Selasa, Februari 05, 2013

Perfect Stranger

Menjadi seorang loner ternyata menyenangkan juga. Sudah hampir 2 minggu ini saya ditemani oleh Jack London, Thoreau, Castro ataupun Marx, dan mengobrol dengan mereka di perpustakaan atau lapangan basket. Dan hari-hari saya pun cukup bergairah walaupun hanya dilalui dengan kegiatan tersebut.

Lebih eksotis lagi ketika hujan turun dan saya hanya bersama mereka. What a perfect day..
Ketika kawan-kawan saya menyibukkan diri dengan tes dan presentasi, atau dengan lantang dan bangga memalsukan kisah hidupnya, saya hanya akan menyandarkan punggung saya di sudut-sudut kampus yang muram di mata orang-orang. Walau nyatanya muram tempat tersebut menjadi jingga begitu rupa, di mana suatu saat nanti akan meninggalkan bekas sejarah yang takkan dilupa.

Huruf-huruf berceceran yang memenuhi buku yang saya baca seakan menghipnotis melibatkan diri saya memasuki dunia mereka. Walau kadang perlu berpikir keras untuk menelisik arti dari apa yang sedang saya baca, kemudian menemukan diri saya berada di alam ide-ide sambil mempertanyakan kenyataan yang benar-benar terjadi seperti apa yang huruf-huruf itu katakan.
Atau ketika membaca  fiksi-fiksi heroik London mengalir melalui mantra-mantranya yang penuh gairah, membuat saya terlempar ke dalam imajinasi dan memposisikan diri saya berada di dalam buku tersebut. Benar-benar saat yang manis.

Kadang memang kesendirian itu menyenangkan. Menarik diri dari jenuhnya aktivitas, menjadi terasing di sela-sela riuh kebohongan. Walau terkesan sangat egois tapi pada kenyataannya memang benar-benar hangat. Anda bisa mencobanya jika anda mau dan tidak keberatan.

Senin, Januari 07, 2013

Under the Rain

Terimakasih kepada Hujan.

Hujan, basah, dingin, adalah hal biasa. Tetapi menjadi cerita yang luar biasa karena terjadi di gunung Merbabu (lagi).
Kali ini saya yang sebenarnya diajak naik gunung Merbabu, akan mengisahkan pengalaman pendakian kawan-kawan saya. Cukup puas dan sedikit geli melihat manusia-manusia berjubah yang kedinginan setengah mati di atas gunung. Saya bersama Gigih, Bagas dan Daniel melakukan petualangan ini setelah perayaan tahun baru, yaitu pada tanggal 2-3 kemarin. Ini adalah pengalaman pertama bagi Bagas dan Gigih, dan pengalam kedua bagi Daniel, dan saya yakin tidak akan terlupakan.

Dimulai di sebuah pagi yang cerah di Salatiga, dengan persiapan yang cukup baik kami berempat tancap gas menuju ke basecamp Cuntel. Saya menyarankan untuk berangkat pagi dengan berbagai pertimbangan, salah satunya ialah menghindari hujan. Dari hitungan matematis, saya merasa yakin bahwa hujan pasti turun sore hari. Dan ketika hujan itu turun kami sudah akan berada di dalam gardu pos pemancar Merbabu yang hangat.
Tapi siapa yang sangka ketika kami tiba di basecamp awan hitam sudah siap menghinggap bumi menjatuhkan amunisinya. Kamipun tetap berjalan, pelan dan pasti dengan irama degup jantung yang kencang dan helaan nafas lelah sebagai latar belakangnya.
Hampir 1 jam perjalanan kami, dan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Hujan turun tanpa permisi ketika kami mengisi persediaan air. Dan seketika itu juga raincoat seadanya telah menutupi badan kami. Saya menjadi sangat kegirangan mendapat kondisi ini.

Dampak positif dari hujan ialah bahwa konsumsi air kami akan sedikit berkurang, dan juga kami hanya akan sedikit beristirahat. Dengan sangat menggigil kedinginan, dan saya tetap saja kegirangan, kami berempat berjalan membungkuk. Kombinasi antara lelah dan dingin yang sempurna.
Namun, perjuangan kami membuahkan hasil. Akhirnya kami tiba di gardu pos pemancar. Bertemu dengan beberapa pendaki yang hendak turun, dan akhirnya mendirikan tenda kami di dalam sana.
Di luar masih hujan, dan juga angin kencang. Sekitar pukul 6 sore kami semua sudah terdiam, lelah, dan Gigih malah sudah tertidur. Di dalam hati saya bangga, untuk diri saya sendiri dan juga untuk mereka. Hal yang baru untuk mereka, dan yah, lumayan lah....


Minggu, Mei 27, 2012

Decision

Pagi ini cuaca indah sekali. Beberapa hari terakhir ini memang langit kelihatan sedang bahagia. Dan kali ini pula, siswa-siswi SMA sedang bercemas-cemas ria menunggu pengumuman kelulusan mereka. Ya, dan saya pun pernah mengalami saat-saat itu. Satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 17 Mei 2011 saya juga berada dalam posisi yang sama dengan anak-anak SMA ini.
Sebuah moment yang tidak menyenangkan. Bukan karena saya tidak lulus, bukan karena saya harus berpisah dengan kawan-kawan saya.

Tapi karena saya memang tidak terlalu menyukai acara tersebut. Dan saya harus mengakui keberanian kawan saya, Bagas yang kala itu memilih menonton Spongebob Squarepants di rumah daripada ikut menghadiri wasana warsa atau yang lebih tepatnya 'pesta kelulusan'. Walaupun sebenarnya yang tidak saya sukai bukanlah acara wasana warsa tersebut tetapi lebih ke 'pesta kelulusan' yang dilakukan setelahnya. Corat-coret seragam OSIS.

Entah apa yang ada di dalam benak mereka, tiga tahun yang luar biasa diakhiri dengan pesta yang absurd dan menyedihkan. Kebahagiaan semu dari berbagai macam wajah yang tidak melihat bahwa di sisi kehidupan yang lain ada beberapa orang yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. Ada pula mereka yang memang tidak bisa bersekolah, atau mereka yang dengan kerja keras dan dedikasi yang tinggi untuk mendapatkan kelulusan itu malah tidak mendapatkannya. Dan di antara kebahagian itu, di antara gelak tawa, dan di antara coretan-coretan itu, ada kawan-kawan saya, anak-anak hujan. Ah, ternyata mereka sama. Mau bagaimana lagi mereka adalah manusia, dan mereka bukanlah saya.

Saya melihat keceriaan itu di sepanjang perjalanan saya pulang. Keceriaan yang sebenarnya hampir bersinggungan dengan aksi hura-hura. Sekelompok pelajar yang tidak pernah tahu biaya sekolah mereka berpawai dengan mengendarai sepeda motor dan baju yang penuh coretan. Dan saya rasa kebahagiaan itu tidak seperti sebuah kebahagiaan karena mendapat bukti keberhasilan dalam menuntut ilmu dan memperoleh pengetahuan selama 3 tahun mereka belajar. Tetapi aksi itu lebih mirip dengan seorang tahanan yang bebas dari hukuman selama bertahun-tahun. Yah, bagaimana lagi, kebanyakan orang-orang ini melihat belajar sebagai sebuah beban dan hukuman bukan sebuah kebutuhan hidup.

Dan dari itu semua, bukan berarti saya tidak berbahagia dengan kelulusan itu. Saya begitu senang dan lebih bahagia dari mereka. Namun saya mengungkapkannya dengan cara saya sendiri...
17 Mei hari itu juga, saya dan ketiga rekan saya melakukan pendakian ke Gunung Ungaran. Ditemani cahaya bulan purnama di malam Waisak dan diiringi suara vokal Andi Deris, Helloween. Dan saya menemukan kebahagiaan saya di atas sana.

Berbahagialah kalian yang memperoleh kelulusan kalian, gunakan kelulusan itu sebaik mungkin.

Kamis, Mei 24, 2012

The Marvelous Trip, Lawu

Biarkan anjing menggonggong, dan kami tetap sampai ke puncak Lawu, Hargo Dumilah..Yeah!!!

Tepat pukul 5 sore, 18 Mei 2012 akhirnya setelah berjuang dengan sangat lambat dan  menyebalkan kami bertujuh sampai di puncak Gunung Lawu. Disambut dengan mendung yang sangat tebal sehingga kami tak jadi menikmati sunset. Tapi biar bagaimanapun ini adalah pendakian terhebat saya, sekaligus pendakian perdana yang super hebat bagi kawan saya(bersyukurlah kau Bogenx Prakoso.!!!). Dan saya yakin ia akan ketagihan untuk pendakian-pendakian selanjutnya. Bagaimana tidak, keberangkatan kami dari Basecamp Cemoro Sewu pukul 8 pagi diawali juga dengan luar biasa. Untuk pertama kalinya saya menumpang mobil saat sudah memasuki jalur pendakian dan untuk pertama kalinya pula saya menumpang mobil polisi!

Sabtu, April 28, 2012

KIDS OF RAIN


Tiba-tiba saya ingin menulis tentang hujan. Ya, karena di luar sedang hujan dan akhir-akhir ini hujan telah benar-benar mewarnai hari-hari kita..

Apa yang sering kita pikirkan saat hujan? Apa yang kita lakukan saat hujan datang? Hujan menjadi sebuah momen yang sangat penting, karena kita semua pasti pernah terlibat dalam hujan. Bagi beberapa orang, hujan kadang menjadi kendala untuk beraktivitas. Ketika berangkat ke tempat kerja atau ke sekolah, hujan menjadi sangat tidak menyenangkan, walaupun bagi beberapa orang hal itu menjadi alasan yang tepat untuk bermalas-malasan di rumah.

Yang lain memilih mendekam di kamar dalam balutan selimut yang hangat dan nyaman. Namun bagi sebagian orang, hujan menjadi saat-saat yang melankolis. Hujan yang sering mengingatkan kita akan hal-hal kecil di luar sana. Hujan membuat sepasang muda mudi terdampar di sebuah halte. Hujan yang membuat seorang pemuda dari kota Salatiga yang menuntut ilmu di Pontianak ingat akan kekasih hati dan keluarganya di Tanah Jawa.

Saya pun kadang mengalami hal-hal yang terlampau melankolis untuk ukuran saya. Di temani secangkir kopi hitam favorit saya, sebuah buku dan pastinya sayup-sayup alunan musik yang lembut. Ya, karena saya sering terlibat dalam hujan, saya sering berada pada saat-saat yang menyenangkan di tengah hujan, dan saya suka berhujan-hujan. Dan seperti biasanya, saya pun ingat akan kawan-kawan saya dulu. Betapa kami sangat sering melakukan hal-hal aneh di waktu hujan. Tetes demi tetes air yang turun menjadi sangat berarti bagi kami di kemudian hari. Hujan menjadi alasan paling signifikan untuk pulang sekolah lebih sore. Hujan yang mengurung beberapa orang remaja di kelasnya yang membuat mereka tenggelam dalam obrolan yang lebih bermutu dari tahun-tahun mereka bersama. Juga yang membuat latihan drama di kelas saat itu menjadi sangat menyenangkan dan kadang saya rindu saat-saat tersebut. Hujan juga yang menyebabkan beberapa orang terdampar di depan bangsal olahraga. Dan hujan pula lah yang menjadikan sesi foto-foto untuk buku almamater lumayan mengesankan.
Kids of Rain

Saya pun kadang cukup senang ketika harus berhujan-hujan. Saat bersepeda bersama beberapa teman kamipun terguyur hujan yang cukup deras dan membuat suasana menjadi cukup seru.
Ketika saya menemani pendakian perdana kawan-kawan saya ke gunung Merbabu, kami terjebak hujan deras dan harus menginap semalaman di Pos bayangan 2 Tekelan -saya akui itu adalah saat-saat yang manis, ketika hujan reda kami berbaring di bawah langit dengan taburan bintang dan berulang kali mendengarkan lagu Heal the World-nya Michael Jackson dari radio saya-.
Namun yang lebih parah adalah ketika saya bersama teman-teman saya yang hebat, beberapa remaja 18 tahun yang dengan polosnya seperti anak-anak kecil bermain hujan sampai sore hari sewaktu pulang sekolah. Dan sepertinya itu adalah kali terakhir bagi saya untuk bermain-main di tengah hujan karena sekarang tidak ada lagi manusia-manusia aneh yang akan mengajak saya bermain hujan. Saya akan merindukan hal-hal tersebut.

Saya rasa masih banyak sekali kisah-kisah tentang hujan. Dan setiap orang memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Di antara bau tanahnya, di antara suara rintik-rintiknya, dan di antara akibatnya yang sering membuat beberapa kota di Indonesia banjir, hujan memberi sentuhannya sendiri kepada setiap kita. Dan oleh hujanlah kita di ingatkan akan hal-hal kecil di sekitar kita.