organisasi, pada kenyataannya sangat menyukai apa yang kami lakukan di luar kegiatan belajar kami.

Dari semua itu, yang hendak saya tuliskan adalah memori-memori terakhir saya saat berkegiatan bersama kawan-kawan fakultas. Kawan-kawan satu angkatan tentunya.

Adalah suatu kegiatan tahunan yang diadakan oleh fakultas. Sebuah kegiatan sebagai wadah unjuk gigi dari masing-masing angkatan untuk berekspresi dan menunjukkan kebolehan mereka dalam hal akademis dan kreativitas. Ini adalah tahun terakhir kami, atau katakanlah tahun official kami sebagai satu angkatan tertua di fakultas, sehingga tentu saja kami dengan segala cara berusaha memberikan yang terbaik untuk angkatan kami. Walaupun, tentu saja banyak dari kami yang memiliki agenda tersendiri, semacam ambisi terpendam untuk menjadi yang terhebat di antara adik-adiknya. Namun terlepas dari hal itu, kesenangan yang justru saya dan beberapa kawan saya dapatkan adalah malam-malam di mana kami harus mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk angkatan kami dalam acara tersebut. Ya, kami mesti mengupayakan banyak sekali hal. Urusan tetek bengek dari perlengkapan dan aksesoris yang dibutuhkan angkatan kami, hingga malam-malam di mana kawan-kawan kami harus berlatih untuk perlombaan seperti mini drama, dance, lomba debat, serta kuis-kuis sederhana yang dipertandingkan di dalam acara tersebut. Dalam kesibukan semacam ini, setiap orang yang terlibat adalah berguna! Entah apa pun yang bisa mereka berikan. Macam, Teduh, kawan saya yang a la profesor itu yang dengan suka rela mengirimkan beberapa bilah bambu hijau yang masih hangat untuk property drama kami, atau Mario yang menyediakan rumahnya sebagai basecamp untuk menginap dan mengerjakan barang-barang tersebut. Semua orang yang terlibat memiliki fungsinya masing-masing. Dari para konseptor dan eksekutor dengan fungsi yang krusial hingga kawan-kawan saya yang runtang-runtung ke sana kemari sebagai penghibur. Tak apalah, karena penghibur nyatanya juga penting. Dan di antara itu semua, tentu saja masing-masing kami memiliki urusan sendiri-sendiri, kami punya kegiatan lain di luar sana, kami punya jadwal kuliah yang berbeda-beda, kami punya tanggung jawab, namun tetap saja, bangga rasanya mengingat betapa kawan-kawan saya ini berdedikasi untuk hal-hal bersama ini.

Kurang lebih tiga hari yang saya rasakan di mana karpet kotor, pintu-pintu kayu yang tercoret kuas, sofa dan banyak sekali barang di rumah Mario dengan bau-bauan aneh yang bercampur telah menjadi saksi bagaimana kami dengan tekun menghabiskan waktu-waktu kami yang mungkin akan lebih berguna untuk belajar mata kuliah yang saat ini pun saya tak ingat lagi. Tiga hari bagi saya, dan beberapa hari lebih banyak bagi kawan-kawan saya yang lain. Bukan apa-apa, sebelumnya saya hanya merasa agak enggan untuk bergabung karena ke-tidak-satu-visi-an di antara mereka akibat dari kemenangan yang kami dapatkan di pekan olahraga fakultas kami, EDO, ditambah dengan alasan-alasan lainnya. Kau tentu akan merasakan kegamangan ketika kualitas pertemananmu mulai diukur dari hasil dan bukannya usaha. Semacam kelupaan bahwa kegembiraan yang kami dapatkan tentunya adalah hal-hal sederhana atas kerja keras bersama yang lebih agung daripada hasil yang sekarang pun hilang begitu saja. Dan saat membicarakan menang atau kalah, beberapa hal mungkin sudah bergeser dari kebersamaan dan lebih kepada pencapaian. Ya, dan saya cukup enggan. Namun, setelah meluruskan beberapa hal dengan Ulfa, Grace dan Mario disertai rasa sentimentil yang berlebih beberapa malam sebelumnya, saya jadi bisa memaklumi hal-hal semacam itu terjadi di antara kawan-kawan kami. Saya pun harus bergabung di sisa tiga hari tersebut bersama mereka. Tiga hari, tanpa mandi maupun ganti baju -karena tidak sempat, dan tanpa tidur, tentu saja. Itulah yang terjadi.


Dan membolos kuliah untuk urusan semacam ini tentu bukan hal baru bagi kami. Akan ada banyak cerita jika kami harus kisahkan satu per satu. Mulai dari EDO, Loved ini, natal fakultas, Drama dan kegiatan-kegiatan semacamnya yang tentu saja memiliki kisahnya masing-masing. Beberapa dosen di fakultas kami ternyata cukup maklum dengan hal-hal semacam ini. Yah, selain karena mereka cukup dekat dengan kami, tentu saja karena dulunya mereka juga pernah terlibat di dalam kegiatan-kegiatan seperti ini. Dan membolos untuk kegiatan terakhir kami, pastilah memiliki prioritas yang lebih.

Ini adalah hari-hari yang berkeringat dan mengganggu. Kami harus memutar otak untuk mengerjakan sesuatu seperti yang diharapkan kawan-kawan kami di angan-angan mereka. Juga malam-malam lembur bagi beberapa dari kami. Ya, kami saat hanya berlima, berdelapan atau saat bersepuluh, entahlah. Di mana kami akan bertukar cerita tentang apa saja. Malam di mana kami begitu sering membayangkan bahwa mungkin ini adalah kerja keras yang kami lakukan bersama untuk terakhir kalinya, malam untuk mengenang apa-apa saja yang sudah kami lewat, hingga malam di mana kami merencanakan reuni yang kami saja bahkan belum berpisah! Konyol sekali. Malam itu juga adalah malam saat kami sesungguhnya akan lebih banyak berbisik-bisik atau tertawa dengan nada yang tertahan karena kami berada di lingkungan orang lain sekitaran jam 11 malam hingga 2 pagi. Hal itu terjadi lantaran kami mesti berpindah tempat dari rumah Mario ke pos kami yang lain, di mana kami menyimpan barang-barang besar yang tidak mungkin bisa disimpan di rumah Mario. Dan tentu saja, pembicaraan sentimentil tentang kisah-kisah kawan kami, Mario yang selalu saja membuat kami bergairah untuk tetap terjaga melupakan kantuk dan lelah kami sambil menggores tinta atau menancapkan paku payung di frame besar yang sudah disediakan oleh Iwan.

Dan malam-malam tanpa tidur serta hari-hari tanpa mandi tersebut akhirnya terbayar dengan kemenangan yang manis, suka cita dan kebahagiaan dari kami semua. Semua yang terlibat maupun tidak, semua yang mengingat maupun lupa, dan semua yang berbangga dan semuanya.

Saya percaya bahwa kelak kami akan membicarakan hal ini kembali. Saat kami sekali lagi menjadi para pengingat dan pelamun. Merindukannya, mungkin. 




P.S: Ide untuk menulis ini didapat saat saya dan kawan saya, Mario mengingat-ingat tentang rangkaian kegiatan yang kami katakan cukup 'gila' di akhir tahun 2014. Mulai dari kegiatan macam EDO, dekor Natal fakultas, Drama fakultas hingga Loved di tahun 2015 dan seterusnya hingga pertengahan 2016 ini. Juga tentu saja, kami mengingat betapa kami ini selalu tak jauh-jauh dari istilah; tukang, lembur, bolos kuliah dan hal-hal belakang layar lainnya.


P.S lagi: Saya juga sempat mengambil beberapa video amatir dengan kamera ponsel saya tanpa sepengetahuan kawan-kawan saya.

Jumat, Agustus 19, 2016

Pelamun dan Pengingat

Salah satu hal yang tidak saya dapat di dalam kopi adalah gosipnya bahwa ia akan membawa seseorang terjaga sepanjang malam sesaat setelah menelannya. Ya, gosip! Tentu saja, karena ia tak berpengaruh apa-apa pada indera-indera saya kecuali tentang urusan buang air kecil. Sekali mengantuk ya tetap saja mengantuk. Itu sudah bawaan mungkin. Tapi akhir-akhir ini saya sering kehabisan stok kopi di rumah dan satu-satunya orang yang menghabiskannya adalah saya sendiri. Lah, mau bagaimana lagi? Saya sedang sering terjaga sepanjang malam baru-baru ini, dan apalagi yang memungkinkan sanggup menemani selain desas-desus bahwa kopi berkhasiat ? Walaupun tidak demikian yang terjadi tapi ya, setidaknya ia ada sedari panasnya hingga dinginnya untuk menemani kebebalan tuannya yang tak kunjung berbuat sesuatu.

Setelah urusan-urusan perkuliahan selesai dengan segala tetek bengeknya, giliran hal-hal anehlah yang membayang-bayang di fase-fase menyebalkan dalam hidup saya.  Saat disibukkan oleh perulangan-perulangan yang membosankan; bangun siang, menulis, membaca, mengajar, menulis dan terjaga sepanjang malam, kemudian bangun siang, menulis, membaca dan terus-menerus seperti itu, tentu otakmu akan bekerja mencari jalan keluar untuk memanfaatkan setiap sisa energi yang ada. Dari setiap repetisi itu, hual paling menyebalkan yang sering hadir ialah kenyataan bahwa setiap malam saya biasa terjaga setelah satu dua jam tidur. Saat kira-kira malam tengah dikuasai serangga-serangga dengan nyanyiannya yang menenangkan dan malam saat lantunan lembut lagu apapun terdengar begitu muram, di saat itulah justru terkadang ide-ide baru bermunculan. Walaupun sialnya ia hanya akan bertahan sepuluh hingga lima belas menit setelah laptop dinyalakan. Sisanya hanya akan berakhir sebagai lamunan dan khayalan akan apa saja. 

Pada masa-masa seperti itulah saya kembali menjadi manusia empat hingga lima tahun yang lalu. Ketika mengingat-ingat adalah pekerjaan saya, dan melamun adalah kegiatan paruh waktunya. Saya bisa menjadi sangat sentimentil dibuatnya jika harus mengingat hal-hal yang terlampau melankolis. Diiringi tembang-tembang Pink Floyd yang tak kalah muram itu, semua ingatan terasa seperti sedang digambar di dalam mesin pencetak hitam-putih yang hanya menyisakan garis-garis kasar dan detail seadanya.

Bukan hanya hal-hal melankolis sesungguhnya. Kisah-kisah kebersamaan dengan kawan-kawanmu tentulah yang justru membuatmu menjadi melankolis. Dan untuk hal-hal semacam ini, saya akan mengingatnya secara mundur.

Saya akan mengingat sesaat sebelum kami belum benar-benar berpisah. Saat kami masih suka mencuri-curi waktu menghabiskan malam-malam dengan obrolan klise dan murahan. Di meja-meja bundar yang bercorak kenangan di tiap ujung-pangkalnya dengan gelas-gelas aneka macam minuman, serta beraneka makanan yang tak lebih nikmat dari ingatan ini sendiri. Mulai dari kisah-kisah sehari-hari menghadapi kepenatan perkuliahan yang membosankan, mencandai kawan-kawan kami akan jalan cerita cinta mereka atau disabilitas mereka untuk menyatakan cintanya untuk orang lain, hingga tentu saja merencanakan kegiatan apa saja yang paling-paling akan berakhir sebagai sekedar rencana. Klasik! Dan saya akui, beberapa saat setalah itu, saya akan suka untuk sekedar mengingat bila sesekali melintas di tempat-tempat kami suka menghabiskan malam bersama. Mengingat bahwa tempat-tempat itu mungkin telah merekam beberapa potongan percakapan yang tak terlampau penting, juga hal-hal yang kami sempat jalani. Mengingat bahwa mungkin saja pemilik tempat-tempat itu pernah agak jengkel dengan kami yang suka mengobrol begitu banyak hingga larut dengan hanya memesan beberapa gelas minum yang murah saja.

Ditarik lebih mundur lagi, akan ada sketsa yang masih nyata tentang perjuangan kebersamaan kami dalam acara-acara fakultas. Banyak sekali jika harus dituliskan. Bagaimana kami kepayahan mengatur segala sesuatunya. Dan di antara semua kepayahan itu, mengumpulan beberapa puluh anak untuk sekedar berbagi ide untuk bersenang-senang bersama menjadi pekerjaan paling mustahil saat itu. Jadilah kami berakhir sebagai segelintir udik yang sok-sok berdedikasi untuk angkatan. Malam-malam penuh gerutu dan sumpah serapah. Biarpun tawa kami masih kencang, siapapun di antara kami pasti enggan untuk bersuka rela menghabiskan malam-malamnya tanpa tidur hanya untuk sesuatu yang mereka sebut kebersamaan. Omong kosong memang, tapi yah itupun sedikit banyak telah merekatkan kebanyakan dari kami. Walaupun tak banyak memang. Namun setidaknya, nanti atau kapanpun itu, saat kami bertemu kembali, kami memiliki sedikit bahan untuk dibicarakan lagi. Diulang terus menerus tanpa harus merasa bosan.

Saya akan terus menemukan bahwa hal-hal telah begitu banyak berlalu jika harus terus mengingatnya satu per satu. Terlalu banyak. Begitulah kisah sentimentil yang terjadi empat tahun belakangan. Pertemuan-pertamuan tak terduga dengan Mark hingga Mochtar Lubis. Mantra-mantra ajaib mereka di tiap rak perpustakaan itu, ide dan gagasan besar yang begitu muluk untuk orang-orang macam kami yang selalu terbatas dengan realita. Keringat dan baunya yang akan membekas bersamaan dengan kepenatan kami bersama setelah menyelesaikan kegiatan-kegiatan bersama. Sore-sore yang manis nan sejuk saat menghabiskan waktu bersama beberapa gadis tertentu, berjalan menghapiri tiap sudut kampus dengan obrolan murahan yang menggelikan, hingga saat lelah bersama beberapa kawan tertawa-tawa membahas dan mengerjakan apa saja. 

Tentu saja semua itu adalah hal yang wajar. Karena banyak di antara kita memang terlahir untuk mengingat-ingat, untuk berkisah dan menceritakan perulangan-perulangan yang tak bosan-bosannya dibagikan. Di antara kita tersimpan banyak sekali orang dengan kemampuan melamunnya yang tiada tara, dan mengingat adalah sebuah pemberian yang agung. Dengan melamun dan mengingatlah kita biasanya diingatkan untuk belajar, walaupun pada kenyataanya, kita akan lebih banyak berkomentar konyol tentang ingatan-ingatan yang telah kita bangun dari lamunan.