Ada
sebuah ungkapan, yang entah saya baca di suatu tempat atau mendengar
dari seseorang, yang kira-kira berbunyi demikian, "Hal-hal yang
menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri." Saya
selalu yakin dengan hal itu dan mengamininya. Seperti apa yang saya
alami bersama kawan-kawan lama saya, saat mengisi liburan berwisata
bersama.
Jumat, Agustus 08, 2014
Senin, Agustus 04, 2014
Tiga Hari 'Tuk S'lamanya
Kaldera |
Mengapa kita senang sekali bercerita? Di tengah kemeriahan pesta maupun sibuknya hari-hari, tidakkah kita mengingat cerita-cerita lebih dari kejadian yang kita alami sendiri? Kita 'tak kan mengingat sebuah kejadian sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi secara rinci. Kita hanya mengingat sedikit rekaman dari ingatan kita atau mungkin beberapa kisah yang terpotong-potong, yang kebanyakan disumbangkan dari rangkaian cerita
Sabtu, Juli 26, 2014
Tawa Riang Kawan Lama
Ada sebuah kerinduan yang bergelayut di antara lambung dan ulu hati. Kerinduan polos yang dimiliki anak-anak. Sebuah rasa rindu tentang masa-masa yang bahagia. Kebahagiaan yang sederhana, yang tak harus ditemui di belantara hutan atau di puncak-puncak gunung. Kebahagiaan yang membuat kita menjadi bocah naif yang tak tahu apa-apa tentang dunia. Ia tumbuh tegap bersama rindunya, menggelora dengan tawa riang yang ringan dan renyah menggetarkan ingatan akan usia masing-masing kita yang tak semuda dahulu.
Itulah yang saya sampaikan setiap kali saya dan kawan saya, Bagas Riantono bercerita tentang kawan-kawan lama kami. Betapa kami, dua pria yang sebenarnya selalu menjadi orang yang gemar melarikan diri dari pesta, pada sebuah keadaan merasa ingin bertemu dengan mereka yang dengan gaya kami, kami rindukan. Sudah berbulan-bulan pada kesempatan tertentu kami selalu menyelipkan tema tentang mereka dalam obrolan. Kami sepakat, nantinya jika ada sebuah acara atau momen tertentu untuk sekedar kumpul bareng atau apapun, kami dengan senang hati akan ikut. (Setelah sebelum-sebelumnya kami selalu tidak hadir)
---
Jumat, 25 Juli 2014, setelah dengan sangat menyebalkan menunggu Bagas yang katanya sudah menunggu saya sedari tadi, ia muncul juga dengan tawa tidak berdosanya. Di kesempatan ini, pada sebuah senja yang agak redup, sebuah rumah makan yang ramai dipenuhi manusia-manusia dengan segala kepentingannya, akhirnya setelah sekian lama, saya bisa berkumpul kembali bersama kawan-kawan SMA. Yah, di sebuah senja yang agak mendung, kami berkumpul sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kendati saya tidak berpuasa saya merasa cukup senang bisa berada di antara mereka. Menjalin sebuah rasa rindu persaudaraan yang sebegitu uniknya sehingga kami tetap dengan bebas tanpa ragu berkelakar sesuka hati kami seperti biasa, seperti pada saat kami selalu bersama dulu. Ah, kawan-kawan saya ini memang tak banyak berubah. Mereka masih seperti dulu, tertawa, bergurau tentang hal-hal remeh, mengejek satu sama lain, dengan sikap mereka yang memang tak banyak berubah. Walaupun mereka pada dasarnya tampak beberapa kali lebih bersikap manis dan dewasa, kecuali beberapa kawan hebat saya ini, anak-anak hujan, yang entah bagaimana dengan ajaib tetap sama seperti dulu, dengan keceriaan kanak-kanak mereka yang tak banyak berubah, yang tetap hinggap pada diri mereka dan menjadikan mereka sebagai sosok yang selalu muda serta ceria. Yah mereka ini memang benar-benar ajaib!
Kami saling berjabat tangan, melempar senyum dan tawa, dan menanyakan kabar serta hal lain-lainnya yang biasa dikatakan setiap kali bertemu dengan kawan lama yang tak bersua bertahun-tahun.
Kamipun bertukar cerita, dari kisah masing-masing, hingga
mengulang cerita kami semua tatkala masih berseragam putih abu-abu.
Segala yang menjadi memori selalu berakhir pada sebuah cerita penuh
tawa dan kenangan, yang selalu terucap seperti angin lalu yang tak
banyak faedahnya. Biarpun pada kenyataannya kami menghargai kenangan itu
sebagai sebuah ingatan istimewa akan masa-masa muda kami. Saya ingat kelakar Bagas dan Gigih yang selalu menjadi pemeriah keadaan saat kami semua diam atau sibuk dengan urusan kami masing-masing atau Mychael yang tak benyak berubah dengan hal-hal absurd dan kenarsisannya yang masih sama seperti dulu. Juga Mada, ketua kelas kami yang selalu bercerita dengan nada hampir tertawa yang masih saja sok elegan dengan cerita-cerita konyol berbau mesum dan tetap tak berubah. Tak ketinggalan Upho, yang secara tidak langsung seolah menjadi koordinator acara ini, selalu menjadi korban candaan kawan-kawannya, terutama tentu saja Bagas dan Gigih. Dan kami masih saja menggodai Risa dengan gaya-gayanya saat masih berponi dan suka mengelus poninya itu serta mengibaskan kedua tangannya seperti kepanasan saat ia malu atau tertawa geli terhadap sesuatu. Saya akan terus tertawa -bahkan melupakan sejenak sesuatu yang menghinggapi pikiran saya selama ini- hingga sakit perut melihat mereka, membuat lelucon dan menggodai kawan-kawan saya, saling mengejek tak mau kalah dari yang lain. Begitulah mereka, kawan-kawan yang luar biasa.
Seusai menikmati hidangan berbuka puasa, bagi kawan-kawan saya yang berpuasa, kami melanjutkan obrolan kami. Beberapa berkisah akan suatu cerita yang menjadi asyik untuk beberapa orang, yang lain duduk bersama sambil bermain gadget mereka, ada pula yang tetap bersenda gurau dan terlihat sangat bahagia. Beberapa kawan mengajak saya berfoto, ada pula yang memaksa. Karena rambut baru saya ini, yang pada mulanya sudah berulang kali dikomentari oleh beberapa kawan wanita. Saat gerimis turun, diam-diam di dalam hati saya bersuka cita. Saya akan sungguh berterimakasih jika hujan datang dan mengurung kami dalam kebersamaan seperti dulu, saat kami tak bakalan mungkin pulang dari sekolah karena hujan mengguyur dengan deras. Dan terpaksalah kami harus berkumpul membicarakan hal-hal spontan di sekeliling kami.
Namun pada akhirnya, beberapa dari kami memutuskan untuk segera pamit untuk urusan-urusan mereka karena hujan tak jadi turun. Disusul yang lain dengan agenda mereka masing-masing. Kami yang tersisa seperti tak rela untuk mengijinkan mereka pergi. Kami masih ingin bersama, berbicara kesana-kemari dengan semua omong kosong yang selalu terasa menyenangkan dan candaan-candaan klise yang terasa seperti baru. Mengingat-ingat, kemudian merangkai menjadi kelakar yang akan selalu menjadi pelengkap kebersamaan kami.
Terimakasih kepada Upho dan kawan-kawan semuanya. Terimakasih karena telah melegakan kerinduaan masing-masing dari kita.
Minggu, Juli 20, 2014
Merapi Sambil Bernyanyi
Setelah beberapa lama merasa cukup keruh dan bosan karena ketiadaannya pekerjaan, atau dengan susah payah kesana kemari sibuk mencari kesibukan, akhirnya sebuah ajakan untuk bermain ke tempat-tempat tinggi untuk sekedar menghabiskan sisa malam atau pindah tidur dari seorang kawan menjadi sebuah tawaran yang menarik, yang sayang untuk diabaikan. Seperti halnya juga apa yang pernah saya tuliskan, saya hendak berbaur dengan pohon-pohon dan bebatuan di bawah taburan bintang-bintang.
Sabtu, Juni 28, 2014
Antara Riak Air, Batu, Kepekaan, Celoteh dan Sajak Akan Mereka Yang Tak Terpahami
"Seumpama seuntai kesenangan, menetes seirama rintik-rintik air, kemudian jatuh dari tebing-tebing batu yang basah. Sebuah surga yang tersembunyi di antara bebatuan dan tumbuhan yang biasa kita jumpai di film dinosaurus atau semacam Jurassic Park. Ya, tumbuhan paku, tetumbuhan dengan kesan primitif dan kepurbaannya. Kemudian mengalir bersama derasnya air sungai yang sejuk membelai, menghalau jemari kaki, kesenangan itu terasa dingin dan basah."
Saya memutuskan untuk melepas alas kaki dari kedua kaki saya, membiarkan mereka telanjang basah di dalam air yang dingin dan bersentuhan langsung dengan bebatuan yang licin dan tajam beberapa. Melihat hal itu, seorang kawan tiba-tiba menepuk pundak dan memperingatkan akan resiko dari apa yang saya lakukan. Dengan gaya sok-sokan saya menjawab santai, "Ah, sepertinya bukan petualangan namanya jika tidak beresiko!" Dan dia cuma tersenyum pahit sambil menggeleng kepala. Begitulah setiap kali salah satu dari gerombolan kami memperingatkan atau sekedar bertanya kepada saya perihal ulah saya untuk tidak menggunakan alas kaki. Saya kegirangan. Sebuah petualangan yang sebelumnya dengan malas saya iyakan, kali ini menampik dan memberi kesan yang dalam. Bukan cuma hal-hal permukaan, tetapi kesan yang didapat, seperti bebatuan dan air sungai sendiri yang bergumam menyampaikannya.
Sabtu pagi ini adalah kali kedua bagi saya dan beberapa kawan berada di sini, sebuah sungai yang berhulu di air terjun Kalipancur, dan tetap saja terasa baru serta istimewa. Yang membuat ini menjadi agak berbeda adalah perasaan saya yang sedang agak mengambang. Begitulah, sungai dengan aliran airnya selalu menjadi perpaduan yang memberi kesan damai dan sejuk nan seimbang. Ia tak sekedar membuat takjub namun juga menyadarkan. Mungkin ini sebabnya beberapa musik relaksasi selalu mengikutsertakan suara-suara aliran air. Gemericik suaranya menjadi pelengkap dalam nuansa kehidupan alam yang menenangkan jiwa. Dan apa yang tertanam di hati saya itulah yang menyebabkan saya ingin merasakan secara lebih dalam, bersatu dengannya. Seperti sebuah kerinduan yang melampaui ketakjuban itu sendiri. Saya tidak melebih-lebihkan, ini adalah apa yang saya rasakan! Ada sebuah rasa senang dan takjub yang sama, terhadap derasnya air dingin yang mengalir berkelak-kelok di tubuh sungainya. Atau terhadap tebing-tebing cemerlang di kanan kiri kami yang disebabkan oleh cahaya matahari menghantam permukaannya yang berbalut air dan lumut. Kami luluh, oleh percikan embun yang basah, sebasah kecupan Janis Joplin saat dia masih suka memakai manik-manik dan bergonta-ganti panggung kesana-kemari.
Dan, di sanalah kami, anak-anak muda, yang lebih muda dari Che Guevara yang bengek dan hampir mati saat mengendap-endap di belantara hutan Amerika Selatan, menemukan kesenangan yang tak kami dijumpai di keramaian kota Salatiga atau di kampus kami, mengendap-endap di bawah batang pohon-pohon tumbang, dengan kaki-kaki kami yang setengahnya berada di air mengalir. Seperti yang sering saya katakan, adalah sebuah anugerah dan kebahagiaan ketika bisa bersatu bersama sesuatu yang tidak akan pernah selesai kita pahami, begitulah, alam selalu menyodorkan kejutan dan teka-tekinya. Seperti sebuah puzzle yang diberikan secara sepotong-sepotong namun selalu terhenti pada potongan tertentu. Ya! Mungkin ini adalah caranya, supaya manusia tak selalu tahu dan mengerti yang akhirnya menjadikan mereka sombong dan jumawa. Melupakan Dia yang mencipta mereka, dan jenis ciptaan yang lain yang sesungguhnya ada dan menjadi penyeimbangnya.
"Bukannya mereka tak mau dipahami," Demikian ucapan saya ketika kawan perjalanan saya bertanya jengkel tentang gagasan yang mereka sebut absurd mengenai alam sebagai sesuatu yang tak pernah selesai untuk dipahami. "Mereka ingin supaya manusia memahami bukan dengan jalan pikir manusia itu sendiri, tapi dengan jalan pikir sebagai makhluk yang sama yang diciptakan dari Tuhan yang sama." Sontak saya seperti menjadi Siddhartha Gautama menyebarkan welas asih kepada manusia, atau seperti Parang Jati menghukum Sandi Yuda dengan pencerahan akan laku kritik yang memancar sebening mata bidadarinya. Dan entah kawan-kawan saya ini terlalu dungu ataukah memang jengah dengan hal-hal janggal yang secara spontan keluar dari mulut saya, mereka hanya bisa mengernyitkan dahi sambil bergumam hal-hal yang saya tak ketahui. Ah biarlah, begitu pikir saya, setidaknya saya bisa mengekspresikan kekaguman akan apa yang saya temui. Dan setidaknya pula, saya mendapatkan inspirasi untuk banyak hal.
Saya tidak hanya mengingat bebatuan terjal yang dengan susah payah kami lalui, atau tebing batu yang beberapa kawan dengan gentar mereka tanjaki, ada juga sepotong ingatan akan anak-anak muda ini yang dengan kesenangan masa kecil bermain di dalam air, berendam dan saling memercikkan air ke muka teman-temannya. Ada pula yang secara sengaja mengencingi aliran air sehingga mengenai kawan-kawannya yang di bawah. Gila! Saya juga ingat akan bias pelangi yang tercipta dari percikan butir-butir air dari tebing-tebing di kanan kiri kami yang tegak tinggi menjulang. Juga celoteh, ejekan dan sumpah serapah akan kepayahan yang kami tanggung saat memanjati tebing dengan arus airnya yang deras. Semua menjadi satu, terekam menjadi sajak dadakan yang begitu saja saya buat dan saya ungkapkan secara spontan kepada kawan-kawan ini, atau setidaknya siapa saja yang berada di dekat saya saat itu.
Dalam dingin kami tetap bergembira, menjelajah sungai dengan airnya yang agak kecoklatan dan pacetnya yang ribuan jumlahnya, menempel pada bebatuan yang sesekali kami duduki ketika sedang beristirahat. Dalam dingin pula ada percakapan-percakapan dangkal hingga serius. Tentang kehidupan. Bukan saja kehidupan kami, manusia, tetapi juga mereka, yang menjadi keindahan dan sedang kami kagumi. Dan kami, yang dari awal cuma sekedar main-main, serasa mendapat pesan dari petualangan kami hari itu. Entah kami semua, atau sebagian dari kami. Namun saya yakin bahwa masing-masing dari kami akan mengingat petualangan ini sebagai sebuah petualangan yang hebat.
Demikianlah kami, sekali lagi, anak-anak muda yang bahkan jauh lebih muda dari usia Kurt Cobain saat menjadikan heroin sebagai gaya hidupnya sehari-hari. Biarlah kami tetap meniti semak-semak, menghirup kabut putih di ketinggian, mencari makna akan kehidupan, mengalir bersama riak air, mencintai mereka yang kami sebut sebagai yang tak terpahami. Biarlah itu terus tertanam, supaya kami selalu berusaha memahami hingga akhirnya kami lelah dan mati!
Demikianlah kami, sekali lagi, anak-anak muda yang bahkan jauh lebih muda dari usia Kurt Cobain saat menjadikan heroin sebagai gaya hidupnya sehari-hari. Biarlah kami tetap meniti semak-semak, menghirup kabut putih di ketinggian, mencari makna akan kehidupan, mengalir bersama riak air, mencintai mereka yang kami sebut sebagai yang tak terpahami. Biarlah itu terus tertanam, supaya kami selalu berusaha memahami hingga akhirnya kami lelah dan mati!
Langganan:
Postingan (Atom)