Sabtu, Juni 28, 2014

Antara Riak Air, Batu, Kepekaan, Celoteh dan Sajak Akan Mereka Yang Tak Terpahami


"Seumpama seuntai kesenangan, menetes seirama rintik-rintik air, kemudian jatuh dari tebing-tebing batu yang basah. Sebuah surga yang tersembunyi di antara bebatuan dan tumbuhan yang biasa kita jumpai di film dinosaurus atau semacam Jurassic Park. Ya, tumbuhan paku, tetumbuhan dengan kesan primitif dan kepurbaannya. Kemudian mengalir bersama derasnya air sungai yang sejuk membelai, menghalau jemari kaki, kesenangan itu terasa dingin dan basah."

Saya memutuskan untuk melepas alas kaki dari kedua kaki saya, membiarkan mereka telanjang basah di dalam air yang dingin dan bersentuhan langsung dengan bebatuan yang licin dan tajam beberapa. Melihat hal itu, seorang kawan tiba-tiba menepuk pundak dan memperingatkan akan resiko dari apa yang saya lakukan. Dengan gaya sok-sokan saya menjawab santai, "Ah, sepertinya bukan petualangan namanya jika tidak beresiko!" Dan dia cuma tersenyum pahit sambil menggeleng kepala. Begitulah setiap kali salah satu dari gerombolan kami memperingatkan atau sekedar bertanya kepada saya perihal ulah saya untuk tidak menggunakan alas kaki. Saya kegirangan. Sebuah petualangan yang sebelumnya dengan malas saya iyakan, kali ini menampik dan memberi kesan yang dalam. Bukan cuma hal-hal permukaan, tetapi kesan yang didapat, seperti bebatuan dan air sungai sendiri yang bergumam menyampaikannya.

Sabtu pagi ini adalah kali kedua bagi saya dan beberapa kawan berada di sini, sebuah sungai yang berhulu di air terjun Kalipancur, dan tetap saja terasa baru serta istimewa. Yang membuat ini menjadi agak berbeda adalah perasaan saya yang sedang agak mengambang. Begitulah, sungai dengan aliran airnya selalu menjadi perpaduan yang memberi kesan damai dan sejuk nan seimbang. Ia tak sekedar membuat takjub namun juga menyadarkan. Mungkin ini sebabnya beberapa musik relaksasi selalu mengikutsertakan suara-suara aliran air. Gemericik suaranya menjadi pelengkap dalam nuansa kehidupan alam yang menenangkan jiwa. Dan apa yang tertanam di hati saya itulah yang menyebabkan saya ingin merasakan secara lebih dalam, bersatu dengannya. Seperti sebuah kerinduan yang melampaui ketakjuban itu sendiri. Saya tidak melebih-lebihkan, ini adalah apa yang saya rasakan! Ada sebuah rasa senang dan takjub yang sama, terhadap derasnya air dingin yang mengalir berkelak-kelok di tubuh sungainya. Atau terhadap tebing-tebing cemerlang di kanan kiri kami yang disebabkan oleh cahaya matahari menghantam permukaannya yang berbalut air dan lumut. Kami luluh, oleh percikan embun yang basah, sebasah kecupan Janis Joplin saat dia masih suka memakai manik-manik dan bergonta-ganti panggung kesana-kemari.

Dan, di sanalah kami, anak-anak muda, yang lebih muda dari Che Guevara yang bengek dan hampir mati saat mengendap-endap di belantara hutan Amerika Selatan, menemukan kesenangan yang tak kami dijumpai di keramaian kota Salatiga atau di kampus kami, mengendap-endap di bawah batang pohon-pohon tumbang, dengan kaki-kaki kami yang setengahnya berada di air mengalir. Seperti yang sering saya katakan, adalah sebuah anugerah dan kebahagiaan ketika bisa bersatu bersama sesuatu yang tidak akan pernah selesai kita pahami, begitulah, alam selalu menyodorkan kejutan dan teka-tekinya. Seperti sebuah puzzle yang diberikan secara sepotong-sepotong namun selalu terhenti pada potongan tertentu. Ya! Mungkin ini adalah caranya, supaya manusia tak selalu tahu dan mengerti yang akhirnya menjadikan mereka sombong dan jumawa. Melupakan Dia yang mencipta mereka, dan jenis ciptaan yang lain yang sesungguhnya ada dan menjadi penyeimbangnya.

"Bukannya mereka tak mau dipahami," Demikian ucapan saya ketika kawan perjalanan saya bertanya jengkel tentang gagasan yang mereka sebut absurd mengenai alam sebagai sesuatu yang tak pernah selesai untuk dipahami. "Mereka ingin supaya manusia memahami bukan dengan jalan pikir manusia itu sendiri, tapi dengan jalan pikir sebagai makhluk yang sama yang diciptakan dari Tuhan yang sama." Sontak saya seperti menjadi Siddhartha Gautama menyebarkan welas asih kepada manusia, atau seperti Parang Jati menghukum Sandi Yuda dengan pencerahan akan laku kritik yang memancar sebening mata bidadarinya. Dan entah kawan-kawan saya ini terlalu dungu ataukah memang jengah dengan hal-hal janggal yang secara spontan keluar dari mulut saya, mereka hanya bisa mengernyitkan dahi sambil bergumam hal-hal yang saya tak ketahui. Ah biarlah, begitu pikir saya, setidaknya saya bisa mengekspresikan kekaguman akan apa yang saya temui. Dan setidaknya pula, saya mendapatkan inspirasi untuk banyak hal.

Saya tidak hanya mengingat bebatuan terjal yang dengan susah payah kami lalui, atau tebing batu yang beberapa kawan dengan gentar mereka tanjaki, ada juga sepotong ingatan akan anak-anak muda ini yang dengan kesenangan masa kecil bermain di dalam air, berendam dan saling memercikkan air ke muka teman-temannya. Ada pula yang secara sengaja mengencingi aliran air sehingga mengenai kawan-kawannya yang di bawah. Gila! Saya juga ingat akan bias pelangi yang tercipta dari percikan butir-butir air dari tebing-tebing di kanan kiri kami yang tegak tinggi menjulang. Juga celoteh, ejekan dan sumpah serapah akan kepayahan yang kami tanggung saat memanjati tebing dengan arus airnya yang deras. Semua menjadi satu, terekam menjadi sajak dadakan yang begitu saja saya buat dan saya ungkapkan secara spontan kepada kawan-kawan ini, atau setidaknya siapa saja yang berada di dekat saya saat itu.

Dalam dingin kami tetap bergembira, menjelajah sungai dengan airnya yang agak kecoklatan dan pacetnya yang ribuan jumlahnya, menempel pada bebatuan yang sesekali kami duduki ketika sedang beristirahat. Dalam dingin pula ada percakapan-percakapan dangkal hingga serius. Tentang kehidupan. Bukan saja kehidupan kami, manusia, tetapi juga mereka, yang menjadi keindahan dan sedang kami kagumi. Dan kami, yang dari awal cuma sekedar main-main, serasa mendapat pesan dari petualangan kami hari itu. Entah kami semua, atau sebagian dari kami. Namun saya yakin bahwa masing-masing dari kami akan mengingat petualangan ini sebagai sebuah petualangan yang hebat.

Demikianlah kami, sekali lagi, anak-anak muda yang bahkan jauh lebih muda dari usia Kurt Cobain saat menjadikan heroin sebagai gaya hidupnya sehari-hari. Biarlah kami tetap meniti semak-semak, menghirup kabut putih di ketinggian, mencari makna akan kehidupan, mengalir bersama riak air, mencintai mereka yang kami sebut sebagai yang tak terpahami. Biarlah itu terus tertanam, supaya kami selalu berusaha memahami hingga akhirnya kami lelah dan mati!

Kamis, Juni 12, 2014

ANEH

Ada suatu masa di kala para pemburu dengan kulit kasar dan otot-otot pejalnya keluar hutan tanpa membawa apapun kecuali rasa haru melihat anak rusa menyusu pada induknya. Ada pula para pelaut, pencari ikan dan terumbu yang menerjang ombak, menyelam dan bertarung dengan badai tanpa henti, suatu ketika berjalan lembut menyusuri pasir pantai dengan linangan air mata kerinduaan akan rumah. Demikianlah, ada waktunya ketika seseorang seolah menjadi berbeda, padahal ia hanya menjadi dirinya sendiri yang sebenar-benarnya.

Terdengar ganjil memang. Yah, itu karena kita menggunakan ukuran-ukuran kelaziman pada hal-hal yang kultural dan biasa terjadi di sekeliling kita. Kita, manusia, anak-anak peradaban yang mengukur segala sesuatu dari permukaan! Ya, kita akan dengan sangat mudah terperanjat menanggapi sesuatu hal yang mungkin itu tak sering terjadi atau yang kita pikir tak patut terjadi. Kita akan cenderung merespon negatif akan hal-hal tersebut. Apakah salah jika seorang pendaki gunung akhirnya memilih menghabiskan 1 minggu liburannya bersantai di tepian pantai dan menyelam ke dasar laut? Atau mereka, para petualang akhirnya memilih mendekam di kamarnya selama berminggu-minggu hanya karena ingin mengenang kisahnya bersama kawan-kawannya. Kemudian apakah ini sebuah keanehan jika Sandi Yuda memilih melakukan pemanjatan bersih setelah bertahun-tahun ia memanjati tebing dengan caranya, hanya karena kalah taruhan dengan Parang Jati?

Ya! hal-hal 'aneh' itu terjadi, ketika kau, dengan tubuh tegap dan gagahmu tak boleh sedikitpun bersikap sedikit lembut dan berbicara soal asmara. Atau ketika kau, seorang gadis yang manis tak boleh bergelayutan di pohon jambu hanya karena katanya wanita mesti lemah lembut. Selama kau mau tunduk terhadap larangan-larangan yang bersifat stereotyping dan tidak masuk akal itu, maka kau tak akan pernah menjadi manusia merdeka!

Mungkin saja, Hitler dengan kumis kotaknya itu sesungguhnya penyayang binatang, kolektor bunga dan menyukai warna-warna ceria. Atau bisa saja jika dosen wanita di kampusmu itu sebenarnya suka berfantasi dan menyimpan majalah-majalah dewasa di almarinya.
Mari kita melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa manusia memiliki berbagai macam sisi di mana mereka tak bakal berdiam pada satu sisi saja. Dan itu adalah hal yang sah selama mereka melakukan hal tersebut berdasarkan kemauan dan kesadaran mereka sendiri.


Minggu, Juni 08, 2014

Sebuah Keresahan Di Senja Hari

Melankolis. Sebuah kata yang sudah lama saya ketahui, namun baru kira-kira 5 tahun yang lalu sering saya pakai. Bahkan, di blog inipun tak terhitung lagi kata 'melankolis' yang saya gunakan.
Bagi saya, kata tersebut seolah menjadi deskripsi yang pas untuk kejadian yang menggunakan perasaan guna mendapatkan suatu kesan yang dalam. Yah, saya memang sudah terlalu sering menggunakan perasaan untuk membuat simbol atas segala sesuatu. Tapi percayalah, ada kalanya seseorang melembutkan dirinya, menggunakan perasaan untuk mengukur sesuatu!

Seperti saat kau mengingat akan hal-hal tertentu di masa lampau yang tak bakal kau lupa dan membuatmu senyum-senyum sendiri. Kemudian saat kerinduanmu akan sesuatu telah memuncak dan tak dapat terbendung hingga ia lepas sendiri seperti saat kau mengalami mimpi basah pertama kali. Atau juga ketika kau baru saja menikmati pertemuanmu dengan kawan-kawanmu, tanpa kau sadari kau telah berada jauh di sebuah pondok yang sepi dengan keadaan malam yang cerah dan indah. Di sanalah akhirnya kau memandang dirimu sendiri berada bersama kawan-kawanmu, yang sebenarnya merupakan ingatanmu sendiri.

Itulah yang saya alami.

Ini adalah perasaan yang hampir sama seperti yang sudah-sudah. Saya dan Dita sepakat bahwa kami seperti telah menjadi tua dan merenungi masa kejayaan bersama dengan segala hal bodoh yang terjadi. Seperti ada rasa kehilangan yang begitu besar saat saya duduk sendiri di beranda rumah, menyaksikan langit barat yang tak lagi jingga namun semakin tua membiru. Membayangkan bahwa semalam lalu saya masih bersama segerombolan gadis-gadis menghabiskan malam bersama, jauh dari rumah kami masing-masing. Gadis-gadis di sini bukanlah gadis-gadis yang sama dengan versi Yulio, melainkan mereka adalah kawan-kawan saya yang hebat, yaitu Dita, Puput dan Anastasia, dengan kawan-kawan mereka yang lain yaitu Vila, Ambar dan Farida. Benar, saya satu-satunya pria! Kami melewati malam kami di ketinggian, menghirup kabut dan memandang bintang-bintang. Di sela-sela semuanya itu ada cerita, tawa dan kebersamaan yang sudah lama tak kami - secara khusus saya dan ketiga kawan saya ini- lakukan. Sudah lama sekali sejak terakhir saya dan Dita maupun Anastasia menghabiskan malam bersama di gunung ataupun di tempat-tempat di mana kami biasa menikmati malam. Seperti pada saat dulu kami bersama mendaki gunung Merbabu lewat jalur Thekelan, atau ketika malam Natal kami dan kawan-kawan kami yang lain berkumpul di lapangan basket sekolah kami. Dan inipun merupakan pertama kali saya melewati malam dengan kawan saya, Puput, yang dengannya saya kalah telak dalam sebuah taruhan!

Saya akan ingat diskusi kecil bersama Dita dan Anastasia -yang kami panggil Anas atau kadang Nanas- ketika angin malam semakin kencang meniupi tenda-tenda kami. Dengan candaan seputar urusan wanita yang sudah biasa saya dengar dari mereka, kami duduk berselimut sebuah sleeping bag yang kami gunakan bersama untuk menutupi bagian bawah tubuh kami sambil sesekali menikmati lukisan langit malam saat kabut tak menutupinya. Ketika itu saya sedikit enggan untuk mengobrol dengan bahasan yang terlalu berat. Saya ingin sekadar berbagi kisah ringan bersama mereka tentang masa-masa SMA, bermelankoli tentang kegiatan kita yang dulu-dulu, saling mengejek akan sesuatu, atau beberapa kisah pribadi yang bagi kami bukan menjadi rahasia. Begitulah, kami dulu memang sudah sering berbicara tentang banyak hal. 

Saya juga ingat ketika setelahnya saya dan Nanas berjalan-jalan ke puncak malam itu. Saya pikir Dita dan Puput sudah tidur, sehingga saya mengajak Nanas untuk melanjutkan obrolan dan tidak mengganggu mereka. Sungguh, dia sudah seperti kakak perempuan bagi saya, ketika kami berbagi kisah kehidupan kami, atau sekali lagi tentang hal-hal yang dulu-dulu, ia menjadi pendengar sekaligus penasihat yang baik, terlepas dari gayanya yang sok-sokan dan suka mengejek. Dan dia lebih sering tertawa mendengar cerita saya. Hal-hal seperti ini, Win, yang membuat kita benar-benar menjadi seperti saudara! Kurang lebih begitu katanya. Di saat tertentu saya akan menjadi pendengar yang baik pula, dan sesekali dia juga meminta pendapat akan sesuatu kepada saya. 
Kemudian ketika kami kembali ke tenda kami temukan bahwa ternyata dua kawan saya itu belum tertidur. Saya menjadi tak enak hati karena pergi berdua saja. Semoga mereka tidak memikirkan hal yang macam-macam! Saya ingin melanjutkan obrolan ataupun candaan kami lagi sebenarnya, namun badan berkata lain ketika tanpa sadar saya kelelahan dan akhirnya tenggelam dalam dengkuran saya sendiri....

Semua tampak berjalan begitu cepat. Apa yang kami alami semalam seperti sudah lama sekali, namun kesan dan sisa-sisa keceriaan itu masih menempel pada permukaan. Perasaan-perasaan itulah yang membuatmu seolah takut menjadi tua. Saat kau menikmati hatimu diremas kekacauan yang menyenangkan seperti ini kadang kau akan takut bila suatu hari, ketika telah bertambah tua dan menjadi membosankan kau tak akan bisa menikmati kebimbangan dan rasa-rasa seperti ini.

Jumat, April 25, 2014

Dari Ungaran hingga laut Selatan; Story of The Unplanned Stories


Cerita ini adalah cerita pendek dari perjalanan-perjalanan yang dirangkum menjadi satu.

Ketika April menyapa, dan tugas-tugas kuliah serta kesibukannya satu persatu mengucapkan selamat tinggal, maka tibalah waktunya untuk mengencangkan ikat pinggang dan mengikat tali sepatu. Bermain ke tempat-tempat yang tinggi, menghirup kabut putih yang menyegarkan, atau ke dataran yang lebih rendah, mencari buih yang bergulung berkejar-kejaran dengan pasirnya yang lengket... jauh dari rumah.
- Karena semua itu baik, maka jadilah petang dan jadilah pagi, itulah permulaannya.

Kamis, Maret 27, 2014

Menyelusup Waktu Mencumbu Anak Bajang

Kita tidak mengeja aksara, kita mencari makna-makna.

Saya sedang disibukkan dengan sebuah buku karya Sindhunata. Demikianlah judul di atas dibuat. Biar terdengar agak poetic seperti ayat-ayat Sindhunata yang telah meracuni jalan pikiran saya selama seminggu ini. Melupakan tugas-tugas, melepaskan diri dari ikatan dan tekanan, sejenak mengendurkan urat-urat syaraf. Dan kecintaan akan karya sastra inilah yang membuat saya terbuai melupakan segalanya.

Di akhir semester ini memang sedang banyak tugas kuliah. Biar si Puput, kawan saya yang kini menjadi senior saya bilang bahwa semester 5 nanti akan lebih berat dari semester yang sedang saya jalani, saya sudah merasa kepayahan menanggung beban tugas ini. Yah, dan dalih saya adalah karena 90% dari tugas-tugas ini adalah group project sehingga saya tidak bisa berbuat seenaknya. Karena tugas individu bagi saya jauh lebih enak, tidak terlalu berbelit-belit dengan kepentingan orang lain dan lebih bisa bersantai.

Maka terjadilah, mencuri-curi waktu. Jika dihitung, mungkin sudah sangat banyak saya menyia-nyiakan waktu yang seharusnya lebih berguna untuk sekedar memikirkan apa yang akan saya kerjakan untuk tugas saya nanti. Ada kalanya ketika saya keasyikan keluyuran ke sana kemari, melamun, bercakap-cakap dengan kawan; Mario, Yulio, Puput, Bagas, dan masih banyak lagi; tiduran di lapangan basket, bercengkrama dengan Mochtar Lubis atau Pramoedya. Dan itulah, yang paling mengesankan adalah membaca buku, sendirian.



Tepat seminggu yang lalu ketika dengan tidak merencanakannya saya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Saat itu sebenarnya saya berniat mengerjakan tugas dengan kawan-kawan saya, namun karena mereka mengerjakan tugas lain dengan kawan-kawan mereka yang lain, alhasil saya lebih suka mengalah dan membiarkan saja. Dan puja kerang ajaib karena tanpa sengaja pula, saat saya berjalanan menyusuri rak buku paling kiri di dalam perpustakaan, saya menemukan sebuah buku yang pernah direkomendasikan kawan saya, Stefanus. Judulnya saja sudah terdengar poetic, "Anak Bajang Menggiring Angin." Walaupun kesan pertama terdengar janggal dan aneh. Bukan berarti saya menomorduakan Mochtar Lubis, namun untuk sesaat saya rasa akan menyelesaikan buku Sindhunata terlebih dahulu.

Duduk bersila di sebuah tempat favorit saya, di antara rak-rak buku yang tak terbilang banyaknya, mulailah lembar pertama buku itu saya buka. Seketika atmosfir berubah, ketika kata demi kata, kalimat demi kalimat terbaca perlahan. Sindhunata, merenda-renda kata layaknya hiasan di tangannya, dirajut kemudian dipadukan dengan berbagai warna, warna kehidupan, megah dan penuh makna. Maka runtuhlah daya ingat saya oleh semua mantra-mantranya. Melupakan tugas, melupakan apapun yang menjadi pemberat hidup beberapa hari itu. Bukan saja bahasa yang digunakan yang memang seluruhnya sangat megah, makna yang tersirat dari tiap kalimat justru yang menjadikan kesempurnaan karya tersebut.

Semua dilukiskan sedemikian rupa. Melibatkan seluruh indera guna mendapatkan kesan sesungguhnya. Seperti tanpa cela, ketika kadang ia akan menjadi seorang dalang yang tentu tahu gerak-gerik wayangnya, dan di waktu lain ia akan menjadi seekor kumbang yang mengintip tokoh-tokoh cerita dari balik busananya, kemudian menelisik lebih jauh bagai dewa yang tahu sifat hati manusia. Saya menjadi mengambang ketika mengeja kata demi kata. Luar biasa, itulah yang bisa saya katakan. Maka semakin khusyuklah saya membaca buku tersebut, di tempat favorit saya di suatu tempat dalam ruang perpustakaan tersebut. Dan ikut pulalah saya masuk ke dalam alam ceritanya. Menjadi pepohonan yang diterpa angin senja, atau bintang-bintang ketika Danareja melamun sepi, bermuram akan rindunya. Kemudian menjadi mega-mega, saksi duka kelahiran Dasamuka, dan seketika juga berubah menjadi bunga-bungaan, mengintip malu saat Rama dan Sinta merajut cinta.

Waktu yang sebenarnya berlari dengan cepat, sejenak seolah merangkak dengan kaki kirinya terseret. Terhipnotis melalui ramuan-ramuan gaib para pertapa ciptaan Sindhunata. Keadaan yang nyaman ini semakin dalam melelehkan niat saya untuk menyelesaikan semua kewajiban. Dan tiba-tiba waktu yang seolah melambat kini berputar kian cepat, membalikkan segala keadaan, antara masa lalu dan hari ini menyatu tak menentu, menyadarkan saya akan realita. Maka terbangunlah, terburu-buru bergegas menjemput kenyataan. Bahwa sebenarnya begitu tak terasa beberapa jam telah berlalu, dan saya seketika teringat bahwa hari itu harus sudah membawa outline untuk Argumentative essay ke kelas. Dan sama sekali, saya tak membawa apa-apa kecuali Sindhunata dan hati yang berbangga.

Baca bukumu dan hiduplah di dalamnya.