Kamis, Agustus 14, 2014

Agustus!


Photo credit: wikipedia.org/audioslave

Entahlah, saya sedang kehilangan banyak sekali ide menulis karena kelelahan. Namun saya ingin sedikit corat-coret atau bercerita dengan agak semrawut mengenai bulan ini. Ya, Agustus datang dengan ramah. Ia datang saat bulan akan bersinar terang dengan apa yang orang-orang sebut sebagai 'Supermoon'. Ia juga datang dengan meteor-meteor perseidnya di setiap penjuru langit malam. Ia masih sama seperti biasanya, seperti saat seorang anak manusia

lahir dari rahimnya, setia membelai cakrawala membangunkan bagaskara dari tilamnya. Ia membiarkan angin timur bertiup hangat, menjauhkan butir-butir air turun memberi kesejukan pada tanah yang menganga kehausan. Bulan yang bagi beberapa nasionalis, atau mungkin sebut saja warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baik, merupakan bulan yang heroik dan berapi-api. Ah, terlalu klise untuk membicarakan hal-hal serupa.

Saya akan melihat Agustus sebagai hari-hari yang riuh dan bergembira. Dengan sejuta kegiatan dan antusiasme masyarakat dari berbagai kalangan. Juga keriangan anak-anak sekolah yang dengan tertib berbaris menyambut Sang Saka Merah Putih berkibar bersama angin hangat Agustus di pucuk tiang-tiang bendera sekolah mereka. Ada juga beberapa pemuda yang tengah sibuk mempersiapkan liburan mereka. Menjelajah hutan, merajai jalan, juga menggapai puncak-puncak tertinggi, dari puncak para dewa di Mahameru hingga menggerayapi tubuh dewi Anjani. Dan saya hanya akan mengucapkan selamat jalan dan hati-hati.

Di antara semua itu, saya bukannya tidak melakukan apa-apa. Saya juga akan berada di tengah atmosfir gegap gempita tersebut. Menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan sederhana yang merupakan cerminan antusiasme masyarakat tentang negerinya yang bertambah usia kemerdekaannya. Yang bagi beberapa orang masih dengan bingung mencari definisi kata merdeka itu sendiri. Aduh, bukankah sudah saya katakan di atas bahwa terlalu klise untuk berbicara tentang hal-hal demikian?

Sudahlah. Ada beberapa hal yang akan saya lakukan terlepas dari kegegapgempitaan perayaan tahunan negeri ini. Melaksanakan sebuah mini project dengan beberapa kawan untuk sekedar ber-jam session bersama. Belajar banyak sekali hal tentang lingkungan hidup bersama kawan-kawan organisasi. Menepati sebuah janji dengan seorang teman. Hingga menghabiskan malam-malam bersenang-senang dengan kawan-kawan saya. Akan tetapi, ada juga saat saya ingin sendirian, duduk-duduk tak melakukan apa-apa dan hanya mendengarkan Audioslave dengan lagunya Doesn't Remind Me. Sesekali juga bersama Chris Cornell menyanyikannya, "I like throwing my voice and breaking guitars. Cause it doesn't remind me of anything. I like playing in the sand what's mine is ours. If it doesn't remind me of anything." Saya jadi ingat kawan saya, Daniel yang pada saat itu bersikeras ingin mendengarkan lagu-lagu Metallica untuk melupakan suatu perkara yang membebani hatinya.. Ia ingin melakukan hal-hal yang mencegah ingatannya berbalik pada perkara yang memusingkan dirinya.

Yah, dan bulan Agustus baru berjalan beberapa hari. Kita masih berada di tengah-tengahnya. Mungkin ia akan memberikan beberapa potong kejutan yang akan kita ingat sepanjang sisa tahun ini, atau lebih. Mungkin pula ia telah menyiapkan sesuatu sebagai sebuah titik tolak bagi kehidupan beberapa orang. Ia tidak akan tergesa-gesa berlalu. Dan pada saatnya nanti, ketika ia berlalu, kita akan berterimakasih untuk hal-hal baiknya yang ia tinggalkan.

Minggu, Agustus 10, 2014

Sebuah Malam Di Gunung Andong Saat Para Pria Bercerita

Ah, ini lagi. Kawan saya Daniel kembali lagi ke Salatiga, berlibur seminggu sebelum pergi lagi ke Jakarta untuk sebuah Diklat. Beberapa hari yang lalu kami bertemu dan ia membawakan sesuatu yang dikatakannya sebagai sebuah 'Hadiah Ulang Tahun'. Kami sempat mengobrol beberapa saat di kampus dan menghabiskan malam kami bersama di rumah Bagas Riantono. Kami mendengarkan musik bersama, bermain game, tertawa-tawa, berdiskusi dan hal-hal yang sama sepanjang waktu kami bersama sejak dulu.

"Sebelum berangkat ke Jakarta, aku ingin naik gunung."

Bagitu ucapnya, yang kemudian saya simpulkan bahwa ia meminta saya menemaninya untuk sebuah pendakian gunung bersama Bagas juga tentunya. Sebenarnya saya ingin mengajak ia ke Merapi karena ia belum pernah ke sana, kemudian berganti pilihan ke Ungaran karena katanya ia ingin pendakian yang ringan. Namun pada akhirnya kami memilih gunung Andong yang 1700 mdpl-an itu karena ia harus sudah berada di rumah di hari sabtu sore untuk persiapan sebelum esoknya ke Jakarta. Kami memilih hari Jumat dan Sabtu karena kami bertiga memiliki waktu luang di hari-hari itu. Saya masih dalam keadaan lelah sebenarnya, setelah kemarin bertamasya ke Jogjakarta.

Di bawah langit gunung Andong

Kami berangkat sore hari. Saat matahari tersenyum hangat dengan awan putih yang tipis menjadi selimutnya. Kami berjalan pelan-pelan, bercakap-cakap akan beberapa hal dan bercanda bagaimana Daniel ini begitu tampak kepayahan berjalan bersama tas kecil di punggungnya. Kira-kira satu jam kemudian kami sampai di puncak dan kami segera mendirikan tenda di sana.

Awal malam itu begitu bersahabat. Dengan langit yang cerah dan bulan yang ramah kami bertiga sudah keasyikan berbicara kesana-kemari dan menikmati teh panas yang memanjakan. Kami juga dengan bodoh bernyanyi bersama keras-keras. Dari lagu Metallica, Rage Against The Machine hingga F.U.N. Dan setelah bosan kami keluar tenda, menikmati suasana malam itu yang remang-remang oleh cahaya bulan. Kami menghadap gunung Merbabu yang diselimuti awan putih di sebagian wilayah tubuhnya. Kami bercakap-cakap, mengejek satu sama lain dan seperti biasa, kawan saya satu ini selalu dengan mudah meremehkan saya dalam banyak sekali hal. Ah, dia ini memang tipe manusia yang begitu mudah menilai dan merendahkan orang lain. Tapi biarlah, saya sedang tidak ingin membicarakan itu, walaupun pada saat itu saya pura-pura kesal yang pada keesokan harinya saya bertanya apakah ia juga suka meremehkan kawan-kawan kerjanya. Yah, saya memang sudah biasa berbicara apa adanya, blak-blakan istilahnya atau menurut Bagas ceplas-ceplos, terutama terhadap kawan-kawan saya ini.

Pada malam itulah pembicaraan kami menuju ke arah yang lebih serius. Ya, kami, tiga anak muda ini berbicara lebih serius tentang pertemanan kami bertahun-tahun ini. Membicarakan bagaimana pria dan wanita itu berbeda dalam pertemanan mereka, juga tentang bagaimana kami sering menjadi melankolis saat bercerita tentang sesuatu ketika mengukur setiap hal di sekitar kami, kemudian juga mengkritik beberapa hal hingga topik-topik janggal yang kami tak pernah bicarakan selama kami berteman. Saat mendengarkan lagu dari F.U.N kami sepakat bahwa lagu yang sedang kami dengar itu terasa seperti sebuah lagu perpisahan. Kami mengingat bahwa hari Minggu nanti Daniel akan berangkat kembali ke Jakarta untuk mengikuti Diklat. Kami tidaklah terlalu sentimentil dalam pertemanan kami, hingga kami tak perlu seolah-olah mengadakan upacara perpisahan. Selain itu karena biarpun ia pergi kesana-kemari, kami akan dengan mudah bertemu kembali, menghabiskan hari bersama, berbincang dan melakukan hal-hal bodoh. Hal-hal bodoh yang Bagas tanyakan kepada Daniel apakah ia juga melakukannya dengan rekan-rekannya. Namun kami masing-masing menyadari bahwa persahabatan kami akan berlangsung lama, atau bahkan hingga kami berambut putih dan menggendong cucu kami masing-masing.

Saat kami mulai mengantuk dan kedinginan, kami segera memasuki tenda kami. Pada saat itu saya sedang berkirim-kirim pesan dengan Culin. Memang di gunung Andong kita bisa mengirim pesan atau bahkan menelpon. Ia mengatakan bahwa hujan deras mengguyur Salatiga malam itu. Dengan pamer saya katakan bahwa kami bertiga sedang menikmati suasana malam terang yang menyenangkan. Namun beberapa saat setelah itu tiba-tiba angin bertiup agak lebih kencang, dan benarlah seperti apa yang kami khawatirkan, hujan pun turun dengan segera. Kami malah tertawa-tawa. Entah panik atau memang gembira. Culinpun mengejek dengan bahasa yang sepertinya menunjukkan ia begitu senang setelah tahu bahwa kami kehujanan. Sial.

"Kau tahu, setiap kali naik gunung denganmu kita selalu kehujanan."

Saya berkata kepada Daniel. Saat kami tengah sibuk membenarkan dan mengamankan barang-barang kami dari air.

"Benarkah? Ah, itu hanya kebetulan!"

Demikian jawabnya setelah berpikir sejenak.

Kami lantas tertawa-tawa lagi setelah melupakan guraun itu. Bahkan saya sekali lagi mencandai Daniel perihal adik perempuannya yang bertambah besar dan telah menjadi seorang gadis, apalagi ia kini akan masuk di sebuah fakultas yang satu gedung dengan fakultas saya. Saya akan selalu bertanya demikian, "Siap tidak jika aku menjadi iparmu?" Dan Daniel akan menyambutnya dengan sebuah ejekan namun mesti berakhir pada sebuah kalimat yang agak serius saat menjelaskan bagaimana adiknya ini agak susah untuk bersosialisasi. Ini hanya sebuah candaan sebenarnya, namun pada setiap akhir candaan kami terhadap hal ini, ia tampak selalu menunjukkan bahwa hubungan dirinya dengan adiknya memang agak kaku. Dan seolah ia berkata: mungkin kau bisa jika kau mau. Ah, sudahlah!

Kami kemudian mendengarkan musik dan sekali lagi bersama bernyanyi dengan keras ketika hujan sudah sangat deras mengguyur tenda kami. Hujan tak berlangsung lama, namun cukup membuat kami kepayahan saat mencoba mengamankan diri kami di dalam tenda.

Di ujung malam, saat angin membawa awan hitam pergi dari gunung Andong, kami telah terdiam. Kelelahan dan mengantuk hingga akhirnya kami tertidur dengan posisi yang kurang nyaman untuk Daniel. Esok harinya ia menggerutu karena ketidaknyamanan semalam. Saya dan Bagas hanya bisa tertawa tanpa terlalu mempedulikan gerutu si Daniel.


Daniel, dengan daging yang beberapa kilo lebih berat

Jumat, Agustus 08, 2014

Di Sela Tawa Vredeburg dan Gunung Kidul




Ada sebuah ungkapan, yang entah saya baca di suatu tempat atau mendengar dari seseorang, yang kira-kira berbunyi demikian, "Hal-hal yang menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri." Saya selalu yakin dengan hal itu dan mengamininya. Seperti apa yang saya alami bersama kawan-kawan lama saya, saat mengisi liburan berwisata bersama.

Senin, Agustus 04, 2014

Tiga Hari 'Tuk S'lamanya


Kaldera

Mengapa kita senang sekali bercerita? Di tengah kemeriahan pesta maupun sibuknya hari-hari, tidakkah kita mengingat cerita-cerita lebih dari kejadian yang kita alami sendiri? Kita 'tak kan mengingat sebuah kejadian sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi secara rinci. Kita hanya mengingat sedikit rekaman dari ingatan kita atau mungkin beberapa kisah yang terpotong-potong, yang kebanyakan disumbangkan dari rangkaian cerita

Sabtu, Juli 26, 2014

Tawa Riang Kawan Lama

Ada sebuah kerinduan yang bergelayut di antara lambung dan ulu hati. Kerinduan polos yang dimiliki anak-anak. Sebuah rasa rindu tentang masa-masa yang bahagia. Kebahagiaan yang sederhana, yang tak harus ditemui di belantara hutan atau di puncak-puncak gunung. Kebahagiaan yang membuat kita menjadi bocah naif yang tak tahu apa-apa tentang dunia. Ia tumbuh tegap bersama rindunya, menggelora dengan tawa riang yang ringan dan renyah menggetarkan ingatan akan usia masing-masing kita yang tak semuda dahulu.

Itulah yang saya sampaikan setiap kali saya dan kawan saya, Bagas Riantono bercerita tentang kawan-kawan lama kami. Betapa kami, dua pria yang sebenarnya selalu menjadi orang yang gemar melarikan diri dari pesta, pada sebuah keadaan merasa ingin bertemu dengan mereka yang dengan gaya kami, kami rindukan. Sudah berbulan-bulan pada kesempatan tertentu kami selalu menyelipkan tema tentang mereka dalam obrolan. Kami sepakat, nantinya jika ada sebuah acara atau momen tertentu untuk sekedar kumpul bareng atau apapun, kami dengan senang hati akan ikut. (Setelah sebelum-sebelumnya kami selalu tidak hadir)

---

Jumat, 25 Juli 2014, setelah dengan sangat menyebalkan menunggu Bagas yang katanya sudah menunggu saya sedari tadi, ia muncul juga dengan tawa tidak berdosanya. Di kesempatan ini, pada sebuah senja yang agak redup, sebuah rumah makan yang ramai dipenuhi manusia-manusia dengan segala kepentingannya, akhirnya setelah sekian lama, saya bisa berkumpul kembali bersama kawan-kawan SMA. Yah, di sebuah senja yang agak mendung, kami berkumpul sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kendati saya tidak berpuasa saya merasa cukup senang bisa berada di antara mereka. Menjalin sebuah rasa rindu persaudaraan yang sebegitu uniknya sehingga kami tetap dengan bebas tanpa ragu berkelakar sesuka hati kami seperti biasa, seperti pada saat kami selalu bersama dulu. Ah, kawan-kawan saya ini memang tak banyak berubah. Mereka masih seperti dulu, tertawa, bergurau tentang hal-hal remeh, mengejek satu sama lain, dengan sikap mereka yang memang tak banyak berubah. Walaupun mereka pada dasarnya tampak beberapa kali lebih bersikap manis dan dewasa, kecuali beberapa kawan hebat saya ini, anak-anak hujan, yang entah bagaimana dengan ajaib tetap sama seperti dulu, dengan keceriaan kanak-kanak mereka yang tak banyak berubah, yang tetap hinggap pada diri mereka dan menjadikan mereka sebagai sosok yang selalu muda serta ceria. Yah mereka ini memang benar-benar ajaib!

Kami saling berjabat tangan, melempar senyum dan tawa, dan menanyakan kabar serta hal lain-lainnya yang biasa dikatakan setiap kali bertemu dengan kawan lama yang tak bersua bertahun-tahun.
Kamipun bertukar cerita, dari kisah masing-masing, hingga mengulang cerita kami semua tatkala masih berseragam putih abu-abu. Segala  yang menjadi memori selalu berakhir pada sebuah cerita penuh tawa dan kenangan, yang selalu terucap seperti angin lalu yang tak banyak faedahnya. Biarpun pada kenyataannya kami menghargai kenangan itu sebagai sebuah ingatan istimewa akan masa-masa muda kami. Saya ingat kelakar Bagas dan Gigih yang selalu menjadi pemeriah keadaan saat kami semua diam atau sibuk dengan urusan kami masing-masing atau Mychael yang tak benyak berubah dengan hal-hal absurd dan kenarsisannya yang masih sama seperti dulu. Juga Mada, ketua kelas kami yang selalu bercerita dengan nada hampir tertawa yang masih saja sok elegan dengan cerita-cerita konyol berbau mesum dan tetap tak berubah. Tak ketinggalan Upho, yang secara tidak langsung seolah menjadi koordinator acara ini, selalu menjadi korban candaan kawan-kawannya, terutama tentu saja Bagas dan Gigih. Dan kami masih saja menggodai Risa dengan gaya-gayanya saat masih berponi dan suka mengelus poninya itu serta mengibaskan kedua tangannya seperti kepanasan saat ia malu atau tertawa geli terhadap sesuatu. Saya akan terus tertawa -bahkan melupakan sejenak sesuatu yang menghinggapi pikiran saya selama ini- hingga sakit perut melihat mereka, membuat lelucon dan menggodai kawan-kawan saya, saling mengejek tak mau kalah dari yang lain. Begitulah mereka, kawan-kawan yang luar biasa.

Seusai menikmati hidangan berbuka puasa, bagi kawan-kawan saya yang berpuasa, kami melanjutkan obrolan kami. Beberapa berkisah akan suatu cerita yang menjadi asyik untuk beberapa orang, yang lain duduk bersama sambil bermain gadget mereka, ada pula yang tetap bersenda gurau dan terlihat sangat bahagia. Beberapa kawan mengajak saya berfoto, ada pula yang memaksa. Karena rambut baru saya ini, yang pada mulanya sudah berulang kali dikomentari oleh beberapa kawan wanita. Saat gerimis turun, diam-diam di dalam hati saya bersuka cita. Saya akan sungguh berterimakasih jika hujan datang dan mengurung kami dalam kebersamaan seperti dulu, saat kami tak bakalan mungkin pulang dari sekolah karena hujan mengguyur dengan deras. Dan terpaksalah kami harus berkumpul membicarakan hal-hal spontan di sekeliling kami.

Namun pada akhirnya, beberapa dari kami memutuskan untuk segera pamit untuk urusan-urusan mereka karena hujan tak jadi turun. Disusul yang lain dengan agenda mereka masing-masing. Kami yang tersisa seperti tak rela untuk mengijinkan mereka pergi. Kami masih ingin bersama, berbicara kesana-kemari dengan semua omong kosong yang selalu terasa menyenangkan dan candaan-candaan klise yang terasa seperti baru. Mengingat-ingat, kemudian merangkai menjadi kelakar yang akan selalu menjadi pelengkap kebersamaan kami.

Terimakasih kepada Upho dan kawan-kawan semuanya. Terimakasih karena telah melegakan kerinduaan masing-masing dari kita.